Senandung Perjalanan di Tengah Hujan Februari #2
11 Februari 2017
Pagi itu terasa dingin. Kamarku
terasa basah. Aku pun terbangun dari mimpi. Yeah, kamarku bocor wkwkwk. Hujan
melanda kota ku dengan derasnya. Diselingi suara guntur yang bersahutan dengan
kerasnya. Aku pun kemudian hibernasi lagi wkwkwk :D.
Siang itu terasa hangat. Sinar
mentari menembus jendelaku. Aku terbangun lanjut membasuh diri kemudian mencari
makan. Yeah, mumpung cuaca sedang cerah, ku luangkan waktu untuk melakukan trip
jarak dekat. Tujuanku kali ini adalah hunting sunset di Pelabuhan Sunda Kelapa.
Maka, ku langkahkan kaki ku menuju Stasiun Depok Baru. Naik Commuter Line yang
tak begitu sumpek ke Stasiun Jakarta Kota. Sesampainya di Stasiun Jakarta Kota,
lanjut jalan kaki menuju Kawasan Taman Fatahillah Kota Tua Jakarta. Tak banyak yang
bisa diceritakan tentang kawasan kota tua ini karena sudah banyak diulas dalam
berita maupun dalam sejarah. Intinya ini adalah kawasan dimana gedung-gedung
tua peninggalan zaman belanda masih berdiri kokoh dan dijadikan objek wisata
sebagai museum. Fasilitasnya juga cukup lengkap. Namun, yang agak susah yaitu
mencari WC umum. Sore itu sangat ramai karena menjelang malam minggu. Biasanya
orang-orang dari berbagai komunitas akan nongkrong disini menghabiskan malam
minggu.
Aku berjalan ke utara menyusuri
Jalan Kali Besar Barat. Tepat disisi kanan adalah Kali Krukut. Sedangkan disisi
kiri masih kokoh berdiri bangunan-bangunan tua peninggalan zaman belanda. Di
pertengahan jalan ada salah satu bangunan tua yang tak bisa menyembunyikan usia
rentanya. Yeah, ia telah rubuh dan hancur. Menimbulkan kesan seram dan angker.
Lalu, salah siapa? Apakah pihak pemerintah yang tidak peduli atau pihak swasta
selaku pengelola gedung itu yang melakukan pembiaran tak ada perawatan atau
tidak mau melakukan renovasi. Namun demikian, bangunan rubuh itu adalah sisi
lain dari Kawasan Kota Tua Jakarta yang tidak bisa menyembunyikan usia rentanya
hehe.
Sisi lain dari menyusur jalan ini
adalah adanya jembatan bersejarah yang menceritakan ramainya perdagangan zaman
belanda di Kawasan Kota Tua dan Sunda Kelapa ini. Yeah, ialah Jembatan Kota
Intan.
Menyusur jalan kembali ke utara.
Setelah melewati lorong di bawah jalur kereta api dan jalan tol. Tibalah aku di
Museum Bahari. Rp. 5.000,- keluar kantong untuk biaya masuk. Aku pun
keliling-keliling di Museum ini. Banyak benda-benda kebaharian dan
kepelabuhanan zaman dulu. Adanya lukisan-lukisan juga menyiratkan suasana Sunda
Kelapa Tempo Doeloe. Aku juga menyempatkan diri naik ke menara pandang yang ada
di museum ini. Yeah, suasana Pelabuhan Sunda Kelapa terlihat dari sini.
Haripun mulai senja. Aku pun
bergegas menuju Pelabuhan Sunda Kelapa. Di pintu masuk, Rp. 2.500,- keluar dari
kantong untuk retribusi. Yeah, suasana Pelabuhan Sunda Kelapa sudah terbentang
dalam pandanganku. Berjajar kapal-kapal ekspedisi yang sedang bongkar muat. Ada
pula tumpukan-tumpukan kontainer yang siap diekspedisi. Kuli angkut atau
pekerja kasar juga terlihat sibuk dengan kegiatannya. Ada pula yang hanya sekedar
memancing atau menyewa kapal nelayan mengelilingi pelabuhan.
