Slamet
Pulang dari Slamet
Perjalanan untuk pulang ke rumah dari
mendaki gunung Slamet masih panjang. Yeah, begitu panjang hingga sempat mampir
ke beberapa tempat hehe. Pagi itu adzan subuh, aku sudah terbangun dari
dinginnya malam. Badan masih terasa pegal-pegal. Sembari menghangatkan badan,
rokok ku sematkan api. Sambil melangkah payah di jalan desa menuju masjid untuk
menunaikan ibadah sholat subuh. Percikan air wudhu membasuh muka yang kusam dan
terlihat lelah. Ku tunaikan sholat dengan menggigil. Yeah, pagi itu angin membawa
hawa dingin terasa lebih kencang dari hari-hari sebelumnya. Desa Bambangan yang
terletak di lereng timur gunung Slamet, otomatis dapat melihat sang surya
perlahan menampakkan diri. Dengan semburat guratan jingga redup terlukis cantik
di langit. Mahakarya Tuhan yang selalu dinantikan oleh penikmat jalan.
Mumpung udara masih segar dan
pagi enggan beranjak siang, saatnya untuk berangkat pulang. Setelah repacking,
tak lupa memanaskan Sheggy supaya siap mengantar kami pulang. Perjalanan pulang
ini akan melewati jalur selatan pulau Jawa. Turunan-turunan tajam desa bambangan –
pertigaan serayu kami lewati dengan berteman sepi. Lengang sekali hanya ada 2
atau 3 keramaian akibat pasar rakyat yang biasanya siang hari sudah hilang
lagi. Kabut tebal juga mengiringi kepergian kami selepas kota Purbalingga
hingga pertigaan Klampok. Selepas itu kabut tak mampu menjangkau kami lagi
karena menguap seiring meningginya sang mentari. Pertigaan Klampok-Banyumas tak lepas dari berbagai rintangan. Meskipun jalan
agak sepi. Jalannya banyak berlubang dan bergelombang. Sikap ugal-ugalan
pengemudi bus lokal ¾ juga membahayakan. Perjalanan semakin seru ketika
melintasi Banyumas - Buntu. Kontur jalanan yang berkelak-kelok dan naik-turun
menggugah rasa ngantuk kami. Pepohonan
milik perhutani yang rindang sepanjang jalan, konon merupakan wilayah yang
angker. Bahkan, beberapa kali jalur ini memakan korban jiwa akibat kecelakaan. Menariknya
disisi jalan, kami menemui banyak orang yang tangannya dibawah menunggu
pengemudi melemparkan koin. Konon, jika kita melempar koin akan selamat
melewati jalur tersebut. Waallahu’alam. Intinya ya harus “berhati-hati,
waspada, berdo’a dan berzikir supaya selamat dalam perjalanan,”kata babeh
#salim.
Sesampainya di perempatan Buntu,
pikiran seakan menjadi buntu. Langsung pulang ke rumah atau nostalgia ke tempat
penelitian skripsiku dulu. Yeah, lebih baik mampir saja mumpung dekat dan
disana ada teman seperjuangan di rumahnya. Tidak membutuhkan waktu yang lama
perjalanan dari Buntu – Kroya – Adipala – Cilacap. Yuhu, sampai juga di Pantai Teluk
Penyu, Cilacap. Tempat penelitian skripsiku. Ombak kala itu sedang pasang. Jadi,
pengunjungnya tidak terlalu banyak. Yeah, karena berpakaian ala orang piknik
perjalanan jauh dengan plat motor kendaraan jauh, kami mesti bayar retribusi
hahaha. Kala itu
Rp. 5.000,-/orang.
Kalau Akamsi-akamsi yang lewat malah gratis
:D.
Di beberapa gazebo terdapat muda-mudi memadu kasih sambil memandangi lautan
:D. Beruntung kami menemukan gazebo yang hanya ada
buyut momong cicitnya hehehe. Di gazebo ini kami mulai membuka lapak untuk memasak.
Si Buyut dan Cicitnya dengan seksama memerhatikan acara kami dan menemani
ngobrol-ngobrol. Masakan sudah matang dan si Cicit tampak ngiler
:D. Kasih nggak ya :
p?
Kasih dah
:D. Yeah,
bagaimana pun cara backpaker yang dilakukan, entah open trip atau share cost
atau soloist atau independen, jika tidak berbaur dengan kearifan lokal seperti
sayur tanpa garam dan percuma
:D.
Pantai Teluk Penyu
Juragan Cicit
Cukup lama menikmati sepoy angin
pantai, kami pamit pada si Buyut dan si Cicit untuk melanjutkan perjalanan
lagi. Namun, tak jauh dari pantai, kami juga mampir di jejeran toko kerajinan
dari cangkang hewan-hewan laut. Misi kami adalah mencari gelang unyu yang sama
dengan yang dipatahkan kesayangan @masjun_krik.
Hasilnya nahas T.T. Nihil T.T. Meskipun semua toko dijelajahi dan empunya toko ditanyai
secara underground (O.O).
