Jumat, 17 Oktober 2014

Nyumbing ke SUMBING #2

Nyumbing ke SUMBING #2


Kamis 26 Juni 2014, Pukul 16.45 harapan itu muncul juga. Langit masih kelabu namun sinar matahari masih bisa menembusnya. Aku, Gita dan Teman dari Temanggung melanjutkan pengembaraan menuju puncak. Jalur sangat terjal berupa batu cadas dan batu lepas menjadi lebih licin karena sehabis hujan. Kami tiba di Tanah Putih. Dimana sebagian tanahnya berwarna putih karena endapan kapur. Disini aku galau. Apakah akan melanjutkan jalan sampai puncak atau balik kanan turun ke rumah keong kami? Pertanda alam membisikkanku untuk turun karena akan ada badai yang lebih hebat dari sebelumnya. Kulihat awan hitam diatas langit bergerak mengikuti angin yang berlawanan arah. Awan itu saling bertubrukkan seperti cabe yang diulek menjadi sambal. Tidak ada angin daratan berhembus. Hanya menyisakan hawa sumuk yang terasa amat sangat menguap karena hujan yang ditahan oleh dewa langit. Kulihat Gita yang sangat kepayahan untuk berjalan seperti orang menderita anemia. Lemah, letih, lesu, lelah dan lunglai. Kutawarkan saja untuk turun dan Gita mengiyakannya. Dua dari anak Temanggung itu mengikuti kami turun sedangkan yang lainnya bersikukuh ingin mencapai Puncak Sumbing. Yeah gerombolanTemanggung itu memang masih anak tanggung alias remaja. Mereka sangat berambisi untuk menahlukkan Gunung Sumbing ini.
Di Tanah Putih inilah merupakan titik tertinggiku saat mendaki Gunung Sumbing saat bersama Gita. Bukan sebuah ketinggian yang diukur oleh satuan kuantitas seperti mdpl. Melainkan ketinggian yang hanya dapat diukur oleh kualitas bagi orang-orang terpilih untuk memahaminya. Yeah disinilah aku mampu berinteraksi dengan bisikkan alam melalui pertandanya. Aku mengerti bahwa alam itu dapat benar-benar ganas atau menjadi sahabat. Kamu bisa menjadi sahabat alam jika mengetahui pertandanya. Tidak ada yang benar-benar mampu menahlukkan alam. Seperti apa yang kukatakan pada Gita yang kuantitas tenaganya hilang menguapkan banyak kalori saat itu. Tidak usah memaksakan diri. Jika ingin menggapai puncak, coba lain waktu. Toh Gunung Dikejar Tak Akan Lari. Dan benar saja, alam kini menunjukkan kuasanya. Saat kami turun dari Tanah Putih, petir sudah menyambar disana sini. Hujan mulai rintik. Angin berhembus dengan kuat. Langit menjadi sangat gelap. Sebentar lagi sudah waktu maghrib. Suasana sangat mencekam. Kami harus bergegas setidaknya sampai di Goa bawah Watu Kotak untuk berteduh dan berlindung dari sambaran petir.
Aku, Gita dan dua teman dari Temanggung sampai di Goa pada waktu maghrib. Hujan sangat lebat disertai angin yang sangat kencang. Petir masih menyambar disana sini bahkan intensitasnya hanya sepersekian detik saja. Terbayang beberapa anak tanggung tadi masih nekat ke puncak. Kata salah 1 teman dari temanggung, mereka hanya berbekal ponco yang dipakai masing-masing dan hanya membawa 2 headlamp untuk penerangan mereka. Aku yakin mereka tak akan sampai puncak. Jikapun sampai, apa yang bisa mereka lihat jikapun mereka menikmati prosesnya? Apa mereka mau cari mati diatas kesombongannya sendiri? Semoga mereka baik-baik saja, pikirku. Yeah Gunung Sumbing ataupun kembarannya yaitu Gunung Sindoro terkenal dengan badai petirnya. Sambaran petir sering menewaskan beberapa pendaki di gunung tersebut karena lalai mematikan alat kominukasinya, barangkali. Kini aku mengalami kejadian badai petir di Gunung Sumbing. Suara petirnya yang balapan memekakkan gendang telinga. Cahaya kilatnya yang berlomba-lomba membunuh kegelapan. Tak ada yang benar-benar dapat mengalahkan kegelapan malam kecuali terbitnya matahari pagi saat itu.
Belum ada tanda badai akan berakhir, bahkan kini lebih ekstrim. Disertai angin kencang yang membuat tubuhku menggigil. Aku membuatkan kopi susu untuk menghangatkan tubuhku, Gita, dan 2 Teman baruku itu. 2 teman baruku itu sangat khawatir pada teman-temannya yang lain. Lama kami menunggu mereka. Kami harus siap jika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Akhirnya mereka sudah sampai di Watu Kotak. Cukup mengagetkan memang. Karena tak terdengar suara langkah kaki meskipun mereka banyak. Kulihat mereka kuyup menggigil kedinginan. Mereka bersungut karena tidak berhasil mencapai puncak. Yeah benar dugaanku. Kopiku sudah habis untuk dipersembahkan pada mereka. Apa daya kami hanya mampu membakar sampah untuk menghangatkan tubuh. Hujan sempat sesekali reda tetapi petir masih sering bersahut-sahutan. Kami tak berani untuk keluar dari goa. Kami harus memastikan kondisi aman untuk kembali ke rumah keong di bawah. Sampah yang dibakar sudah habis tak tersisa. Kami merasakan dingin yang menyengat tulang. Kami semua merapatkan badan agar tak kehilangan suhu tubuh. Saat hujan badai disertai petir seperti ini sangat beresiko terserang hipotermia. Dengan komat-kamit aku berdo’a agar badai berhenti sepenuhnya karena kami semua sudah tak tahan dengan terpapar kondisi cuaca yang buruk dari tadi siang. Alhamdulillah do’a ku terkabul. Langit tiba-tiba begitu cerah tapi masih merintikkan gerimis kecil. Badai sudah berlalu. Hamparan titik-titik cahaya lampu kota sudah terlihat.
Sekitar pukul 22.30 malam, Aku dan Gita bergegas turun lebih dahulu menuju rumah keong. Teman dari Temanggung menyusul kami di belakang. Cahaya headlamp kami mulai redup karena kacanya mengembun. Kami turun perlahan karena jalur turun begitu terjal dan sangat licin sehabis hujan. Kami harus detail menemukan lokasi rumah keong kami. Begitu gelap karena cahaya tak menerangi jalan kami. Aku sempat terkecoh dimana lokasi rumah keong kami berada. Pada akhirnya dengan mata nocturnalku berhasil menemukan lokasinya. Sampai di rumah keong, kami langsung memasak ala kadarnya kemudian makan dan tidur. Tak dipungkiri kami sangat lelah dari dingin yang menyiksa. Kami berencana besok pagi akan pulang kembali ke basecamp. Kami tidak mencoba menggapai puncak besok hari karena persediaan logistik sudah mulai habis. Suatu saat aku akan kembali lagi ke Gunung Sumbing nan cadas ini dan mencoba menggapai puncaknya. Itulah janjiku pada Gunung Sumbing saat itu.
Jumat 27 Juni 2014. Waktu subuh aku sudah terbangun dari mimpi. Ku tengok keluar rumah keong. Yeah cuaca pagi ini begitu cerah. Langit pagi itu unyu sekali karena berwarna pink. Kubangun Gita agar tidak melewatkan momen keunyuan langit pink sehabis badai semalam. Sunrise mulai muncul namun kami tak dapat melihatnya karena terhalang sebagian tebing di depan. Di sebelah utara Gunung Sindoro terlihat seperti tumpeng raksasa berpewarna hijau di dasarnya dan pink di pucuknya. Setelah puas menikmati view yang sangat menarik pagi ini, kami membongkar rumah keong dan mempacking semua peralatan. Kami turun gunung secara perlahan. Melewati jalur yang telah kami daki sebelumnya. Sampai turunan di bawah post 3, Gita sempat jatuh dan menggelundung seperti rolling down. Kubangunkan dia dan sepertinya tidak mengalami cedera. Hanya baju dan celananya saja yang cedera. Yeah kotor sekali. Syukurlah karena aku tak harus membopongnya turun ke bawah. Dia terlihat lemas sekali karena kurang makan hahaha. Baiklah aku berjanji akan memasak ala kadarnya jika sampai post 2 nanti. Kutepati janjiku saat sampai di post 2. Setelah kenyang kami lanjut turun gunung. Jalurnya begitu licin sehingga beberapa kali kami kepleset. Syukurlah cobaan ini sudah berakhir di post 1. Di post 1 ini kami istirahat cukup lama. Kulihat ada petani yang sedang berladang di lahan tembakaunya. Kupanggil saja petani itu supaya dapat mengantarkan Gita sampai basecamp dengan motor. Yeah gita mengojek sampai basecamp karena aku yakin dia pasti pingsan jikalau jalan kaki dari post 1 ke basecamp. Kondisinya sudah pucat dan kelakuannya seperti orang anemia akut. Aku berjalan seorang diri. Menahan cobaan pada dengkulku di jalur menurun terjal berupa makadam sampai batas lahan tembakau dengan desa. Sampai di desa, aku langsung mencari warung untuk membeli rokok. Rokok sudah disebul, membangkitkan tenaga nost-ku yang hilang. Aku melanjutkan jalan ke basecamp lagi.
Aku sampai di basecamp pukul 11.00 siang. Aku disambut Gita yang rupanya sudah bertele-tele ria. Aku istirahat sebentar sambil mimik susu. Rupanya ada 2 kakak tingkat kuliahku yang baru saja turun sampai di basecamp. Kusapa mereka. Kami mengobrolkan kenapa kita tidak ketemu saat diatas. Cukup aneh juga hahaha. Waktu sudah hampir Sholat Jum’at, aku bergegas mandi untuk menghilangkan segala najis. Akhirnya bisa mandi juga setelah 2 hari 2 malam tidak mandi karena berada di atas gunung. Segar rasanya sehabis mandi. Kulitku sudah bersih dan wangi. Jauh dari kata dekil dan bau. Beda sekali dengan Gita yang belum mandi. Hi cewek kok jorok :/. Kulitku lucu sekali karena lembut seperti bayi hahaha kocak dah. Yeah karena aku lupa tidak membawa peralatan mandi, aku minjam saja sabunnya cewek. Dia temannya kakak tingkatku. Menurutku dia juga manis wajahnya :*. Ia memakai flannel yang selera fashionnya juga sama denganku. Menurutku cewek yang suka mendaki gunung dan memakai flannel itu keren. Ditambah kulit yang coklat tapi tak terlalu gosong terbakar matahari terlihat seksi dan manis. Dia telah memenuhi segala aspek itu. Yeah sudahlah aku tak mau memikirkan lebih jauh lagi :p. Kuganti pakaian kotorku dengan pakaian bersih. Setelahnya aku menuju Masjid untuk menunaikan Sholat Jum’at.
Usai Sholat Jum’at aku tersadar jika ban motorku yang belakang bocor. Wah gawat juga saat kondisi uang sudah tipis seperti ini. Ditambah rumah keong yang kami sewa sudah lewat 1 hari dan mesti bayar untuk 2 hari. Aku dan Gita pamit pulang pada kakak tingkatku, beberapa pendaki lain dan penjaga basecamp. Kami terpaksa menuntun motorku sampai tambal ban yang berada di Pasar Kledung. Cukup jauh memang tapi apa boleh buat. Kami sampai di tambal ban. Setelah ban dicek, ternyata aku harus mengganti ban dalam dengan yang baru. Tak ada harta lagi tersisa terpaksa aku beli ban dalam second yang harganya lebih sinting gila miring. Ban sudah diganti, aku kembali menuju basecamp karena helm kami ketinggalan hahaha. Kuambil helm kemudian menjemput Gita di tambal ban. Kami pulang menuju peradaban masing-masing. Gita kuantar sampai Secang Magelang dan kucarikan bus menuju Jogja. Sedangkan Aku ke Semarang. Aku mengembalikan rumah keong sewaan terlebih dulu sebelum pulang ke kostku. Yeah. Alhamdulillah telah diberikan keselamatan saat mendaki Gunung Sumbing nan cadas bersama wanita nekat.
Salam Jun_krikers