Senja sudah berakhir. Matahari
tenggelam. Aku beristirahat dari kesibukan dengan kameraku. Lantas, saatnya
ngopi di atas kapal. Sembari menghanyutkan diri dalam lamunan akan senja. Setelah hunting sunset di
Pelabuhan Sunda Kelapa, aku beranjak menyusuri jalan yang kulalui sebelumnya ke
Kawasan Kota Tua. Dan yeah, ramainya malam minggu hehe. Aku ingin mencari udara
sejuk pegunungan. Maka, kulanjutkan trip ini ke Kawasan Puncak. Tepatnya ke Air
Terjun Cibeureum yang berada di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, Cibodas,
Kab. Cianjur.
Aroma kemacetan malam minggu jadi
teman seperjalanan ini. Dari Halte Jakarta Kota, naik Busway ke Benhil – Cawang
Uki dan turun di Pasar rebo. Ada bus “Marita” jurusan jakarta-cianjur yang lagi
ngetem. Tapi sayangnya penuh, maka ku abaikan saja :p. Tidak lama menunggu, ada
kondektur bus “wanaraja” jurusan jakarta-garut. Kata kondekturnya sih lewat
puncak. Yang benar saja, tulisan di kaca depan bus, trayeknya saja tidak
menyebutkan lewat puncak. Tetapi si kondekturnya meyakinkanku lewat puncak
karena daerah Purwakarta sedang macet parah gara-gara jembatan Cisomang.
Okelah, aku naik bus ini. Tak lamapun bus bergerak merayap dan masuk ke tol
JORR. Agak was-was juga sih kalau ditipu dan kalau ditipu beneran terpaksa
langsung turun dari bus di Jalan Tol hahaha. Ternyata bus ini masuk tol
Jagorawi. Berarti aku tidak sedang ditipu hahaha. Waktunya menikmati perjalanan
di bus sambil smoking in the smoking room wkwkwk.
Sesaat kemudian, sang kondektur
menarik uang dari penumpang. Rp. 25.000,- ku keluarkan karena biasanya segitu
kalau ke Cibodas. Masih menikmati smoking di smoking room, iseng-iseng nanya ke
penumpang lain kalau ke Garut tarifnya kena berapa? Cuma Rp. 40.000,- katanya.
Wah murah juga ya padahal bus AC. Kalau bus lain sih biasanya lebih hehe. Yeah,
kalau ke Cibodas harusnya bisa kurang sih wkwkwk. Ah, sudahlah. Penumpang bus
ini rata-rata logatnya sunda dan ngomong sunda. Aku sih cuman manggut-manggut
saja kalau diajak ngobrol. Bahasanya ngerti sih, tapi susah diucapkeun. Maklum
Wong Jowo hahaha.
Setelah terjebak kemacetan di
Pasar Cisarua, bus melaju lancar-lancar saja menuju puncak. Sebelum masjid
atta’awun, aku pindah posisi ke depan, duduk disamping supir dan kondekturnya.
Tadinya pingin turun di depan masjid atta’awun sih. Tapi ramai. Banyak orang
pacaran. Aku kan sendirian. Jadi males takut baper wkwkwk. Takut kebablasan sih
nanti pas di Cibodas. Dan ternyata emang benar-benar kebablasan. Sangat jauh
ternyata. Sial, ini karena aku lupa patokan untuk turun. Sedangkan kondekturnya
juga awam daerah sini karena bukan trayeknya. Pertigaan Cibodas terlewati. Lalu
Pertigaan Cipanas juga terlewati. Aku pun segera turun di depan minimarket yang
masih buka. Kutenangkan diri. Beli rokok sama kratingdaeng.
Kuputuskan untuk jalan kaki saja.
