MERBABU kelabu #2
Saat itu malam tak seganas dari
biasanya. Angin sepoi-sepoi tak membawa dingin ke Puncak Kentengsongo. Api
unggun berpijar dengan tenangnya. Mie rebus yang telah dimasak tadi sudah masuk
ke dalam lambung untuk melakukan proses ekskresi selanjutnya. Secangkir kopi
hitam yang diseruput lebih pahit dari biasanya. Namun dapat ditawarkan rasanya
dengan hisapan rokok yang belum berakhir. Aku mencoba tidur sejenak tanpa alas.
Yeah kemudian aku tersadar bahwa yang dijadikan api unggun itu adalah seonggok
edelweiss yang mereka cabut sampai akarnya. Ku tegur pendaki abal-abal yang
mengaku sebagai mapala itu. Aku tak kuasa menjadi guru spiritual yang berkotbah
pada jama’ah yang jam terbangnya lebih tinggi dariku sepertinya. Namun sifat
iblis malah lebih binal merasuki cakap mereka. Mereka berkata,”kami sudah
sering mencintai alam, kami sekali-kali ingin mencoba rasanya merusak alam”
sambil cekakaan. Mendengar perkataan iblis itu aku tersengat marah. Namun aku
sembunyikan dalam poker face-ku. Jika pun harus berkelahi menurutku itu sia-sia
karena tak ada gunanya. Energiku masih kuperlukan untuk turun Gunung Merbabu
dan naik Gunung Merapi selanjutnya. Yeah semoga saat ini mereka sudah bertobat
nasuha.
Lalu ku packing barang bawaanku
dan pergi meninggalkan mapala abal-abal itu di Puncak Kentengsongo, Mul
mengekor di belakangku. Mungkin karena aku masih marah, aku berjalan lebih
cepat dari biasanya. Saat turun dari Puncak Triangulasi menuju post sabana 2,
Mul tertinggal jauh di belakangku. Aku teringat jika aku menyembunyikan
jerigenku disekitar sabana 2. Aku khawatir jikalau hilang diambil pendaki lain.
Aku berlari dalam gelap. Sangat membahayakan sekali jika tiba-tiba tersandung
lalu menggelinding. Beruntung tidak kenapa-kenapa dan akhirnya aku menemukan
jerigenku. Yeah Alhamdulillah. Ku tunggu Mul di titik koordinat pertemuanku
dengan jerigen pembawa air kehidupan. Tak lama kami bertemu, kami langsung ke
menuju sabana 2. Di sabana 2 ini kami disambut oleh beberapa pendaki yang
membuat api unggun yang berkomposisi tumpukan kayu bakar. Cukup miris dengan
api unggun yang kulihat di Puncak Kentengsongo sebelumnya. Kami bercengkrama
dengan pendaki itu disini sembari menenggak minuman jahe yang mereka berikan.
Diselanya kami paparkan mimpi kami untuk double M summit ini. Mereka mendukung
mimpi kami ini meskipun terkesan mimpi ini penuh kesombongan. Yeah namanya juga
anak muda :p. Mereka pamit tidur dalam rumah keongnya. Api unggun telah padam
berubah menjadi arang. Aku dan Mul juga pamit melanjutkan mimpi penuh
kesombongan ini. Air dalam jerigen masih sangat banyak. Kutuangkan dalam botol
saja agar lebih efisien membawanya saat turun. Sisanya kuberikan pada beberapa
pendaki sekitar sabana 2 yang membutuhkan.
Tepat pukul 22.00 kami turun dari sabana 2
menuju sabana 1. Berjalan sangat santai, bermain perosotan dan terkadang
berlari mengikuti irama jalur yang menurun tajam hingga sabana 1. Di Sabana 1
kami berhenti hanya untuk menghela nafas sebentar dan menyapa pendaki yang
ramai mendirikan rumah keongnya. Jalur turun dari sabana 1 ke post 3 sangat
curam dan bercabang banyak. Sehingga kami ubah jalur tersebut menjadi arena
perosotan alam. Kami harus hati-hati melewatinya. Yeah turun gunung pada saat
gelap memang mempunyai sensasi tersendiri :D. Aku tiba lebih dahulu di Post 3,
Mul berada tak jauh di belakangku. Kulihat mukanya yang terlihat pucat dan
tiba-tiba dia mengeluarkan laharnya. Penyakit gunungnya sepertinya kambuh. Ku
hampiri dia dan meminggirkannya ke tempat yang agak terlindung dari angin.
Tiba-tiba laharnya kembali keluar lebih eksplosif dari yang pertama. Waduh
bagaimana ini? Pikiranku berkecambuk saat itu tapi jalan pikiranku harus tetap
tenang. Mimpi double summit yang terjalin sedemikian rupa harus dibungkus
sudah. Kini aku harus menolong sahabatku ini. Seperti pengalaman sebelumnya
saat mendaki Gunung Lawu. Kusuruh saja dia tidur meskipun hanya beralaskan
matras, berselimutkan sarung, dan beratapkan langit. Kami tidak membawa rumah
keong karena awalnya kami berniat mendaki tektok. Aku akan memasak makanan
hangat untuk membalikkan kondisi tubuhnya. Hanya ada sisa makanan mie rebus
saat itu. Mie rebus sudah kumasak matang. Sendokku hilang entah kemana dan
akhirnya aku meminjam sendok pada pendaki lain yang saat itu beristirahat di
post 3. Setelah dapat pinjaman sendok, kubangunkan Mul untuk makan seadanya
saja meskipun sedikit. Yeah sepertinya dia sudah agak baikkan. Ku kembalikan
sendok pinjaman tadi. Namun tiba-tiba lahar kembali keluar eksplosif sehingga
menggenangi sebagian jalur pendakian. Saat itu aku menyuruhnya agar cepat turun
saja ke basecamp namun Mul menolaknya dan memilih tidur lagi karena merasa
pusing teramat sangat. Mul sudah tertidur dan aku masih melek untuk menjaganya.
Semoga kondisinya cepat membaik. Amien.
Beberapa pendaki melewatiku duduk
termenung di pinggir jalur. Sebagian mereka ada yang menyapa dan ada yang hanya
numpang lewat saja. Aku mengumpatkan tawa dalam benak pikiranku. Yeah mereka
tak sadar bahwa telah menginjak lahar Mul sedari tadi, semoga membekas abadi
pada alas sepatu/sendalnya :p. Beberapa bintang jatuh terlihat dalam rekaman
lensa mataku. Yeah aku berdo’a agar Mul tak kenapa-kenapa meskipun aku tak
percaya pada bintang jatuh. Sesekali kulihat keadaan Mul. Ku pegang kening,
kupingnya, lehernya dan nafasnya apakah beku atau tidak. Kondisi Mul yang tidak
sadar atau tertidur seperti itu sangat membahayakan jika penyakit yang ia
derita adalah Hipotermia atau juga Mountain Sickness karena gejala awal tidak
ada bedanya. Namun saat tertidur seperti itu akan membuatnya punya 2 pilihan
yaitu kondisinya akan membaik atau malah ngedrop. Jikalau kondisinya malah
ngedrop, aku harus membopongnya ke rumah koeng pendaki yang berdiri di post 3
ini dan melakukan pertolongan ekstra dengan bantuan pendaki lain juga. Aku akan
menyesal seumur hidup jikalau aku kehilangan nyawa sahabatku di depan mataku
sendiri disaat-saat seperti itu. Dan nantinya aku akan pensiun dari sebuah
pendakian gunung. Yeah pendakian kali ini memang tergolong nekat, terlalu
bermimpi dan penuh kesombongan. Ini akan menjadi pelajaran berharga untuk
melakukan pendakian selanjutnya. Yeah jika memang berniat dan bermimpi untuk
double summit harus mempersiapkannya secara matang dan memiliki waktu yang
lebih panjang. Segala sesuatu yang terjadi di lapangan tak selamanya seperti
apa yang diinginkan. Kuperiksa kembali keadaan Mul dan sepertinya membaik.
Alhamdulillah.
Malam sudah terlalu larut, di
handphoneku terlihat pukul 01.00 malam. Angin bertiup cukup kencang, aku mulai
menggigil. Kubangunkan Mul agar turun saja ke basecamp. Cukup kesal aku
dibuatnya, karena tak mau bangun meski aku tau dia terbangun dalam tidurnya.
“Aku beri toleransi 1 jam lagi, jika tidak akan kupaksa untuk bangun”, pikirku.
Kuhisap rokokku lagi agar tak menggigil, lalu ku rebahan di rerumputan. Agak
hangat memang, tetapi lama kelamaan angin menjadi lebih kencang karena tempatku
rebahan merupakan jalur angin. Jam toleransiku sudah terpenuhi. Aku sudah
menggigil kedinginan dan kaki ku serasa membeku untuk berjalan. Ku bangunkan
Mul dengan paksa. Aku berkata cukup kasar nan sadis namun mengandung arti yang
sangat dalam dan mungkin membekas dalam pikiran Mul hingga saat ini :p. Aku berkata,”Mul
bangun, Lu mau nyiksa Gua kedinginan kayak gini? Kaki Gua udah beku ini, Lu
enak ya tidur gitu kayak mati rasa sama dingin -_-“. Akhirnya dia mau bangun
juga. Tepat pukul 02.00 malam kami turun untuk menuju basecamp. Saat jalan kaki
ku seperti sulit untuk digerakkan. Yeah kaku sekali hingga aku sempat terjatuh
dan hampir masuk jurang. Aku bangun lagi dan jalan sangat perlahan hingga masuk
hutan. Mul minta istirahat karena dia memuntahkan laharnya lagi. Kuberi
toleransi 15 menit untuk ia tidur sejenak. Setelah agak enakkan kami berjalan
perlahan lagi hingga sampai post 1. Di post 1 kami beristirahat cukup lama
sekitar 30 menit dan Mul tidur dengan pulasnya. Aku yang merasa hawa tidak enak
pun mencoba untuk tidur saja namun selalu gagal. Kupaksa Mul bangun lagi untuk
turun ke basecamp. Hawa aneh menurutku sangat terasa. Kami berjalan sangat lama
dan terasa hanya mutar-mutar saja. Banyak sekali percabangan namun kupilih yang
terdapat sampah di jalurnya. Yeah Gunung merbabu dikenal banyak percabangan yang
mungkin akan membuat tersesat jika tidak waspada. Apalagi saat itu kami turun
pada malam hari. Banyak jalur tikus yang digunakan pendaki lokal atau warga
untuk mencari rumput/kayu di hutan. Mul tertinggal agak jauh dibelakangku.
Kemudian dia berhenti dan langsung merebahkan diri untuk tidur. Mul mengeluh
karena lama tidak sampai basecamp dan merasa mengantuk yang teramat sangat. Aku
membujuknya agak keras agar terus berjalan saja karena riskan kalau tidur di
hutan tanpa rumah keong. Sungguh sangat riskan jikalau tiba-tiba dipatok ular. Yeah dari
kebanyakan hewan melata tersebut bersifat nocturnal sama seperti diriku :D.
Sangat lama kami berjalan akhirnya menemukan secercah harapan. Lampu-lampu desa
sudah terlihat berarti sebentar lagi sampai basecamp dan di basecamp kami bisa
istirahat sepuasnya. Saat itu aku berkata yang intinya, “untung Lu nggak
kenapa-kenapa boy, Gua takut banget kalau Lu mati tadi, Gua kan mesti tanggung
jawab karena udah ngajak anak orang, apalagi cuma berdua doang Lu sama Gua, ya
Gua bisa aja di posisi Lu, Lu di posisi Gua, untung aja Gua di posisi Gua
sendiri”. Entah dia dengar atau tidak aku tak tahu. Akhirnya gerbang pendakian
Gunung Merbabu via Selo terlewati. Hanya langkah-langkah kecil saja untuk
sampai basecamp tepat pukul 04.00 menjelang subuh. Lega rasanya. Kami langsung
tidur dengan pulasnya di kursi emperan depan basecamp karena saat itu masih
tutup.
Aku bangun sekitar pukul 07.00
pagi karena beberapa pendaki mulai berisik mengganggu tidurku. Kubangunkan Mul
dari tidurnya untuk siap-siap pulang. Yeah kami tidak jadi meneruskan mimpi
yang sombong untuk menggagahi Gunung Merapi karena beberapa pertimbangan. Tak
apalah yang penting keselamatan kami adalah nomor satu. Suatu saat kami pasti
mengunjungi Gunung Merapi entah bersama atau tidak hehehe. Pukul 07.30 kami
beranjak turun basecamp menuju penitipan belalang tempurku. Setelah sampai
kupanasi kemudian beranjak ke warung depan Pasar Selo untuk sarapan. Setelah
sarapan kami langsung pulang. Mul kuantar sampai pertigaan Kartasura sedangkan
aku pulang ke sragen dan malamnya aku kembali ke Semarang.
Salam Jun_krikers
Beberapa picture perjalanan:
Menuju Basecamp
Gerbang Pendakian
Tracking Bung!
di Post 3
Memandang Gunung Merapi
Track Terjal
Makan Dulu Bung!
Sabana 1
di Tengah Sabana
Mulai Mendaki
Mirip Bukit Teletubies
Sunset Senja
Sabana 2
Batu Berlubang Karena Tak pernah Sikat Batu
di Puncak Triangulasi
di Puncak kentengsongo
Duet Sang pemimpi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar