Selasa, 28 Maret 2017

Senandung Perjalanan di Tengah Hujan Februari #2

Senandung Perjalanan di Tengah Hujan Februari #2

11 Februari 2017

Pagi itu terasa dingin. Kamarku terasa basah. Aku pun terbangun dari mimpi. Yeah, kamarku bocor wkwkwk. Hujan melanda kota ku dengan derasnya. Diselingi suara guntur yang bersahutan dengan kerasnya. Aku pun kemudian hibernasi lagi wkwkwk :D.

Siang itu terasa hangat. Sinar mentari menembus jendelaku. Aku terbangun lanjut membasuh diri kemudian mencari makan. Yeah, mumpung cuaca sedang cerah, ku luangkan waktu untuk melakukan trip jarak dekat. Tujuanku kali ini adalah hunting sunset di Pelabuhan Sunda Kelapa. Maka, ku langkahkan kaki ku menuju Stasiun Depok Baru. Naik Commuter Line yang tak begitu sumpek ke Stasiun Jakarta Kota. Sesampainya di Stasiun Jakarta Kota, lanjut jalan kaki menuju Kawasan Taman Fatahillah Kota Tua Jakarta. Tak banyak yang bisa diceritakan tentang kawasan kota tua ini karena sudah banyak diulas dalam berita maupun dalam sejarah. Intinya ini adalah kawasan dimana gedung-gedung tua peninggalan zaman belanda masih berdiri kokoh dan dijadikan objek wisata sebagai museum. Fasilitasnya juga cukup lengkap. Namun, yang agak susah yaitu mencari WC umum. Sore itu sangat ramai karena menjelang malam minggu. Biasanya orang-orang dari berbagai komunitas akan nongkrong disini menghabiskan malam minggu.

Aku berjalan ke utara menyusuri Jalan Kali Besar Barat. Tepat disisi kanan adalah Kali Krukut. Sedangkan disisi kiri masih kokoh berdiri bangunan-bangunan tua peninggalan zaman belanda. Di pertengahan jalan ada salah satu bangunan tua yang tak bisa menyembunyikan usia rentanya. Yeah, ia telah rubuh dan hancur. Menimbulkan kesan seram dan angker. Lalu, salah siapa? Apakah pihak pemerintah yang tidak peduli atau pihak swasta selaku pengelola gedung itu yang melakukan pembiaran tak ada perawatan atau tidak mau melakukan renovasi. Namun demikian, bangunan rubuh itu adalah sisi lain dari Kawasan Kota Tua Jakarta yang tidak bisa menyembunyikan usia rentanya hehe.

Sisi lain dari menyusur jalan ini adalah adanya jembatan bersejarah yang menceritakan ramainya perdagangan zaman belanda di Kawasan Kota Tua dan Sunda Kelapa ini. Yeah, ialah Jembatan Kota Intan.

Menyusur jalan kembali ke utara. Setelah melewati lorong di bawah jalur kereta api dan jalan tol. Tibalah aku di Museum Bahari. Rp. 5.000,- keluar kantong untuk biaya masuk. Aku pun keliling-keliling di Museum ini. Banyak benda-benda kebaharian dan kepelabuhanan zaman dulu. Adanya lukisan-lukisan juga menyiratkan suasana Sunda Kelapa Tempo Doeloe. Aku juga menyempatkan diri naik ke menara pandang yang ada di museum ini. Yeah, suasana Pelabuhan Sunda Kelapa terlihat dari sini.

Haripun mulai senja. Aku pun bergegas menuju Pelabuhan Sunda Kelapa. Di pintu masuk, Rp. 2.500,- keluar dari kantong untuk retribusi. Yeah, suasana Pelabuhan Sunda Kelapa sudah terbentang dalam pandanganku. Berjajar kapal-kapal ekspedisi yang sedang bongkar muat. Ada pula tumpukan-tumpukan kontainer yang siap diekspedisi. Kuli angkut atau pekerja kasar juga terlihat sibuk dengan kegiatannya. Ada pula yang hanya sekedar memancing atau menyewa kapal nelayan mengelilingi pelabuhan.