Sumpah, ngenes banget. Jalan di kegelapan malam. Kendaraan yang lalu lalang
begitu sepi. Sesekali mobil pribadi lewat. Bus antarkota jarak jauh pun juga
ada yang lewat. Sedangkan angkutan umum yang biasanya langka kabare. Di
beberapa gang, mamang-mamang villa terlihat cuek saja terdahapku yang berjalan
sendirian. Kok gak ada inisiatif nawarin villa gitu ya? Sumpah ngenes cah
wkwkwk. Setelah berjalan 1 km, tiba-tiba aku dikejutkan oleh orang yang kepo,
“sendirian aja a’? mau kemana?”. “Iya sendiri a’, puas? gua mau ke Cibodas”. “Hahaha
Cibodas mah masih jauh”. “Iya tau, gua tadi naik bus kebablasan”. “iyaudah
kalau ada 20 atau 30 ribu, saya anterin”. “Iya deh boleh”. Aku pun mengojek sama
orang tersebut. Iya lumayanlah karena memang jauh apalagi malam-malam gini
hehe. Dari caranya ngomong dan bawa motor sih keliatannya nih orang mabuk.
Ngebut banget cuy mana gak pakai helm. Motornya juga mirip buat balapan
racing-racing gitu. Tapi gakpapalah, seru hahaha. Sampai di Cibodas, ku beri
uang Rp. 20.000,-. Eh, dia minta lebih. Iyaudah pura-pura ga ada duit lagi aja
sambil tambahin Rp. 4.000,-. Eh dia langsung mlongos saja. Yeah, nggak semuanya
orang mabuk itu jahat terkadang mereka juga reflek untuk menolong orang hehehe.
Ah, tapi dia minta bayaran sih, bukan tanpa pamrih. Susah emang hidup jaman
sekarang :/. Aku pun menunggu pagi dengan tidur berselimutkan Sleeping Bag di
depan warung Cibodas ini. Lumayan dingin malam itu.
12 Februari 2017
Pagi hari kicauan merdu burung
menggugah tidurku. Kemudian menuju warung makan untuk sarapan terlebih dahulu. Sejuknya
udara pagi membuatku semangat untuk tracking ke Air Terjun Cibeureum. Di perjalanan
menuju loket membayar tiket masuk masih sepi. Hanya segelintir orang saja. Sepertinya
masih terlalu pagi hehe. Setelah bayar Rp. 18.000,-, Aku bebarengan tracking
dengan dua anak dari Jakarta. Tapi semakin berjalan, semakin mereka
meninggalkanku dibelakang hahaha. Aku pun lebih memilih berjalan perlahan
menikmati perjalanan dan suasana hutan asri yang telah lama ku rindukan. Track bebatuan
menyerupai anak tangga menjadi makanan empuk setiap langkahku. Di Telaga biru,
aku berhenti sejenak untuk beristirahat. Telaga biru dengan air birunya yang
tenang itu sungguh mempesona pandanganku. Sesaat kulihat ada ikan yang besar. Entah
ikan apa. Aku tak tahu namanya. Yang penting ikan wkwkwk.
Kulanjutkan lagi langkahku
menyusuri track yang kondisinya masih sama dengan sebelumnya. Cuaca cerah
dengan sinar mentari yang menembus kanopi hutan Gunung Gede-Pangrango menjadi
bonus perjalananku kali ini. Sampailah aku di Rawa gayonggong, dimana aku melaluinya
dengan jembatan beton yang dibentuk menyerupai kayu. Gunung Pangrango yang
bersinambung langit biru pun terlihat gagah dari sini. Di penghabisan rawa
gayonggong track bebatuan menjadi makanan empuk lagi. Tak lama kemudian sampailah
di Pos Panyangcangan, yaitu persimpangan jalur menuju Air Terjun Cibeureum dan
Puncak Gede-Pangrango. Kulanjutkan lagi perjalananku yang berakhir di Air Terjun
Cibeureum. yeah, akhirnya aku tahu kenapa dinamakan cibeureum? karena tebing
yang mengitari air terjun tersebut berwarna merah hehe.
Hari semakin siang dan cuaca
mulai mendung akan turun hujan. Para pengunjung dengan gaya trendy masa kini mulai
ramai. Setelah puas menikmati suasana air terjun, aku pun beranjak pulang ke Depok. Naik angkot dari Cibodas menuju pertigaan jalan raya Rp. 4.000,-. Kemudian
disambung naik bus Marita sampai Terminal Kampung Rambutan Rp. 25.000,-. Kemudian
disambung naik angkot ke Depok. Yeah, meskipun hujan deras, kepulanganku sungguh
cepat karena jalanan sepi tak ada kemacetan sepanjang perjalanan hehe.
Salam Jun_krikers J