Entah, katanya lagi nggak musim atau gimana, mungkin juga karena pada bulan-bulan
itu laut sedang pasang. Akhirnya, kami pulang dengan tangan hampa hahaha. Tak lupa,
aku mampir ke rumah temanku kuliah, seperskripsian, sepenelitian, seperjuangan,
sekalian silaturahmi mumpung masih suasana lebaran. Tian namanya, Cilacap asli.
Mungkin kalau tidak ada dia. Penelitian untuk skripsiku tidak akan lancar dari
segi penginapan dan makan yang gratis, secara rumahnya juga berada di Cilacap. Yeah,
aku berterimakasih banyak padanya. Di rumahnya, banyak yang kami bicarakan
sambil bertukar pikiran ditemani segelas susu putih hangat.
“bila ada sumur di ladang”
“bolehkah kita menumpang mandi”
“bila ada umur yang panjang”
“pastikan kita bertemu lagi”
Yeah, intinya kami mau numpang
mandi wkwkwk. Setelah mandi dan packing bawaan, kami pamit pulang karena
dikejar waktu untuk mengembalikan barang sewaan. Kembali menyusuri jalan yang
sama sampai perempatan Buntu. Di Buntu, kami beli oleh-oleh berupa gethuk
goreng asli Sokaraja Banyumas. Gethuk goreng terbuat dari ketela pohon atau
singkong. Rasanya yang manis dan legit dari gula jawa membuat sensasi
tersendiri disetiap ada kamu :*, eh setiap
gigitan :D. Dengan rasanya yang seperti itu,
banyak penggemarnya termasuk @masjun_krik yang
tergolong manis pula ;D.
Setelah membeli oleh-oleh, kami
melanjutkan perjalanan pulang. Jalanan raya pantai selatan Jawa termasuk
jalanan yang ramai. Di beberapa titik kami terjebak macet. Sampai di Gombong,
kami mampir di tempat wisata sejarah yang instagramable
:D. Yeah, Benteng Van Der Wijck. Lokasi yang ngetrend setelah
dipakai syuting adegan tawuran di lapangan berlumpur tengah penjara
\m/ yaitu film
The Raid 2 : Berandal dan syuting lagunya SlanK “OST : Punya Cinta”.
Benteng Van Der Wijck ini
dibangun pada tahun
1818. Keunikan benteng ini adalah warna bangunan
yang dominan merah menyala bagai semangat para pejuang di masa lalu. Benteng Van Der
Wijck juga merupakan satu-satunya benteng di Indonesia yang berbentuk segi-8.
Wuih keren ya, meskipun Gombong hanya sebuah kota kecil punya benteng segi-8 yang
keren satu-satunya di Indonesia \m/. Konon, Gombong dulunya merupakan pusatnya
eks karesidenan Kedu Selatan. Namun, sekarang hanya sebuah kota kecamatan
bagian dari kabupaten Kebumen. Terkadang sejarah itu banyak yang dikaburkan, ditabukan
dan didoktrinkan, sehingga
@masjun_krik
kurang begitu tertarik dengan sejarah. Untuk informasi lengkap sejarahnya bisa
datang sendiri ya atau cek di wikipedia atau googling hehehe *
peace*.
Setelah bayar parkir motor butut
yang selalu kupanggil Sheggy seharga
Rp. 3000,-. Kami beranjak ke loket masuk benteng. Di loket kami
harus membayar
Rp. 25.000,-/orang.
Dengan harga segitu akan mendapatkan fasilitas gratis kolam renang dan naik
sepur mini. Yeah, di benteng ini tidak hanya ada benteng saja. Ada kolam
renang, kantin, rumah makan bahkan hotel untuk menginap. Karena kami berjalan
ala macan luwe karena pegel-pegel, pasang tampang lusuh, serta barang bawaan
yang berat dan banyak, menjadikan kami perhatian di mata pengunjung lain. Jiah,
kaya artist aja
:D. Padahal mah aneh (
O.
O) tapi tetep keren
kok
:p. Kami tidak banyak mengekplore Benteng
Van Der Wijck secara keseluruhan karena memang sudah lelah jiwa dan raga kami
:D. Untuk melangkah jalan saja sudah berat. Apalagi
naik tangga ke lantai 2 bahkan lantai 3 (landasan kereta wisata atas benteng)
:D. Cukup di tengah lapangan bawah saja menikmati
keunikan arsitektur benteng dan santai-santai berjemur matahari
:D.
Senyum sang dinosaurus melepas waktu kami di Benteng Van Der Wijck. Kemudian kami melanjutkan pulang
melewati jalan raya paling selatan pulau jawa. Yeah, jalan Deandeles yang lurus, lebih sepi, dan beraspal halus daripada jalan raya utama yang menghubungkan Kebumen - Jogja. Jalan Deandeles mengantarkan kami sampai di Kota Bantul. Dari
Bantul menuju Jogja-Solo. Di Solo, mengembalikan alat-alat yang kami sewa dari
Camel Outdoor. Setelah itu kami pulang Sragen dengan selamat. Yeah,
Alhamdulillah kami selamat pulang dari Gunung Slamet :D.
Salam
Jun_krikers