Senja sudah berakhir. Matahari tenggelam. Aku beristirahat dari kesibukan dengan kameraku. Lantas, saatnya ngopi di atas kapal. Sembari menghanyutkan diri dalam lamunan akan senja. Setelah hunting sunset di Pelabuhan Sunda Kelapa, aku beranjak menyusuri jalan yang kulalui sebelumnya ke Kawasan Kota Tua. Dan yeah, ramainya malam minggu hehe. Aku ingin mencari udara sejuk pegunungan. Maka, kulanjutkan trip ini ke Kawasan Puncak. Tepatnya ke Air Terjun Cibeureum yang berada di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, Cibodas, Kab. Cianjur.

Aroma kemacetan malam minggu jadi teman seperjalanan ini. Dari Halte Jakarta Kota, naik Busway ke Benhil – Cawang Uki dan turun di Pasar rebo. Ada bus “Marita” jurusan jakarta-cianjur yang lagi ngetem. Tapi sayangnya penuh, maka ku abaikan saja :p. Tidak lama menunggu, ada kondektur bus “wanaraja” jurusan jakarta-garut. Kata kondekturnya sih lewat puncak. Yang benar saja, tulisan di kaca depan bus, trayeknya saja tidak menyebutkan lewat puncak. Tetapi si kondekturnya meyakinkanku lewat puncak karena daerah Purwakarta sedang macet parah gara-gara jembatan Cisomang. Okelah, aku naik bus ini. Tak lamapun bus bergerak merayap dan masuk ke tol JORR. Agak was-was juga sih kalau ditipu dan kalau ditipu beneran terpaksa langsung turun dari bus di Jalan Tol hahaha. Ternyata bus ini masuk tol Jagorawi. Berarti aku tidak sedang ditipu hahaha. Waktunya menikmati perjalanan di bus sambil smoking in the smoking room wkwkwk.

Sesaat kemudian, sang kondektur menarik uang dari penumpang. Rp. 25.000,- ku keluarkan karena biasanya segitu kalau ke Cibodas. Masih menikmati smoking di smoking room, iseng-iseng nanya ke penumpang lain kalau ke Garut tarifnya kena berapa? Cuma Rp. 40.000,- katanya. Wah murah juga ya padahal bus AC. Kalau bus lain sih biasanya lebih hehe. Yeah, kalau ke Cibodas harusnya bisa kurang sih wkwkwk. Ah, sudahlah. Penumpang bus ini rata-rata logatnya sunda dan ngomong sunda. Aku sih cuman manggut-manggut saja kalau diajak ngobrol. Bahasanya ngerti sih, tapi susah diucapkeun. Maklum Wong Jowo hahaha.

Setelah terjebak kemacetan di Pasar Cisarua, bus melaju lancar-lancar saja menuju puncak. Sebelum masjid atta’awun, aku pindah posisi ke depan, duduk disamping supir dan kondekturnya. Tadinya pingin turun di depan masjid atta’awun sih. Tapi ramai. Banyak orang pacaran. Aku kan sendirian. Jadi males takut baper wkwkwk. Takut kebablasan sih nanti pas di Cibodas. Dan ternyata emang benar-benar kebablasan. Sangat jauh ternyata. Sial, ini karena aku lupa patokan untuk turun. Sedangkan kondekturnya juga awam daerah sini karena bukan trayeknya. Pertigaan Cibodas terlewati. Lalu Pertigaan Cipanas juga terlewati. Aku pun segera turun di depan minimarket yang masih buka. Kutenangkan diri. Beli rokok sama kratingdaeng.

Kuputuskan untuk jalan kaki saja. Sumpah, ngenes banget. Jalan di kegelapan malam. Kendaraan yang lalu lalang begitu sepi. Sesekali mobil pribadi lewat. Bus antarkota jarak jauh pun juga ada yang lewat. Sedangkan angkutan umum yang biasanya langka kabare. Di beberapa gang, mamang-mamang villa terlihat cuek saja terdahapku yang berjalan sendirian. Kok gak ada inisiatif nawarin villa gitu ya? Sumpah ngenes cah wkwkwk. Setelah berjalan 1 km, tiba-tiba aku dikejutkan oleh orang yang kepo, “sendirian aja a’? mau kemana?”. “Iya sendiri a’, puas? gua mau ke Cibodas”. “Hahaha Cibodas mah masih jauh”. “Iya tau, gua tadi naik bus kebablasan”. “iyaudah kalau ada 20 atau 30 ribu, saya anterin”. “Iya deh boleh”. Aku pun mengojek sama orang tersebut. Iya lumayanlah karena memang jauh apalagi malam-malam gini hehe. Dari caranya ngomong dan bawa motor sih keliatannya nih orang mabuk. Ngebut banget cuy mana gak pakai helm. Motornya juga mirip buat balapan racing-racing gitu. Tapi gakpapalah, seru hahaha. Sampai di Cibodas, ku beri uang Rp. 20.000,-. Eh, dia minta lebih. Iyaudah pura-pura ga ada duit lagi aja sambil tambahin Rp. 4.000,-. Eh dia langsung mlongos saja. Yeah, nggak semuanya orang mabuk itu jahat terkadang mereka juga reflek untuk menolong orang hehehe. Ah, tapi dia minta bayaran sih, bukan tanpa pamrih. Susah emang hidup jaman sekarang :/. Aku pun menunggu pagi dengan tidur berselimutkan Sleeping Bag di depan warung Cibodas ini. Lumayan dingin malam itu.

12 Februari 2017

Pagi hari kicauan merdu burung menggugah tidurku. Kemudian menuju warung makan untuk sarapan terlebih dahulu. Sejuknya udara pagi membuatku semangat untuk tracking ke Air Terjun Cibeureum. Di perjalanan menuju loket membayar tiket masuk masih sepi. Hanya segelintir orang saja. Sepertinya masih terlalu pagi hehe. Setelah bayar Rp. 18.000,-, Aku bebarengan tracking dengan dua anak dari Jakarta. Tapi semakin berjalan, semakin mereka meninggalkanku dibelakang hahaha. Aku pun lebih memilih berjalan perlahan menikmati perjalanan dan suasana hutan asri yang telah lama ku rindukan. Track bebatuan menyerupai anak tangga menjadi makanan empuk setiap langkahku. Di Telaga biru, aku berhenti sejenak untuk beristirahat. Telaga biru dengan air birunya yang tenang itu sungguh mempesona pandanganku. Sesaat kulihat ada ikan yang besar. Entah ikan apa. Aku tak tahu namanya. Yang penting ikan wkwkwk.

Kulanjutkan lagi langkahku menyusuri track yang kondisinya masih sama dengan sebelumnya. Cuaca cerah dengan sinar mentari yang menembus kanopi hutan Gunung Gede-Pangrango menjadi bonus perjalananku kali ini. Sampailah aku di Rawa gayonggong, dimana aku melaluinya dengan jembatan beton yang dibentuk menyerupai kayu. Gunung Pangrango yang bersinambung langit biru pun terlihat gagah dari sini. Di penghabisan rawa gayonggong track bebatuan menjadi makanan empuk lagi. Tak lama kemudian sampailah di Pos Panyangcangan, yaitu persimpangan jalur menuju Air Terjun Cibeureum dan Puncak Gede-Pangrango. Kulanjutkan lagi perjalananku yang berakhir di Air Terjun Cibeureum. yeah, akhirnya aku tahu kenapa dinamakan cibeureum? karena tebing yang mengitari air terjun tersebut berwarna merah hehe.

Hari semakin siang dan cuaca mulai mendung akan turun hujan. Para pengunjung dengan gaya trendy masa kini mulai ramai. Setelah puas menikmati suasana air terjun, aku pun beranjak pulang ke Depok. Naik angkot dari Cibodas menuju pertigaan jalan raya Rp. 4.000,-. Kemudian disambung naik bus Marita sampai Terminal Kampung Rambutan Rp. 25.000,-. Kemudian disambung naik angkot ke Depok. Yeah, meskipun hujan deras, kepulanganku sungguh cepat karena jalanan sepi tak ada kemacetan sepanjang perjalanan hehe.


Salam Jun_krikers J

Tidak ada komentar:

Posting Komentar