Beberapa picture perjalanan:

Nyumbing ke SUMBING #1

Nyumbing ke SUMBING #1


Nekat. Sebuah kata yang aku sematkan pada diri seorang wanita yang pernah kukenal. Gita. Dia teman sependakianku waktu mendaki Gunung Ungaran dulu. Saat itu aku lagi penat akibat tugas kuliah, butuh uang banyak untuk KKL ke Bali dan waktu yang mepet karena sebentar lagi Bulan Ramadhan.  Berawal dari BBM-nya yang menyatakan kerinduannya akan sebuah ketinggian. Aku memproklamasikan niatku untuk mendaki Gunung Sumbing yang belum pernah aku daki sebelumnya. Akhirnya diputuskan pada hari rabu tanggal 25 Juni 2014 akan mendaki Gunung Sumbing 3371 mdpl. Tepatnya selang sehari setelah aku pulang KKL dari Bali dan 3 hari sebelum puasa. Dia tertarik untuk ikut dan dia akan bolos kuliah katanya. Wah wah nekat juga ya? Tak habis pikir. Saat itu kuliahku masih libur satu minggu karena minggu tenang sebelum UAS. Yeah ini juga pendakian penutupan sebelum waktu libur mendaki saat puasa. Sebelumnya aku sempat mengajak teman kuliahku untuk bergabung mendaki Gunung Sumbing tapi dengan alasan yang kurang logis dia membatalkannya. Ah sudahlah yang penting aku jadi mendaki juga karena Gita tidak keberatan jika mendaki berdua saja. Bahkan dia percaya kalau aku bisa menjaganya. Oke fix.
Persiapan yang cukup mendadak dan kondisi keuangan yang melilit tak mengarungi langkahku untuk menepati janji. Pada hari-H Gita naik bus menuju Semarang. Aku menjemputnya di depan Swalayan Ada Banyumanik. Pertemuan singkat langsung saja menuju kostku di Tembalang untuk mengambil beberapa keperluan dan setelahnya menuju tempat penyewaan rumah keong ke Sekaran Unnes. Rumah keong sudah didapat dan dipacking secara rapi. Pukul 15.00 Kami berangkat ke basecamp Gunung Sumbing yang terletak di daerah kledung perbatasan Kab. Temanggung dan Kab. Wonosobo.  Melewati beberapa kota dalam provinsi, dari Ungaran-Ambarawa-Temanggung-Parakan hingga akhirnya sampai di Pasar Kledung sebelum maghrib. Di Pasar ini kami sarapan dengan menu Penyet Lele dan Ayam. Selesai sarapan kami beranjak menuju basecamp Sumbing yang sudah dekat. Jika kamu di jalan raya dari arah Temanggung langsung lurus kearah Wonosobo. Sebelum turunan kledung yang curam dikiri jalan terdapat Bank BRI Garung. Kemudian masuk jalan desa tersebut nanti kiri jalan ada basecamp Sumbing sekitar 200 meter saja dari jalan raya. Yeah kami tiba di basecamp yang rupanya cukup ramai pendaki. Ada yang berniat untuk naik maupun beristirahat karena sudah turun. Tibanya di basecamp aku tidur saja untuk mengumpulkan energi alam dalam bentuk penyesuaian suhu. Aku dan Gita berencana mulai mendaki pukul 20.00 malam.
Pukul 19.30 aku terbangun. Kami persiapkan segala peralatan untuk mendaki. Jerigen 5 liter andalanku sudah terisi penuh buat bekal hidup karena di Gunung Sumbing ini tidak ada sumber air. Setelah membayar registrasi pendakian dan berkonsultasi tentang track Gunung Sumbing pada penjaga basecamp, kami memilih jalur lama via Garung. Kami juga mendapat sebuah peta yang diberikan oleh penjaga basecamp. Tepat pukul 20.00 malam yang cerah, seperti biasa kami registrasi kepada Tuhan agar diberikan keselamatan pendakian. Kami mulai mendaki, headlamp dan lampu senter mulai bercahaya. Pertama melewati jalanan makadam di tengah desa kemudian belok kiri ke arah perkebunan tembakau milik warga. Sebelum perkebunan terdapat makam dan aku agak merinding sih sedikit hehehe. Track makadam di tengah perkebunan tembakau ini sangat curam dan agak membosankan bagi lutut yang kopong karena harus melewatinya sejauh 3 km sampai post 1. Mungkin jika pendakian dilakukan pada siang hari sangat melelahkan dan membosankan hahaha. Beberapa kali Gita meminta beristirahat dan aku mengamininya karena kasihan jika terlalu memporsir tenaga. Soalnya perjalanan masih panjang Bung!
Tak terasa sudah 2 jam kami berjalan santai sampai akhirnya di post 1. Kami beristirahat agak lama di post 1 sambil menikmati siluet hitam Gunung Sindoro serta kelip lampu malam kota dibawahnya. Otot betis hampir beku, kami harus berjalan lagi supaya tidak kaku. Untuk sampai post 2, kami harus berjalan menerobos hutan dengan menyusuri jalan setapak tanah yang licin sehabis hujan kemarin. Gita kusuruh jalan di depanku karena jika dia kepleset dan menggelundung ke bawah, aku bisa menahannya. Banyak percabangan memang, tetapi sama-sama sampai pada titik pertemuan jalur. Deru angin terdengar mengaung-ngaung keras. Kulihat bagian puncak Sumbing sudah tak tampak lagi disertai kilatan-kilatan cahaya, sepertinya akan terjadi hujan badai. Kami percepat langkah supaya dapat mendirikan rumah keong di post 2. Pukul 00.00 malam kami sampai di post 2 yang sudah penuh untuk oleh pendaki yang mendirikan rumah keong. Dengan terpaksa kudirikan saja rumah keong kami di tengah jalur pendakian hahaha. Sudah sangat tidak mungkin mencari lahan di atas ataupun di bawah karena hujan sudah rintik-rintik mencapai gerimis. Rumah keong sudah berdiri, kini giliranku yang masak di teras dengan menu mie instan dan minuman kopi susu hangat. Setelah menyantap habis masakanku, kami langsung tidur saja tak banyak cakap karena besok perjalanan masih panjang. Hujan sangat deras disertai angin kencang, aku dan Gita pun terbangun. Yeah alhasil rumah keong kami kebanjiran -_-. Terpaksa kami tidur dalam balutan jas hujan masing-masing -_-. Dan anehnya kami bisa tidur meskipun kebanjiran :p.
Kamis 26 Juni 2014 pukul 06.30. Pagi ini langit murung namun banjir telah surut. Aku terbangun gara-gara bisik-bisik tetangga pendaki yang melakukan aktivitas masak-memasak. Aku pun tak mau kalah berkompetisi. Kupersiapkan alat memasakku. Lalu kubangunkan Gita agar ikut membantu. Kami memasak mie, sarden, dan kopi susu. Yeah meskipun sederhana tetapi memiliki cita rasa lebih nikmat dari biasanya :p. Setelah cacing perut berbahagia mendapat asupan gizi, kami langsung membongkar rumah keong dan mempackingnya. Ada hal lucu kulihat tentang apa yang dilakukan oleh beberapa anak sispala yang menjadi tetangga kami di post 2. Yeah beberapa anak sispala itu dengan congkaknya menggosok gigi menggunakan pasta giginya setelah mereka makan. Bukankan itu sama saja mencemari lingkungan? Bukankah sispala itu termasuk orang yang terdidik untuk mencintai alam? Sesaat aku langsung mengejeknya tapi tak digubris juga. Aku dicuekin tapi aku tahu dalam benaknya. Mereka pasti sedang memakiku dan menahan malu tetapi tidak dapat diungkapkan dengan kata-kata mereka sendiri. Seperti sesuatu yang menahan mereka saat sembelit :p. Yeah mungkin benar, mereka sedang sembelit setelah kenyang makan karena kulihat mereka berbaris jongkok :p.
Aku dan Gita melanjutkan pengembaraan untuk menuju tempat yang lebih tinggi. Kami berjalan menyusuri lorong perdu hutan yang tak lagi lebat. Di penghabisan hutan Sumbing ini jalur setapak menjadi sangat terjal dan licin sehabis hujan semalam. Terkadang aku ulurkan tanganku untuk sekedar membantu Gita melangkah. Sangat lamban sekali kami melangkah. Seperti keong yang membawa rumah keongnya. Yeah tak dipungkiri kami istirahat cukup lama di post 3 berupa tanah lapang. Di selanya terdapat pohon yang jumlahnya dapat dihitung dengan jari. Ada pula pendaki yang mendirikan rumah keongnya disini. Kami menyapanya sambil TOMBRO (Tolong Fotoin Mas Bro). Cuaca begitu cerah sehingga kami bisa memandang Puncak Sumbing yang bergerigi seperti bibir sumbing. Di sebelah utara terlihat Gunung Sindoro mencakar langit dengan gagahnya meminta untuk digagahi.
Cahaya matahari mulai membakar kulit kami yang dekil karena belum mandi. Pertanda kami harus melanjutkan pengembaraan lagi.  Jalur setapak mulai licin karena berpasir. Sebentar saja kami telah sampai di Pestan (Pasar setan). Kami beristirahat lagi di sini. Ada beberapa pendaki yang mendirikan rumah keong maupun bivak. Pestan? Pasar Setan? Aku tak begitu mengerti mengapa dinamakan demikian mistis dan mengerikan? Yeah pasar adalah tempat yang ramai digunakan untuk aktivitas jual-beli sedangkan setan adalah makhluk tak kasat mata yang suka mengganggu keimanan umat manusia. Jika disangkut-pautkan maka dapat disimpulkan mungkin tempat ini adalah tempat ramai aktivitas jual-beli bagi setan-setan penghuni Gunung Sumbing yang terkadang mengganggu umat manusia. Dalam kacamata modernku aku bertanya tentang apa yang mendasari si pemberi nama Pestan tersebut. Dan itu masih menjadi misteri sampai saat ini. Yeah ada-ada saja dan tak masuk akal. Namun dalam kacamata purbaku aku mengerti maksudnya. Barangkali maksud si pemberi nama Pestan adalah kita harus menjaga sikap dan perbuatan serta berhati-hati jika kita berada di Pestan. Lokasi pestan berada pada punggungan bukit yang terbuka dan rawan longsor. Angin kencang dapat dengan mudahnya menubruk benda yang menghalanginya. Banyak bekas pohon atau juga tanah terbakar akibat tersambar petir. Di sisi lain, di Pestan inilah tempat camp favorit bagi pendaki Gunung sumbing karena memiliki pemandangan yang indah. Jika kita ceroboh dan berlaku congkak dapat berakibat fatal. Dengan dasar demikian maka nama yang terkesan mistis dan mengerikan diberikan karena masih banyak masyarakat yang percaya terhadap takhayul-takhayul. Kita memang harus tak percaya terhadap takhayul, bukan untuk menghujatnya ataupun ditakuti tapi kita harus menemukan maksud baik di balik takhayul itu.
Aku dan Gita melanjutkan pengembaraan lagi. Track licin berpasir dan terjal cukup menyulitkan langkah. Cuaca sungguh galau. Adem-Panas-Adem-Panas. Terkadang kabut membutakan mata. Terkadang matahari menyengat membakar kulit. Seperti kegalauan Gita. Dia mulai merengek tidak begitu jelas seperti orok menangis tiba-tiba saat malam hari. Keringatnya bercucuran lebih dari biasanya. Dia mulai lelah. Aku harus memberi wejangan-wejangan yang memudarkan kegalauannya. Wejanganku tak berhasil. Tapi aku tahu maksud dari kegalauannya. Aku dengan sigap membawakan ransel galaunya. Aku berkata,”Aku Kuat”. Kulihat dia senyum tanpa dosa atas kemenangannya. Huft. Kini aku harus berjalan dengan membawa 2 ransel. 1 ransel yang masih setia di punggungku sedari tadi dan 1 ransel hasil selingkuhan di badanku. Yeah Gita telah diselingkuhi oleh ransel yang sedari tadi di punggungnya. Aku tersenyum karena sesungguhnya aku yang berhasil memenangkannya. Aku berjalan bagai robot perkasa melewati cadas-cadas terjal batu di Komplek Pasar Watu. Gita berjalan tanpa beban dibelakangku. Terkadang kami juga berhenti untuk bernafas santai sampai akhirnya di Persimpangan Pasar Watu. Sebuah persimpangan yang jika lurus maka akan buntu di sebuah jurang dan jika berbelok ke kiri akan menuju Watu Kotak. Kami belok ke kiri melipir setapak yang menurun. Di Sebelah kiri kami, jurang menganga bagai buaya mangap siap menerima lemparan bangkai ayam oleh pawangnya di penangkaran. Sedangkan di Sebelah kanan kami, tebing raksasa Gunung Sumbing menyimpan misteri pada ukiran alamnya. Kulihat Gita yang sangat kepahayan untuk melangkah. Tenaganya tinggal 0,05 watt, barangkali. Aku berniat untuk terus berjalan saja dan mendirikan rumah keong di Watu Kotak yang berjarak cuma 1 jam saja ke puncak. Tapi apa boleh buat. Aku harus mendirikan rumah keong segera mungkin setelah melihat lahan datar daripada Gita pingsan di tengah jalan. Rumah keong telah berdiri di bawah ukiran tebing nan indah. Di dekatnya terdapat goa yang kecil, hanya muat untuk dua orang saja. Ada juga pohon edelweiss yang bunganya sudah mekar berwarna kuning dan putih.  Waktu menunjukkan pukul 10.30 cuaca masih galau saja sedari tadi. Kami masak seadanya saja. Setelah makan kemudian kami istirahat tidur. Rencananya akan summit ke puncak nanti sore atau besok pagi sambil menunggu cuaca yang selalu galau.

Siang pukul 13.30 cuaca tak lebih galau daripada tadi pagi. Aku terbangun oleh sayup-sayup suara pendaki yang akan naik menuju puncak ataupun turun berhasil mencapai puncak. Kutawarkan Gita apakah siap melanjutkan pengembaraan menuju puncak dan melihat sunset. Ternyata dia siap. Oke fix. Rumah keong dan beberapa barang bawaan yang tak begitu penting ditinggalkan. Kami berjalan mengekor di belakang rombongan yang katanya dari Temanggung. Merekalah yang menjadi teman sependakian kami saat itu juga karena tak ada rombongan lain. Sepertinya mereka adalah sispala yang ngecamp di post 2 bersama kami semalam tapi aku tak begitu memerhatikannya karena saat aku mencemoohnya tentang sikat gigi, aku masih keadaan belum fresh bangun tidur. Tidak begitu jelas muka mereka hahaha. Yeah sudahlah yang lalu biarlah berlalu. Kami berjalan menapaki batuan-batuan cadas lepas Gunung Sumbing setelah melakukan semi rock climbing pada tebing yang tingginya sekitar 4 meter. Berjalan cukup santai susul menyusul dengan mereka. Setibanya sampai Watu Kotak, cuaca berubah menjadi sangat gelap. Awan mulai menghitam. Angin juga berhembus cukup kencang. Tak lama kemudian dewa langit menumpahkan hujan dengan derasnya disertai kemarahannya membuat petir menyambar disana sini. Yeah kami tertahan di dalam goa bawah Watu Kotak. Dengan persiapan matang, kami membalut tubuh dengan jas hujan masing-masing. Hujan deras disertai petir begitu lama. Memupuskan harapan kami untuk mencapai puncak Sumbing. Kami harus menunggu sampai harapan itu muncul.

Minggu, 12 Oktober 2014

MERBABU Kelabu #2

MERBABU kelabu #2


Saat itu malam tak seganas dari biasanya. Angin sepoi-sepoi tak membawa dingin ke Puncak Kentengsongo. Api unggun berpijar dengan tenangnya. Mie rebus yang telah dimasak tadi sudah masuk ke dalam lambung untuk melakukan proses ekskresi selanjutnya. Secangkir kopi hitam yang diseruput lebih pahit dari biasanya. Namun dapat ditawarkan rasanya dengan hisapan rokok yang belum berakhir. Aku mencoba tidur sejenak tanpa alas. Yeah kemudian aku tersadar bahwa yang dijadikan api unggun itu adalah seonggok edelweiss yang mereka cabut sampai akarnya. Ku tegur pendaki abal-abal yang mengaku sebagai mapala itu. Aku tak kuasa menjadi guru spiritual yang berkotbah pada jama’ah yang jam terbangnya lebih tinggi dariku sepertinya. Namun sifat iblis malah lebih binal merasuki cakap mereka. Mereka berkata,”kami sudah sering mencintai alam, kami sekali-kali ingin mencoba rasanya merusak alam” sambil cekakaan. Mendengar perkataan iblis itu aku tersengat marah. Namun aku sembunyikan dalam poker face-ku. Jika pun harus berkelahi menurutku itu sia-sia karena tak ada gunanya. Energiku masih kuperlukan untuk turun Gunung Merbabu dan naik Gunung Merapi selanjutnya. Yeah semoga saat ini mereka sudah bertobat nasuha.
Lalu ku packing barang bawaanku dan pergi meninggalkan mapala abal-abal itu di Puncak Kentengsongo, Mul mengekor di belakangku. Mungkin karena aku masih marah, aku berjalan lebih cepat dari biasanya. Saat turun dari Puncak Triangulasi menuju post sabana 2, Mul tertinggal jauh di belakangku. Aku teringat jika aku menyembunyikan jerigenku disekitar sabana 2. Aku khawatir jikalau hilang diambil pendaki lain. Aku berlari dalam gelap. Sangat membahayakan sekali jika tiba-tiba tersandung lalu menggelinding. Beruntung tidak kenapa-kenapa dan akhirnya aku menemukan jerigenku. Yeah Alhamdulillah. Ku tunggu Mul di titik koordinat pertemuanku dengan jerigen pembawa air kehidupan. Tak lama kami bertemu, kami langsung ke menuju sabana 2. Di sabana 2 ini kami disambut oleh beberapa pendaki yang membuat api unggun yang berkomposisi tumpukan kayu bakar. Cukup miris dengan api unggun yang kulihat di Puncak Kentengsongo sebelumnya. Kami bercengkrama dengan pendaki itu disini sembari menenggak minuman jahe yang mereka berikan. Diselanya kami paparkan mimpi kami untuk double M summit ini. Mereka mendukung mimpi kami ini meskipun terkesan mimpi ini penuh kesombongan. Yeah namanya juga anak muda :p. Mereka pamit tidur dalam rumah keongnya. Api unggun telah padam berubah menjadi arang. Aku dan Mul juga pamit melanjutkan mimpi penuh kesombongan ini. Air dalam jerigen masih sangat banyak. Kutuangkan dalam botol saja agar lebih efisien membawanya saat turun. Sisanya kuberikan pada beberapa pendaki sekitar sabana 2 yang membutuhkan.
 Tepat pukul 22.00 kami turun dari sabana 2 menuju sabana 1. Berjalan sangat santai, bermain perosotan dan terkadang berlari mengikuti irama jalur yang menurun tajam hingga sabana 1. Di Sabana 1 kami berhenti hanya untuk menghela nafas sebentar dan menyapa pendaki yang ramai mendirikan rumah keongnya. Jalur turun dari sabana 1 ke post 3 sangat curam dan bercabang banyak. Sehingga kami ubah jalur tersebut menjadi arena perosotan alam. Kami harus hati-hati melewatinya. Yeah turun gunung pada saat gelap memang mempunyai sensasi tersendiri :D. Aku tiba lebih dahulu di Post 3, Mul berada tak jauh di belakangku. Kulihat mukanya yang terlihat pucat dan tiba-tiba dia mengeluarkan laharnya. Penyakit gunungnya sepertinya kambuh. Ku hampiri dia dan meminggirkannya ke tempat yang agak terlindung dari angin. Tiba-tiba laharnya kembali keluar lebih eksplosif dari yang pertama. Waduh bagaimana ini? Pikiranku berkecambuk saat itu tapi jalan pikiranku harus tetap tenang. Mimpi double summit yang terjalin sedemikian rupa harus dibungkus sudah. Kini aku harus menolong sahabatku ini. Seperti pengalaman sebelumnya saat mendaki Gunung Lawu. Kusuruh saja dia tidur meskipun hanya beralaskan matras, berselimutkan sarung, dan beratapkan langit. Kami tidak membawa rumah keong karena awalnya kami berniat mendaki tektok. Aku akan memasak makanan hangat untuk membalikkan kondisi tubuhnya. Hanya ada sisa makanan mie rebus saat itu. Mie rebus sudah kumasak matang. Sendokku hilang entah kemana dan akhirnya aku meminjam sendok pada pendaki lain yang saat itu beristirahat di post 3. Setelah dapat pinjaman sendok, kubangunkan Mul untuk makan seadanya saja meskipun sedikit. Yeah sepertinya dia sudah agak baikkan. Ku kembalikan sendok pinjaman tadi. Namun tiba-tiba lahar kembali keluar eksplosif sehingga menggenangi sebagian jalur pendakian. Saat itu aku menyuruhnya agar cepat turun saja ke basecamp namun Mul menolaknya dan memilih tidur lagi karena merasa pusing teramat sangat. Mul sudah tertidur dan aku masih melek untuk menjaganya. Semoga kondisinya cepat membaik. Amien.
Beberapa pendaki melewatiku duduk termenung di pinggir jalur. Sebagian mereka ada yang menyapa dan ada yang hanya numpang lewat saja. Aku mengumpatkan tawa dalam benak pikiranku. Yeah mereka tak sadar bahwa telah menginjak lahar Mul sedari tadi, semoga membekas abadi pada alas sepatu/sendalnya :p. Beberapa bintang jatuh terlihat dalam rekaman lensa mataku. Yeah aku berdo’a agar Mul tak kenapa-kenapa meskipun aku tak percaya pada bintang jatuh. Sesekali kulihat keadaan Mul. Ku pegang kening, kupingnya, lehernya dan nafasnya apakah beku atau tidak. Kondisi Mul yang tidak sadar atau tertidur seperti itu sangat membahayakan jika penyakit yang ia derita adalah Hipotermia atau juga Mountain Sickness karena gejala awal tidak ada bedanya. Namun saat tertidur seperti itu akan membuatnya punya 2 pilihan yaitu kondisinya akan membaik atau malah ngedrop. Jikalau kondisinya malah ngedrop, aku harus membopongnya ke rumah koeng pendaki yang berdiri di post 3 ini dan melakukan pertolongan ekstra dengan bantuan pendaki lain juga. Aku akan menyesal seumur hidup jikalau aku kehilangan nyawa sahabatku di depan mataku sendiri disaat-saat seperti itu. Dan nantinya aku akan pensiun dari sebuah pendakian gunung. Yeah pendakian kali ini memang tergolong nekat, terlalu bermimpi dan penuh kesombongan. Ini akan menjadi pelajaran berharga untuk melakukan pendakian selanjutnya. Yeah jika memang berniat dan bermimpi untuk double summit harus mempersiapkannya secara matang dan memiliki waktu yang lebih panjang. Segala sesuatu yang terjadi di lapangan tak selamanya seperti apa yang diinginkan. Kuperiksa kembali keadaan Mul dan sepertinya membaik. Alhamdulillah.
Malam sudah terlalu larut, di handphoneku terlihat pukul 01.00 malam. Angin bertiup cukup kencang, aku mulai menggigil. Kubangunkan Mul agar turun saja ke basecamp. Cukup kesal aku dibuatnya, karena tak mau bangun meski aku tau dia terbangun dalam tidurnya. “Aku beri toleransi 1 jam lagi, jika tidak akan kupaksa untuk bangun”, pikirku. Kuhisap rokokku lagi agar tak menggigil, lalu ku rebahan di rerumputan. Agak hangat memang, tetapi lama kelamaan angin menjadi lebih kencang karena tempatku rebahan merupakan jalur angin. Jam toleransiku sudah terpenuhi. Aku sudah menggigil kedinginan dan kaki ku serasa membeku untuk berjalan. Ku bangunkan Mul dengan paksa. Aku berkata cukup kasar nan sadis namun mengandung arti yang sangat dalam dan mungkin membekas dalam pikiran Mul hingga saat ini :p. Aku berkata,”Mul bangun, Lu mau nyiksa Gua kedinginan kayak gini? Kaki Gua udah beku ini, Lu enak ya tidur gitu kayak mati rasa sama dingin -_-“. Akhirnya dia mau bangun juga. Tepat pukul 02.00 malam kami turun untuk menuju basecamp. Saat jalan kaki ku seperti sulit untuk digerakkan. Yeah kaku sekali hingga aku sempat terjatuh dan hampir masuk jurang. Aku bangun lagi dan jalan sangat perlahan hingga masuk hutan. Mul minta istirahat karena dia memuntahkan laharnya lagi. Kuberi toleransi 15 menit untuk ia tidur sejenak. Setelah agak enakkan kami berjalan perlahan lagi hingga sampai post 1. Di post 1 kami beristirahat cukup lama sekitar 30 menit dan Mul tidur dengan pulasnya. Aku yang merasa hawa tidak enak pun mencoba untuk tidur saja namun selalu gagal. Kupaksa Mul bangun lagi untuk turun ke basecamp. Hawa aneh menurutku sangat terasa. Kami berjalan sangat lama dan terasa hanya mutar-mutar saja. Banyak sekali percabangan namun kupilih yang terdapat sampah di jalurnya. Yeah Gunung merbabu dikenal banyak percabangan yang mungkin akan membuat tersesat jika tidak waspada. Apalagi saat itu kami turun pada malam hari. Banyak jalur tikus yang digunakan pendaki lokal atau warga untuk mencari rumput/kayu di hutan. Mul tertinggal agak jauh dibelakangku. Kemudian dia berhenti dan langsung merebahkan diri untuk tidur. Mul mengeluh karena lama tidak sampai basecamp dan merasa mengantuk yang teramat sangat. Aku membujuknya agak keras agar terus berjalan saja karena riskan kalau tidur di hutan tanpa rumah keong. Sungguh sangat riskan jikalau tiba-tiba dipatok ular. Yeah dari kebanyakan hewan melata tersebut bersifat nocturnal sama seperti diriku :D. Sangat lama kami berjalan akhirnya menemukan secercah harapan. Lampu-lampu desa sudah terlihat berarti sebentar lagi sampai basecamp dan di basecamp kami bisa istirahat sepuasnya. Saat itu aku berkata yang intinya, “untung Lu nggak kenapa-kenapa boy, Gua takut banget kalau Lu mati tadi, Gua kan mesti tanggung jawab karena udah ngajak anak orang, apalagi cuma berdua doang Lu sama Gua, ya Gua bisa aja di posisi Lu, Lu di posisi Gua, untung aja Gua di posisi Gua sendiri”. Entah dia dengar atau tidak aku tak tahu. Akhirnya gerbang pendakian Gunung Merbabu via Selo terlewati. Hanya langkah-langkah kecil saja untuk sampai basecamp tepat pukul 04.00 menjelang subuh. Lega rasanya. Kami langsung tidur dengan pulasnya di kursi emperan depan basecamp karena saat itu masih tutup.
Aku bangun sekitar pukul 07.00 pagi karena beberapa pendaki mulai berisik mengganggu tidurku. Kubangunkan Mul dari tidurnya untuk siap-siap pulang. Yeah kami tidak jadi meneruskan mimpi yang sombong untuk menggagahi Gunung Merapi karena beberapa pertimbangan. Tak apalah yang penting keselamatan kami adalah nomor satu. Suatu saat kami pasti mengunjungi Gunung Merapi entah bersama atau tidak hehehe. Pukul 07.30 kami beranjak turun basecamp menuju penitipan belalang tempurku. Setelah sampai kupanasi kemudian beranjak ke warung depan Pasar Selo untuk sarapan. Setelah sarapan kami langsung pulang. Mul kuantar sampai pertigaan Kartasura sedangkan aku pulang ke sragen dan malamnya aku kembali ke Semarang.
Salam Jun_krikers

Beberapa picture perjalanan:

Menuju Basecamp

Gerbang Pendakian

Tracking Bung!

di Post 3

Memandang Gunung Merapi

Track Terjal

Makan Dulu Bung!

Sabana 1

di Tengah Sabana

Mulai Mendaki

Mirip Bukit Teletubies

Sunset Senja

Sabana 2

Batu Berlubang Karena Tak pernah Sikat Batu

di Puncak Triangulasi

di Puncak kentengsongo

Duet Sang pemimpi



MERBABU Kelabu #1

MERBABU kelabu #1


Bagiku, mimpi adalah refleksi dari sebuah keinginan yang belum terwujud. Sebuah mimpi terkadang bisa menjadi kenyataan dan bisa jadi sebaliknya. Tapi apa salahnya jika kita tidak mencoba untuk berusaha meraih mimpi itu meskipun harus banyak berkorban, mustahil dan dianggap gila. Yeah dianggap gila karena tak semua orang mau melakukannya atau dianggap sia-sia saja. Berawal dari dua orang laki-laki petualang yang secara kebetulan bertemu saat pendakian sebuah gunung kemudian menjalin hubungan persahabatan sampai saat ini. Yeah dialah masjun_krik (aku) dan si Mul. Masjun_krik ingin mendaki Gunung Merbabu karena nazar setelah sembuh dari sakitnya sedangkan Mul ingin mendaki Gunung Merapi yang statusnya baru berubah dari waspada menjadi normal akibat letusan freatiknya bulan Mei lalu. Sebuah rapat dari keinginan tersebut menghasilkan sebuah mimpi untuk mendaki dua gunung tersebut sekaligus. Yeah mimpi yang cukup sederhana memang bahkan terkesan sombong juga. Mungkin ini sangat mudah bagi seorang pendaki professional. Mungkin sia-sia saja bagi orang awam ataupun pendaki pemula, mendaki satu gunung saja butuh perjuangan ekstra apalagi dua gunung sekaligus. Schedule keren telah tercipta di asrama Mul sebelum hari-H, tinggal melaksanakannya saja. Tapi apakah kami sanggup? Coba dulu saja hahaha
Sabtu 24 Mei 2014, schedule hari ini adalah mendaki Gunung Merbabu 3142 mdpl, summit mencari view sunset di puncak dan langsung turun sampai ke basecamp pada malam hari *tektok. Pagi hari kami berangkat dari Jogja menuju Selo yang merupakan daerah lembah diantara Gunung Merbabu dan Gunung Merapi. Di Selo terdapat basecamp pendakian dari dua gunung tersebut.  Yeah Selo memang daerah yang tepat untuk ambisi duet sang pemimpi ini. Dengan belalang tempurku, kami melewati jalan Magelang-Ketep pass hingga Selo yang penuh lika-liku dan berlobang. Sampai di Pasar Selo, kami sarapan di warung makan langgananku jika akan mendaki Merbabu atau Merapi. Makanannya enak dan murah jika ditelisik lebih dalam. Selesai sarapan, kami langsung menuju basecamp merbabu yang letaknya cukup membingungkan karena lokasinya jauh masuk dalam desa. Jika tidak bertanya penduduk sekitar akan tersesat dan tak pernah sampai, barangkali. Alhasil kami sampai di jalan satu-satunya yang menuju basecamp, tetapi ada perbaikan jalan sehingga belalang tempur pun tak bisa melewatinya. Terpaksa kami titipkan di rumah warga dan membayarnya untuk parkir. Banyak juga pendaki yang menitipkan belalang tempur di rumah warga tersebut. Basecamp masih jauh, kami pun harus mendaki untuk menggapainya. Melewati lahan sayur milik warga kemudian desa terakhir sebelum gerbang pendakian. Di desa terakhir inilah basecamp Gunung Merbabu berada, tetapi kami langsung terabas saja tidak melakukan perizinan untuk pendakian. Yeah inilah pertama kali aku menjadi pendaki gelap *jangan ditiru ya :p. Sebelum sampai desa terakhir ini kami sudah mengisi air sejerigen 5 liter penuh dari bak penampungan air warga. Perlu diketahui bahwa pendakian Gunung Merbabu via Selo ini tidak ditemukan sumber air, maka dari itu harus berbekal air yang banyak dari bawah.
Jam 12.30 siang kami mulai mendaki dari gerbang pendakian, seperti biasa kami melakukan registrasi wajib kepada Tuhan agar diberikan keselamatan dalam pendakian. Masuk gerbang terdapat dua cabang jalur, ke kanan menuju bumi perkemahan sedangkan lurus menuju puncak *saat itu kami sempat salah jalur hehe. Setelah ambil jalur yang benar, kami dikagetkan oleh segerombolan monkey yang mencari makan. Beruntung tidak terjadi konflik berdarah antara ras manusia dengan monkey tersebut. Monkey disini masih takut terhadap ras manusia. Beda jauh dari monkey yang berada di tempat wisata Grojokan Sewu Tawangmangu dan Uluwatu Bali yang suka usil mengganggu ras manusia. Yeah terkadang perbedaan ras selalu memicu konflik berkepanjangan dan mengakibatkan trauma kepedihan, barangkali :p. Perjalanan cukup membosankan di tengah hutan pinus karena jalurnya masih landai-landai saja berupa tanah liat dan gembur namun licin jika alas sepatu/sendal tumpul. Sampai di post 1 kami istirahat cukup lama. Aku merasa letih sekali, entah mengapa? Mungkin karena aku baru sembuh dari flu. Mungkin aku tak mempersiapkan fisikku seperti jogging sebelum hari pendakian. Mungkin karena matahari terasa di atas ubun kepala sehingga mudah dehidrasi. Mungkin aku belum terbiasa melakukan pendakian diurnal, biasanya aku nocturnal. Yeah itulah kemungkinan-kemungkinan yang tak dapat dihindari.
Perjalanan dilanjutkan kembali hingga tak terasa sudah melewati post 2 yang hutannya tak lebat lagi hingga sampai di post 3 yang terdapat batu di tengah sabana yang indah. Yeah Gunung Merbabu itu terkenal memiliki padang sabana yang indah mirip bukit teletubies. Bunga edelweiss yang baru mekar pun selalu memanjakan mataku. Keindahan ini hanya kutemukan di atas ketinggian dan selalu kurindukan. Terbesit keinginan untuk memetiknya namun prinsip sebagai pecinta alam harus selalu dipegang teguh dalam hati. Yeah yaitu “Dilarang mengambil apapun kecuali gambar, Dilarang membunuh apapun kecuali waktu, Dilarang meninggalkan apapun kecuali jejak”. Mirisnya saat ini banyak yang mengaku pecinta alam tetapi banyak juga yang merusak alam. Seperti melakukan vandalisme di batu ataupun pohon, buang sampah sembarangan, menebang pohon, dan yang paling ngetrend saat ini adalah memetik bunga edelweiss. Yeah bunga edelweiss memang memiliki mitos yang menyesatkan, konyol dan menyusahkan, menurutku. Buat apa orang-orang berbondong-bondong capek-capekan mendaki gunung hanya untuk memetik edelweiss kemudian memberikannya pada kekasih? Agar cintanya abadi? Hanya orang-orang bodoh bin tolol yang melakukan itu. Sudah merusak alam, ditambah lagi tersesatkan oleh mitos. Bukankah cinta abadi itu hanya milik Allah dan Rasull-Nya? Mungkin juga milik Ibu dan Ayah pada anaknya. Jika cinta abadi pada kekasih pun, mestinya harus seperti Romeo dan Juliet. Jika kekasihmu mati, maka kamu harus mati juga, apa kamu mau seperti itu? Aku berani bertaruh pasti 99,99999% tak ada yang mau melakukan seperti itu, meskipun Ibumu pada Ayahmu ataupun sebaliknya sekalipun. Yeah terserahlah, mereka kan punya hak untuk mencintai alam atau merusak alam. Jika mereka merusak alam, biarlah karma yang membalasnya. Hukum karma alam masih berlaku, camkan itu!
Matahari sangat menyengat tak terasa rimbanya. membuatku seperti manusia super saiya. Otakku pun seperti opor ayam yang mendidih. Yeah cairan dalam tubuhku langsung menguap tak berbekas. Kini kabut tebal menutupi bukit-bukit teletubies dan padang edelweiss membentuk siluet yang keren. Kami yang istirahat di post 3 karena merasa capek seperti mendapat tenaga baru untuk berlari-lari di bukit yang tak terlalu tinggi. Aku sangat menikmatinya. Yeah inilah yang dinamakan negeri kalang kabut bagiku. Hawa dingin mulai terasa, aku sangat bersemangat daripada saat terpapar matahari sebelumnya. “Ini baru namanya gunung, hahaha”, kataku pada Mul. Post selanjutnya adalah sabana 1. Kami harus mendaki bukit yang sangat terjal. Jalur berupa tanah gembur dan licin cukup menyulitkan langkah. Kami harus bertumpu pada pohon-pohon sekitar jalur dan harus hati-hati jika tak ingin menjadi sebuah dindong yang jatuh tepat di zona jackpot berhadiah. Kaki ku saat itu mengalami keram, beruntung terdapat lahan yang cukup lapang dan datar akhirnya kami beristirahat disini. Perut sudah berbisik metal keroncong. Alat masak buru-buru dikeluarkan dari dalam bagasi berjalan. Waktunya masak dengan menu tempe goreng hehehe. Tak butuh lama kami memasak hingga akhirnya matang. Nasi yang sudah dikemas sedemikian rupa kini sudah bercampur dengan tempe hasil masakan chef juna :p. Makan sambil menikmati view Gunung Merapi yang gagah disisi selatan sungguh memiliki nilai-nilai yang terwakili oleh angka. Dalam mimpi kami, besok akan kami gagahi si Gunung Merapi yang gagah itu :p. Cacing perut kini sudah tak lagi berpogo-pogo dan slamming ria, hening seketika. Kabut asap rokok menyebul dari dalam kerongkongan yang serak gatal sehabis bernyanyi ala screamer. Tak ingin terlewatkan waktu sunset merbabu, kami lanjutkan lagi perjalanan ke post sabana 1 yang ternyata hanya beberapa langkah saja dari lahan istirahat kami. Banyak juga yang mendirikan tenda di sabana 1 ini karena berlindungi di sekitar pohon edelweiss setinggi 2 meter.
Untuk mencapai post sabana 2, kami harus melewati padang sabana kemudian mendaki bukit yang kondisinya hampir sama dengan menuju post sabana 1 tadi. Langit mulai menjingga pertanda senja akan berganti malam. Hamparan sabana yang hijau berubah menjadi biru-tua. Akhirnya kami sampai di post sabana 2, ku sembunyikan jerigen 5 literku di dalam semak-semak. Sebentar lagi sampai di puncak Gunung Merbabu namun sepertinya kami bakalan sampai di puncak saat gelap hahaha. Headlamp sudah dinyalakan untuk menerangi jalur menuju puncak yang terjal. Kami terlalu ambil jalur ke kanan sehingga menemukan batu seperti di Puncak Kentengsongo *aku lupa nama batunya. Cukup menyulitkan memang karena terjal dan berdebu, akhirnya kami melipir ke kiri atau ke jalur yang lebih mudah. Terus melangkah akhirnya sampai di Puncak Triangalasi. Dan benar saja kami sampai di puncak saat gelap gulita, saat itu sekitar pukul 18.15. Di puncak ini ada yang mendirikan rumah koengnya. Wah sangat berani pikirku, jika tiba-tiba diterjang angin badai kemungkinan bakalan terbang entah kemana karena tak ada penghalangnya. Aku dan Mul mengabadikan momen gelap di Puncak Triangulangi dengan bantuan cahaya senter dan headlamp. Hehehe. Sangat konyol bukan? Disisi lain orang mengabadikan momen di puncak saat terang hari yang pastinya memiliki view sangat bagus. Sedangkan kami hanya meraih kegelapan dan yang dapat kami dilihat adalah siluet hitam dari Gunung Merapi di selatan, siluet hitam dari Gunung Ungaran di utara, kilatan badai Gunung Sumbing di barat, dan hamparan jaring-jaring laba-laba listrik yang menyelimuti kota membentuk titik-titik cahaya saat itu. Dari Puncak Triangulasi kurang afdol rasanya jika tidak melipir ke Puncak Kentengsongo yang hanya berjarak 5 menit saja. Di Puncak Kentengsongo ini ada beberapa batu berlubang yang mungkin tidak pernah sikat batu :p. Entahlah apa fungsi dari batu itu, sepertinya hanya untuk pemujaan bagi penganut tertentu :/ .  Rupanya tak hanya kami berdua yang berada di Kentengsongo ini. Ada sayup-sayup tawa seseorang dibarengi oleh nyala api. Kami selidiki sumber suara itu. Setelah dihampiri ternyata ada beberapa pendaki yang membuat api unggun di depan rumah keongnya. Kami bergabung dengan pendaki itu agar dapat menikmati hangatnya api unggun. Peralatan masak dikeluarkan, kami akan mengisi acara lagi. Menu malam ini adalah mie rebus berbaur dengan hangatnya kopi hitam. 

Rabu, 01 Oktober 2014

Petakilan ke UNGARAN

Petakilan ke UNGARAN 


Sabtu 3 Mei 2014. Pada 2 minggu sebelumnya aku telah mendaki gunung Lawu bersama 4 teman baruku. Aku berjanji pada salah satunya yaitu Si Mul. Aku akan mengajaknya untuk mendaki Gunung Ungaran 2050 mdpl. Sore hari ia datang dari Jogja ke Semarang. Aku menunggu di Pertigaan Lemahbang Ungaran, pertigaan arah menuju tempat wisata Bandungan. Mul datang tak sendiri, ia bersama temannya, Gita namanya, belum pernah mendaki gunung sebelumnya. Tapi tak apalah, menurutku Gunung Ungaran itu ramah bagi pemula dan wanita. Bertemu di TKP pada waktu maghrib, kami langsung berangkat menuju basecamp mawar yang letaknya berada di lereng atas tempat wisata Umbul Sidomukti. Sampai di depan Pasar Jimbaran kami belanja logistik untuk keperluan mendaki dan setelahnya menjelajah jalanan kampung yang menanjak nan gelap, terkadang belalang tempur harus berjalan lebih pelan dari biasanya karena jalanan berubah menjadi arena disco :p. Setelah melewati Umbul Sidomukti kami mulai lapar. Akhirnya kami sarapan di warung pinggir jalan. Ku santap nasi goreng dengan minumnya kopi hitam yang masih mendidih, diselanya kabut asap rokok kembali mengepul seperti cerobong perapian. Hamparan lampu Kota Salatiga dan Ambarawa seperti bintang di bawah. Di langit juga terlihat bintang, seakan-akan aku seperti berada di tengah galaksi saja. Yeah. Aku terlalu banyak mengkhayal. Sudah kenyang, kami lanjut ke basecamp mawar yang tak kurang dari 15 menit sampai. Sampai Mawar kami langsung memarkirkan belalang tempur dan registrasi pendakian ke puncak.
Dirasa, kami sudah siap mendaki setelah melakukan peregangan otot dan aklimatisasi beberapa saat. Tepat jam setengah 9 malam, kami mulai mendaki. Sebelum berjalan kami tak lupa untuk registrasi wajib pada Tuhan agar diberi keselamatan dalam pendakian. Perjalanan dimulai dengan melewati hutan pinus yang teduh, pemandangan lampu kota masih terlihat dibawah. Kemudian menyusuri setapak dalam hutan gunung Ungaran. Jalan setapak sempit masih licin akibat hujan kemarin. Kami harus hati-hati, kalau tidak bisa-bisaterjun bebas ke jurang. Kembali langkah kecil meniti bebatuan melewati sungai kecil yang diatasnya terdengar deru air terjun. Mul berjalan di depan menjadi leader, Gita di tengah, sedangkan aku menjadi sweaper di belakang. Yeah. Ini formasi yang paling cocok untuk kami. Jalan setapak yang tadinya landai-landai saja menjadi sedikit terjal dan licin karena merupakan jalur air sehingga Gita sering mengeluh. Keringatnya bercucuran begitu derasnya, aku dan Mul menyemangatinya agar tak pupus di tengah jalan. Kami berjalan sangat selow sekali dan banyak istirahat sampai pos 1. Di pos 1 ada bangunan shelter terbuat dari kayu, tapi sepertinya sudah bobrok. Kami pun istirahat di pos 1 cukup lama. Kami lanjutkan lagi jalan santainya agar otot betis tidak kembali kaku kalau berhenti terlalu lama. Kondisi track tidak berubah, Gita semaikin mengeluh. Akhirnya aku inisiatif membawakan tasnya agar meringankan beban kehidupannya. Aku seperti robot kala itu. Berjalan dengan tas menggantung di depan dan belakang namun menjadi lebih seimbang buatku untuk membawa beban kehidupan. Pada akhirnya kami sampai di pondokon petani kopi, kami istirahat dan mengambil air dari bak penampungan air untuk menambah bekal minum. Air pegunungan ini sangat segar diminum. Di sebelah bak ada kolam renang namun sayang banyak lumut hijaunya. Mungkin aku akan berenang disini jika pulang nanti hahaha.
Perjalanan dimulai kembali, kini track berubah menjadi makadam selebar 1 mobil. Kami melewati kebun kopi dan teh hingga akhirnya sampai batas kebun teh dengan hutan di atasnya. Kembali masuk ke hutan, jalur setapak nan licin semakin terjal. Banyak pohon tumbang melintang di tengah jalur, kami harus merunduk ataupun melangkahinya. Kami berjalan sangat selow dan banyak istirahat. Yeah. Mungkin kalau tidak ada wanita dalam pendakian Gunung Ungaran kali ini, aku bisa sampai puncak dalam waktu 2 jam jika ngebut. Namun nilai plus dari membawa wanita dalam kelompok pendakian adalah aku bisa berlagak seperti aktor intelektual yang sok menjadi pahlawan dalam contoh membawakan tasnya, barangkali hahaha. Membawa 2 tas seperti itu tak lebih berat daripada membawa beban kehidupanku yang sebenarnya, jadi Gua sih selow kalau ditanya. Track berubah melewati batu-batu nan terjal, semi climbing sedikit dilakukan hingga akhirnya sampai tempat yang memungkinkan untuk mendirikan rumah keong kami. Tempatnya dibawah tebing dan banyak ilalang sehingga aman jika tiba-tiba diterjang angin kencang dan kelebihan lainnya kami mendapatkan spot yang bagus untuk menyaksikan sunrise. Ada beberapa rumah keong juga berdiri disini. Jam setengah 1 malam, rumah keong kami sudah berdiri tegak, saatnya membuat kopi agar menghangatkan tubuh kami. Sampai akhirnya Mul dan Gita memilih bobok duluan karena mengantuk dan lelah perjalanan Jogja-Semarang. Aku yang masih terjaga memilih untuk berjalan-jalan dan bercengkrama dengan pendaki lainnya sambil ngopi dan ngepul. Pemandangan hamparan lampu Kota Semarang menjadi hiburan tersendiri. Aku pun mulai mengantuk dan kembali ke rumah keong untuk bobok.
Minggu pagi 4 Mei 2014. Aku terusik oleh keramaian. Aku pun bangun dan ku tengok ke luar. Ternyata sudah ramai oleh para pemburu sunrise di Gunung Ungaran ini. Sunrise hampir tiba, ku bangunkan Mul dan Gita untuk menyaksikan sunrise bersama-sama. Gita bangun lebih dulu, disusul oleh Mul, sedangkan aku memasak mie dan kopi. Masakan sudah matang, kami menikmatinya sambil melihat momen sunrise. Tak sedikit kami mengabadikan momen tersebut. Matahari mulai terik, kami melanjutkan perjalanan menuju puncak yang tinggal sedikit lagi sampai. Berbekal roti, cemilan, 1 botol air minum dan rokok, kami jalan perlahan. Sampai akhirnya tiba di Puncak terdapat tugu banteng raider. Yeah. Inilah first summit bagi Gita, puncak Gunung Ungaran 2050 mdpl. Di sebelah barat terlihat Gunung Sindoro dan Gunung Sumbing yang lagi bermesraan, di sebelah utara terhampar luas Laut Jawa yang membiru, di sebelah timur Gunung Muria dan Gunung Lawu mengintip di balik awan, dan di sebelah selatan Gunung Merbabu dan Gunung Merapi memperlihatkan kebesarannya. Yeah. Gunung Ungaran ini sebagai pemanasan buatku, aku akan menengok Gunung Merbabu setelahnya. Puas mengabadikan beberapa momen di Puncak, kami kembali ke rumah koeng, membereskannya, packing bawaan dan turun gunung karena matahari sudah terik. Gita kusuruh bawa tasnya sendiri. Setelah sampai di kebun teh, kami sempat salah ambil jalur yang menuju Promasan, bukan ke Basecamp Mawar. Akhirnya balik lagi deh ke pertigaan -_-. Saat turun gunung terasa lebih cepat hingga sampai di bak penampungan air pondokan petani kopi. Aku tidak jadi berenang di kolamnya :P. Disini banyak pendaki yang istirahat, ambil minum dan memasak. Kami membaur bersama mereka. Kami suduh cukup istirahat, lanjut turun gunung. Terasa sangat lambat karena jalan setapak kecil, licin, dan harus berbaris seperti semut karena banyak turun juga. Aku pun terkadang terpeleset karena licin. Yowes to #AKURAPOPO, wes biasa og :P. Sampai akhirnya di Basecamp Mawar, setelah istirahat sebentar, kami pulang dengan belalang tempur masing-masing. Kami berpisah di Pertigaan Lemahbang. Mul dan Gita menuju Jogja sedangkan aku pulang ke Kost ku di Tembalang Semarang.
Beberapa foto perjalanan : 

Sunrise

Menanti Sunrise

Di atas ada Puncak

Di tengah kebun teh

Masjun_krik, Gita dan Mul

Basecamp mawar

di Belakang ada Sumbing dan Sindoro

Main Pesawat

yo

yo

Trio Chibi

KAPAN AKU WISUDA?

Lebih Tinggi

Gaya Andalan

Petakilan


Salam Jun_krikers

LAWU istimewa #2

LAWU istimewa #2


Minggu 20 April 2014. Pagi itu dingin sekali. Aku membelah kepompongku dan keluar dari keong menyusul Bang Onge. Ternyata diluar hampir terang, ku lihat pemandangan di luar. SUBHANALLAH! WOW! AMAZING! WONDERFULL! PERFECT sekali viewnya. Memang hebat sekali ciptaan Tuhan ini. Dari sekian kali aku mendaki gunung, view inilah yang paling keren. Karena view inilah gunung Lawu selalu menjadi favorite ku sampai saat ini :D. Tak lupa aku ambil kamera untuk mengabadikan momen tersebut. Yeah. Samudera awan masih membiru terhampar luas di bawahku sampai semua penjuru arah mata angin. Ingin sekali diriku terbang diatasnya, berjalan diatasnya, ataupun menyelaminya terjun sampai dasar. Barangkali, awan itu mirip arum manis berwarna biru. Akan ku makan dengan buas sampai habis dan gigiku berwarna biru. Ada yang terselip juga tapi sulit digapai hingga membekas, membusuk hingga gigiku sakit meradang. Mul bangkit dari mimpinya. Menghampiriku dan Bang Onge mengabadikan momen ini dengan lensa kamera. Kami ber-3 seperti berada di negeri atas awan dalam sebuah dongeng sebelum mama mengecup kening ketika tertidur. Si Adi dan Ogenk masih menjadi kepompong dalam keong dan melewatkan momen keren ini. Puas dengan apa yang kami lihat sampai matahari mulai meninggi. Bertiga aku, Mul dan Bang Onge berangkat menuju sendang drajat untuk ambil air suci kemudian ke warung Mbok Yem untuk beli pecel telur legendaris. Botol telah terisi air suci dan 5 bungkus nasi pecel telur legendaris sudah di tangan. Aku mengantar Mul sampai puncak Lawu Hargo Dumilah sedangkan Bang Onge membawa buah tangan menuju tenda lagi. Puas dengan berbagai pose di puncak dan sekitarnya, aku dan Mul kembali menuju tenda di pos 5. Beberapa jalak lawu selalu mengikuti kami saat naik ke puncak ataupun turun ke tenda. Sampai tenda, ternyata Adi dan Ogenk sudah bangun sambil bermimpi. Pecel legendaries itu sudah disantap ber-3. Sisa 2, buat aku dan Mul. Adi dan Bang Onge pamit berkelana ke puncak. Lama kemudian aku dan Mul makan pecel legendaris di atas tebing dan di bawah jurang cukup menganga. Meski makanannya sederhana, tapi dengan view istimewa seperti ini menciptakan rasa lebih daripada makanan di restoran mewah. Ogenk memilih menikmati kesendiriannya dalam keong. Adi dan Bang Onge sudah kembali. Aku masih menikmati makanku. Sepertinya aku makan lama sekali. Selesai makan, ritual foto-foto mulai lagi hingga kabut mulai mengganggu penglihatan. Segera kami packing bawaan untuk pulang.
Kabut mulai tebal, hawa dingin mulai terasa, barang-barang terpacking rapi. Kami melakukan registrasi wajib kepada Tuhan, kemudian turun gunung dengan tempo cepat. Di tengah perjalanan kami bertemu dengan 2 wanita perkasa. Mereka memakai 2 tas carrier yang besar. Basa-basi aku bertanya. Ternyata mereka benar-benar hanya berdua saja. Yang satu agak gemuk dan yang satu kurus namun manis, kelihatan seperti anak manja. Namun mereka punya tekad untuk memperingati Hari Kartini besok di puncak. Tak ada laki-laki yang menjaganya. Yeah. Mereka wanita perkasa. Tak terasa sampai pos 3, kami berteduh karena langit menangis. Di pos 3 kami bertemu anak kelas 6 SD yang diajak mendaki sama pamannya. Dia nggak rewel minta gendhong lho J. Katanya sih, dia sudah ke puncak Lawu 3 kali. Yeah. Dia bocah ajaib. Dalam usia itu sudah berkelana dalam dunia pendakian. Untung hujan cuma sebentar, kami lanjut jalan menuruni gunung. Di tengah perjalanan aku bertemu seorang gadis dalam sebuah rombongan. Ya menurutku dia cantik, ku goda saja. Tapi sepertinya ada salah 1 laki-laki di rombongan yang marah, mencoba mendorong ku jatuh tapi tangannya kutarik agar sama-sama jatuh. Pada akhirnya aku tak sempat jatuh. Yeah. Mungkin ini konspirasi saja biar dia terlihat gentle :p. Sampai pos 2 kami bertemu rombangan dari Jakarta. Ada 20 orang dan 2 diantaranya wanita dan 1 diantaranya sedang datang bulan. Di pos 2 kami membuat kopi. Ngopi bareng lah sama rombongan Jakarta itu. Lanjut jalan lagi sampai pos 1. Di pos 1 kami beristirahat lagi. Ada warung disana. Aku tergoda untuk beli es Teh. Langsung kutenggak sampai tetes terakhir, sungguh Shugoi rasanya. Lanjut lagi turun gunung sampai basecamp. Kami sampai basecamp sekitar jam setegah 5 sore.
Bang Onge dan Ogenk pamit duluan pulang ke Maospati. Aku dan Adi mengantar Mul sampai terminal Tawangmangu. Di terminal Tawangmangu sudah tidak ada bus menuju Solo. Ku tawarkan saja Mul untuk ikut aku ke Sragen, biar nanti bisa naik bus menuju Jogja. Yeah cukup riskan kalau Mul ikut Adi naik motor ke Solo. Mul tak bawa helm, jika bertemu Polisi jalanan, transaksi tak dapat terelakkan. Adi pulang ke solo dengan skuter maticnya lebih dulu. Aku dan Mul menembus jalanan kampung nan gelap menuju Sragen. Hujan deras di tengah jalan. Kami berteduh di rumah warga. Disini kami diberi kopi dan cemilan oleh warga tersebut. Yeah. Mereka sungguh baik, mereka menerima kami seperti tamu sendiri. Padahal mereka tidak mengenal kami. Hujan reda, lanjut melewati jalan gelap lagi sampai akhirnya tiba di jalan Raya Sragen depan alun-alun. Ku stop bus arah Jogja dan Mul masuk menungganginya sambil mengucap salam perpisahan kami. Aku kembali minum susu jahe di angkringan buat sekedar jajan malam. Aku pun pulang ke rumah. Sampai rumah aku diwawancarai oleh orang rumah karena aku tidak pamit keluar mendaki gunung. Yeah apa boleh buat. Di rumah tidak ada 2 adikku, mereka pergi main dan mau bilang ke Ibu tiri pun aku agak sungkan. Sedangkan telfon/SMS ke Bapak aku nggak punya pulsa :p. Setelah mandi aku siap-siap untuk berangkat ke Semarang. Aku akan kembali kuliah esok harinya.
Tak ada rasa capek saat itu. Rasa rinduku akan ketinggian telah terobati. Aku mendapat teman baru yang sehobi nan asyik dan kami berjanji akan mendaki gunung bersama lagi suatu saat. Terimakasih Mul, Adi, Bang Onge dan Ogenk. Akhirnya aku tidak jadi mendaki sendirian dan dongeng ini menjadi berwarna karena ada kalian, 3265 mdpl memang istimewa :D.
Beberapa foto perjalanan:


Masjun_krik, Adi, Ogenk, Mul dan Bang Onge

mulai tracking

hijau

di komplek watu jago

santap

amazing view

indah sekali kawan

jempol

mulai tinggi

Tugu Hargo Dumilah

masih di puncak

kawah kuning

bulan kecil

kuncen

baca ya bro 

di Tugu Hargo Dumilah

Sendang Drajat

Makan Nasi Pecel Legendaris

masih ada bulan

5 Sahabat dari 5 Kota yang Berbeda


Salam Jun_krikers