Selasa, 09 Agustus 2016

Slamet Pulang dari Slamet

Slamet Pulang dari Slamet


Perjalanan untuk pulang ke rumah dari mendaki gunung Slamet masih panjang. Yeah, begitu panjang hingga sempat mampir ke beberapa tempat hehe. Pagi itu adzan subuh, aku sudah terbangun dari dinginnya malam. Badan masih terasa pegal-pegal. Sembari menghangatkan badan, rokok ku sematkan api. Sambil melangkah payah di jalan desa menuju masjid untuk menunaikan ibadah sholat subuh. Percikan air wudhu membasuh muka yang kusam dan terlihat lelah. Ku tunaikan sholat dengan menggigil. Yeah, pagi itu angin membawa hawa dingin terasa lebih kencang dari hari-hari sebelumnya. Desa Bambangan yang terletak di lereng timur gunung Slamet, otomatis dapat melihat sang surya perlahan menampakkan diri. Dengan semburat guratan jingga redup terlukis cantik di langit. Mahakarya Tuhan yang selalu dinantikan oleh penikmat jalan.

Mumpung udara masih segar dan pagi enggan beranjak siang, saatnya untuk berangkat pulang. Setelah repacking, tak lupa memanaskan Sheggy supaya siap mengantar kami pulang. Perjalanan pulang ini akan melewati jalur selatan pulau Jawa.  Turunan-turunan tajam desa bambangan – pertigaan serayu kami lewati dengan berteman sepi. Lengang sekali hanya ada 2 atau 3 keramaian akibat pasar rakyat yang biasanya siang hari sudah hilang lagi. Kabut tebal juga mengiringi kepergian kami selepas kota Purbalingga hingga pertigaan Klampok. Selepas itu kabut tak mampu menjangkau kami lagi karena menguap seiring meningginya sang mentari. Pertigaan Klampok-Banyumas  tak lepas dari berbagai rintangan. Meskipun jalan agak sepi. Jalannya banyak berlubang dan bergelombang. Sikap ugal-ugalan pengemudi bus lokal ¾ juga membahayakan. Perjalanan semakin seru ketika melintasi Banyumas - Buntu. Kontur jalanan yang berkelak-kelok dan naik-turun menggugah rasa ngantuk kami.  Pepohonan milik perhutani yang rindang sepanjang jalan, konon merupakan wilayah yang angker. Bahkan, beberapa kali jalur ini memakan korban jiwa akibat kecelakaan. Menariknya disisi jalan, kami menemui banyak orang yang tangannya dibawah menunggu pengemudi melemparkan koin. Konon, jika kita melempar koin akan selamat melewati jalur tersebut. Waallahu’alam. Intinya ya harus “berhati-hati, waspada, berdo’a dan berzikir supaya selamat dalam perjalanan,”kata babeh #salim.

Sesampainya di perempatan Buntu, pikiran seakan menjadi buntu. Langsung pulang ke rumah atau nostalgia ke tempat penelitian skripsiku dulu. Yeah, lebih baik mampir saja mumpung dekat dan disana ada teman seperjuangan di rumahnya. Tidak membutuhkan waktu yang lama perjalanan dari Buntu – Kroya – Adipala – Cilacap. Yuhu, sampai juga di Pantai Teluk Penyu, Cilacap. Tempat penelitian skripsiku. Ombak kala itu sedang pasang. Jadi, pengunjungnya tidak terlalu banyak. Yeah, karena berpakaian ala orang piknik perjalanan jauh dengan plat motor kendaraan jauh, kami mesti bayar retribusi hahaha. Kala itu Rp. 5.000,-/orang. Kalau Akamsi-akamsi yang lewat malah gratis :D. Di beberapa gazebo terdapat muda-mudi memadu kasih sambil memandangi lautan :D. Beruntung kami menemukan gazebo yang hanya ada buyut momong cicitnya hehehe. Di gazebo ini kami mulai membuka lapak untuk memasak. Si Buyut dan Cicitnya dengan seksama memerhatikan acara kami dan menemani ngobrol-ngobrol. Masakan sudah matang dan si Cicit tampak ngiler :D. Kasih nggak ya :p? Kasih dah :D. Yeah, bagaimana pun cara backpaker yang dilakukan, entah open trip atau share cost atau soloist atau independen, jika tidak berbaur dengan kearifan lokal seperti sayur tanpa garam dan percuma :D.



Pantai Teluk Penyu

Juragan Cicit

Cukup lama menikmati sepoy angin pantai, kami pamit pada si Buyut dan si Cicit untuk melanjutkan perjalanan lagi. Namun, tak jauh dari pantai, kami juga mampir di jejeran toko kerajinan dari cangkang hewan-hewan laut. Misi kami adalah mencari gelang unyu yang sama dengan yang dipatahkan kesayangan @masjun_krik. Hasilnya nahas T.T. Nihil T.T. Meskipun semua toko dijelajahi dan empunya toko ditanyai secara underground (O.O). Entah, katanya lagi nggak musim atau gimana, mungkin juga karena pada bulan-bulan itu laut sedang pasang. Akhirnya, kami pulang dengan tangan hampa hahaha. Tak lupa, aku mampir ke rumah temanku kuliah, seperskripsian, sepenelitian, seperjuangan, sekalian silaturahmi mumpung masih suasana lebaran. Tian namanya, Cilacap asli. Mungkin kalau tidak ada dia. Penelitian untuk skripsiku tidak akan lancar dari segi penginapan dan makan yang gratis, secara rumahnya juga berada di Cilacap. Yeah, aku berterimakasih banyak padanya. Di rumahnya, banyak yang kami bicarakan sambil bertukar pikiran ditemani segelas susu putih hangat.

“bila ada sumur di ladang”
“bolehkah kita menumpang mandi”
“bila ada umur yang panjang”
“pastikan kita bertemu lagi”

Yeah, intinya kami mau numpang mandi wkwkwk. Setelah mandi dan packing bawaan, kami pamit pulang karena dikejar waktu untuk mengembalikan barang sewaan. Kembali menyusuri jalan yang sama sampai perempatan Buntu. Di Buntu, kami beli oleh-oleh berupa gethuk goreng asli Sokaraja Banyumas. Gethuk goreng terbuat dari ketela pohon atau singkong. Rasanya yang manis dan legit dari gula jawa membuat sensasi tersendiri disetiap ada kamu :*, eh setiap gigitan :D. Dengan rasanya yang seperti itu, banyak penggemarnya termasuk @masjun_krik yang tergolong manis pula ;D.

Setelah membeli oleh-oleh, kami melanjutkan perjalanan pulang. Jalanan raya pantai selatan Jawa termasuk jalanan yang ramai. Di beberapa titik kami terjebak macet. Sampai di Gombong, kami mampir di tempat wisata sejarah yang instagramable :D. Yeah, Benteng Van Der Wijck. Lokasi yang ngetrend setelah dipakai syuting adegan tawuran di lapangan berlumpur tengah penjara \m/ yaitu film The Raid 2 : Berandal dan syuting lagunya SlanK “OST : Punya Cinta”.


 

Benteng Van Der Wijck ini dibangun pada tahun 1818.  Keunikan benteng ini adalah warna bangunan yang dominan merah menyala bagai semangat para pejuang di masa lalu. Benteng Van Der Wijck juga merupakan satu-satunya benteng di Indonesia yang berbentuk segi-8. Wuih keren ya, meskipun Gombong hanya sebuah kota kecil punya benteng segi-8 yang keren satu-satunya di Indonesia \m/. Konon, Gombong dulunya merupakan pusatnya eks karesidenan Kedu Selatan. Namun, sekarang hanya sebuah kota kecamatan bagian dari kabupaten Kebumen. Terkadang sejarah itu banyak yang dikaburkan, ditabukan dan didoktrinkan, sehingga @masjun_krik kurang begitu tertarik dengan sejarah. Untuk informasi lengkap sejarahnya bisa datang sendiri ya atau cek di wikipedia atau googling hehehe *peace*.




 




Setelah bayar parkir motor butut yang selalu kupanggil Sheggy seharga Rp. 3000,-. Kami beranjak ke loket masuk benteng. Di loket kami harus membayar Rp. 25.000,-/orang. Dengan harga segitu akan mendapatkan fasilitas gratis kolam renang dan naik sepur mini. Yeah, di benteng ini tidak hanya ada benteng saja. Ada kolam renang, kantin, rumah makan bahkan hotel untuk menginap. Karena kami berjalan ala macan luwe karena pegel-pegel, pasang tampang lusuh, serta barang bawaan yang berat dan banyak, menjadikan kami perhatian di mata pengunjung lain. Jiah, kaya artist aja :D. Padahal mah aneh (O.O) tapi tetep keren kok :p. Kami tidak banyak mengekplore Benteng Van Der Wijck secara keseluruhan karena memang sudah lelah jiwa dan raga kami :D. Untuk melangkah jalan saja sudah berat. Apalagi naik tangga ke lantai 2 bahkan lantai 3 (landasan kereta wisata atas benteng) :D. Cukup di tengah lapangan bawah saja menikmati keunikan arsitektur benteng dan santai-santai berjemur matahari :D.



Senyum sang dinosaurus melepas waktu kami di Benteng Van Der Wijck. Kemudian kami melanjutkan pulang melewati jalan raya paling selatan pulau jawa. Yeah, jalan Deandeles yang lurus, lebih sepi, dan beraspal halus daripada jalan raya utama yang menghubungkan Kebumen - Jogja. Jalan Deandeles mengantarkan kami sampai di Kota Bantul. Dari Bantul menuju Jogja-Solo. Di Solo, mengembalikan alat-alat yang kami sewa dari Camel Outdoor. Setelah itu kami pulang Sragen dengan selamat. Yeah, Alhamdulillah kami selamat pulang dari Gunung Slamet :D.

Salam Jun_krikers

Tidak ada komentar:

Posting Komentar