26 Desember 2016
Yeah, setelah mengunjungi eksotisnya Taman Nasional Baluran,
kami melanjutkan ke destinasi terakhir Sunrise of Java yaitu Kawah Ijen dan
Kawah Wurung. Memasuki Kota Banyuwangi, kami disambut oleh patung penari
Gandrung yang bersebelahan dengan pantai Watu Dodol. Sayang, kami melewati
ketika malam hari. Jadi, gak bisa mampir sebentar ke pantainya deh hehe. Di
Kota banyuwangi kami sempatkan diri untuk Sholat Maghrib dan Isa’. Kemudian
mengisi full bahan bakar untuk Sheggy karena untuk menuju Kawah Ijen jalannya
sangat menanjak dan tidak ada SPBU. Ketika di jalan, kami sempat kehilangan
arah menuju Kawah Ijen. Beruntung kami menemukan orang pacaran yang bisa
ditanya. Meski, rasanya agak mengganggu sih. Semoga orang itu langgeng lah ya J. Terimakasih sudah diberi tahu
jalannya J.
Memasuki daerah Licin, kami dicegat untuk bayar registrasi
masuk kawasan hutan Rp. 10.000,-/2 orang. Kata si pencegat itu, kami harus
melewati hutan yang panjangnya 17 km dengan kondisi jalan beraspal sempit,
menanjak dan berliku. Intinya harus hati-hatilah. Yeah, benar saja kami
melewati hutan. Hutannya lebat, seram, horror dan terkesan angker. Malam itu
sangat sepi. Hanya ada 3 motor menuju destinasi yang sama dengan kami. Itupun
motor laki. Jadi bisa ngebut. Sedangkan aku? Tetap selow lah tertinggal jauh
hahaha. Di beberapa spot aku sempat mencium bau bangkai, kadang wangi kemenyan
dan ada penampakan pocong juga disisi kiri jalan di sebuah tikungan yang
menanjak hahaha. Kaget juga sih. Bentuknya mirip guling bersarungkan kain mori
putih. Aku tidak berani melihat wajahnya. Langsung saja aku gas poll sekuat-kuatnya.
Kadang-kadang aku merinding sendiri. Hutan itu terasa begitu panjang dan jauh. Terkadang
ada kabut yang mengganggu pandanganku dan semakin ke atas semakin dingin. Entah
sampai kapan perjalanan membelah hutan di malam yang dingin ini berakhir? Sentimen
negatif selalu saja menghantuiku. Seperti ada yang mengikuti kami dibelakang.
Meskipun sepanjang perjalanan mulutku komat kamit membaca do’a hehe. Untung
saja Sheggy masih tetap sehat sampai di Gerbang Perkemahan Paltuding atau titik
awal pendakian menuju Kawah Ijen.
Pukul 21.30, kami sampai di Paltuding. Dengan tubuh menggigil
kedinginan dan wajah yang tentu saja pucat. Begitu pulang dengan Adikku, Sidiq.
Di perkemahan ini sudah sangat ramai. Yeah, mungkin mereka berangkat pada hari
masih terang. Setelah parkir, kami dikenai tarif Rp. 5.000,-/motor dan titip
helm Rp. 3000,-/helm. Konon katanya sering terjadi pencurian helm. Sedangkan
loket pendakian akan dibuka pukul 01.00 malam dan menurut Pak Wawan, si ranger,
jika mau melihat blue fire harus sekalian menyewa masker karena asap belerang
di kawah ijen saat musim hujan seperti ini lebih pekat. Terbukti beberapa bulan
sebelumnya ada pendaki asal bali yang tewas terpapar asap belerang. Selain itu
juga banyak kasus penambang belerang yang tewas. Oke, keputusan ada ditangan
kami besok pagi. Saatnya mendirikan tenda di camping ground, masak mie, ngopi
dan istirahat maksimal J.
27 Desember 2016
Ternyata kami istirahat terlalu maksimal hahaha. Mungkin
karena kelelahan :D. Kami baru bangun pukul 03.00. Setelah persiapan dan bayar
loket pendakian Rp. 5.000,-/orang, kami siap mendaki pukul 03.30. yeah, sudah
pasti kami tidak bisa melihat blue fire L. Sedih deh L. Padahal sudah jauh-jauh datang L. Tapi tak menyurutkan langkah kami
mendaki. Setidaknya kami sampai di Kawah Ijen. Tracknya lebar berupa tanah
namun sedikit licin karena berpasir sejauh 3 km. Awalnya landai, lalu terjal
dan landai lagi sampai Pos Bunder. Setelah pos Bunder yaitu tempat pengumpulan
belerang track sudah landai, namun disisi kanan terdapat jurang dan rawan longsor.
Banyak juga para pendaki yang jalannya cepat-cepat akhirnya menyerah. Kemudian
menggunakan jasa lorry pengangkut belerang yang disulap menjadi pengangkut
pendaki yang kelelahan. Tentu saja dengan tenaga manusia super si pengangkut
belerang hehe. Tarifnya Rp. 100.000,- sekali angkut. Mungkin kapan-kapan aku
harus mencobanya :D. Sesaat sebelum sampai di Kawah Ijen, kami disuguhi
pemandangan semburat warna jingga di ufuk timur. Yeah, Sunrise pertama di ujung
timur Pulau Jawa. Indah sekali. Sedangkan di Barat, Gunung Raung menjulang
tinggi dengan kegagahan puncak sejatinya. Amazing dah (*,*).
Satu setengah jam kami mendaki, kami sampai di Kawah Ijen. Para
penambang belerang lalu lalang membawa beban yang katanya sekitar 70 kg an.
Meski hanya dibayar tak seberapa. Hal itu demi sesuap nasi dan mencukupi
kebutuhan keluarganya. Salut \m/. Saat itu kondisinya sangat ramai pengunjung
karena memang musim liburan hehe. Membuatku malas untuk turun ke kawah. Api
biru/Blue Fire masih dapat terlihat namun tidak begitu jelas karena sudah
hampir terang. Tebing-tebing kaldera putih keabu-abuan yang mengitari Kawah
Ijen begitu eksotis. Kontras sekali dengan air berwarna biru tosca dari Kawah
Ijen (*,*). Kepulan asap belerang juga tak pernah berhenti. Kami memilih untuk
menaiki spot yang paling tinggi di tebing untuk menikmati pemandangan Kawah Ijen.
Matahari semakin bersinar terang. Asap belerang kawah ijen membumbung semakin
tinggi. Di area kami berada, terkesan mistis karena banyak pohon-pohon mati
akibat asap belerang. Lapar melanda. Kami pun masak mie di atas tebing
tersebut.
Semakin matahari meninggi, tak menyurutkan langkah kami
berputar-putar mengelilingi seputaran Kawah Ijen. Sekaligus mencari jalur untuk
mendaki Kawah Bulan Sabit Gunung Merapi. Sebenarnya kami sudah menemukan
jalurnya. Namun terasa tidak jelas. Harus turun ke lembah kemudian mendaki
punggungan di sebelah utara. Setelah, kami mencoba turun ke lembah. Tiba-tiba
asap belerang dari Kawah Ijen membumbung tinggi. Mengarah ke tempat yang kami
tuju bahkan sampai di ketinggian Gunung Merapi. Belerang itu sungguh pekat.
Kami pun menutup hidung dengan buff dan masker yang diberi air. Sepertinya alam
memberikan sebuah pertanda. Kami pun mengurungkan niat untuk mendaki ke Kawah
Bulan Sabit. Yeah, seperti ada yang membisiki kami jangan kesana dulu. Dia pun
berkata jika suatu saat kami kembali kesini, cobalah peruntungan melihat Blue
Fire yang lebih jelas, kemudian mendaki Kawah Bulan Sabit. Pasti kami akan
mendapatkannya hehe. Tentu saja dengan kondisi fisik yang prima, logistik dan
peralatan yang matang. Mungkin alam mengerti dan tahu kami. Logistik yang kami
bawa masih kurang. Terutama air. Lalu kami lupa membawa tali rafia sebagai
penanda nanti agar tidak tersesat dan parang untuk membabat alas belukar menuju
Kawah Bulan Sabit. Disana juga jarang terjamah oleh manusia. Maka jangan heran
nanti akan merupakan habitat alami binatang buas seperti macan. Kami harus siap
dengan itu semua. Yeah, bersahabatlah dengan alam dan janganlah menantangnya
karena dia tak segan memberi peringatan dalam sebuah pertanda J.
Setelah puas menikmati suasana kawah Ijen, kami beranjak
turun. Aku juga sempat membeli oleh-oleh hiasan berbentuk kura-kura yang lucu
dari penambang belerang. Harga satuannya Rp. 5.000,-. Lalu kami turun dengan
cara berlari hehehe. Pukul 08.00 kami sampai di camping ground. Lalu istirahat,
makan dan tidur.
Pukul 11.00, kami bangun. Lalu bongkar tenda, packing dan
saatnya menuju Kawah Wurung. Lokasinya tak begitu jauh dari camping ground
Kawah Ijen. Cukup arahkan saja menuju Bondowoso, nanti di tengah perkebunan
kopi akan menemukan plang arah Kawah Wurung. Seharusnya, kami mampir dahulu di
air terjun kalipait seberang jalan dari Kawah Ijen. Tapi sudah kelewatan, Ah
sudahlah hahaha L. Setelah menyusuri jalanan makadam di tengah perkebunan
kopi, kami sampai di Kawah Wurung. Tiket masuk hanya Rp. 5.000,-/orang saja. Untuk
menyaksikan pemandangan keren dari Kawah Wurung, kami harus mendaki bukit di
depan tempat kami parkir. 10 menit kemudian hamparan hijau savana ilalang
terlihat menghampar luas di Kawah Wurung yang tidak sempat menjadi kawah gunung
berapi ini. Kawah Wurung membentuk kaldera dengan beberapa bukit hijau seperti bukit-bukit teletubies. Sayang di beberapa spot
terdapat plang besar “KAWAH WURUNG” yang seperti hollywood dan plang-plang kayu
yang mengganggu kealamian pemandangannya. Yeah, semoga saja cepat dibongkar
karena itu sebenarnya merusak alam L. Jika saja kami punya waktu lebih
banyak, kami akan lebih menjelajahi luasnya savana dan mendaki beberapa bukit
itu dan camping atasnya. Cuaca juga sudah tidak mendukung karena mendung, gelap
dan akan turun hujan. Kami pun bergegas turun ke parkiran. Selang waktu
beberapa saat turunlah hujan dengan derasnya. Cukup lama kami berteduh dari
hujan. Setelah hujan mulai reda kami melanjutkan perjalanan pulang ke Sragen.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar