Rabu, 01 Oktober 2014

LAWU istimewa #1

LAWU istimewa #1


Saat itu aku merasa rindu. Bukan rindu pada seseorang melainkan rindu akan sebuah ketinggian. Yeah di atas ketinggian aku bisa melihat segalanya. Dekat sekali dengan langit. Berada di atas awan. Bahkan aku juga bisa menyentuh awan yang lucu ketika siang. Melihat banyak bintang ketika malam. Terkadang ada bintang jatuh. Aku bisa meminta sebuah permintaan. Seperti anak kecil yang polos walaupun sebenarnya yang dapat mengabulkan hanya Allah.  Malam itu langit sedang tak berbintang. Aku merasa suntuk di kost ku Tembalang, Semarang. Aku sendirian di kost karena teman kost ku sudah lulus kuliah semua. Ada long weekend dari hari jumat-minggu dan tugas kuliahku sudah selesai semua. Aku pulang kampung ke Sragen malam dini hari itu juga. Jumat pagi aku sampai rumah, lalu tidur sampai sholat Jumat tiba. Setelah sholat Jumat tak ada kegiatan berarti buatku. Hanya memikirkan bagaimana rasa rindu akan ketinggian itu terobati. Inilah mountain sickness yang sebenarnya buatku. Yeah mountain sickness adalah penyakit mematikan bagi pendaki gunung akibat dari tubuh tidak mampu beradaptasi dengan alam gunung yang kurang oksigen, biasanya diatas 2400 mdpl. Tapi lebih mematikan lagi rasanya jika aku tidak mengobati rinduku akan ketinggian. Akhirnya kuputuskan untuk naik gunung Lawu berketinggian 3265 mdpl esok hari. Sendirian.
Sabtu 19 April 2014. Pagi itu aku terbangun dari mimpi kemudian mimpi lagi dan bangun agak terik. Ku persiapkan perbekalan, ada roti, mie, kopi, rokok dan air mineral. Peralatanku sangat di bawah standar, ada korek, kamera pocket hasil pinjaman teman, headlamp murahan, sepatu gunung termurah tapi nyaman dipakai, sarung untuk selimut, jas hujan, jaket lapangan, tas ransel 35+5 liter dan tidak bawa tenda. Aku akan menginap di warung Mbok Yem saja pikirku. Yeah semua perlengkapanku memang di bawah standar dalam sebuah kegiatan mendaki gunung. Caci maki orang terhadapku, siap aku terima. Terkadang aku iri pada mereka yang kelihatan safety. Tapi aku tahu diri. Untuk safety harus punya uang lebih. Jika tidak punya aku harus menabung. Tabunganku selalu ku peras buat keperluanku kuliah. Tak sempat aku beli perlengkapan biar safety. Yeah suatu saat aku pasti bisa safety. Setidaknya aku sudah berpengalaman beberapa kali mendaki gunung Lawu dengan bekal apa adanya. Itulah nilai lebih buatku. Mungkin aku angkuh dan sombong. Lantas, tekad sudah membaja untuk melepas kerinduanku atas sebuah ketinggian. Semoga aku selamat dalam perjalanan sampai puncak Lawu maupun pulang ke rumah lagi dengan cerita yang indah. Amien.
Setelah sholat dzuhur dijama’ ashar aku berangkat tanpa pamit orang rumah ke pos pendakian Cemoro Sewu Gunung Lawu. Aku tiba pukul 13.30 disana. Sesampainya aku langsung memesan segelas kopi hitam buat menghangatkan tubuh yang mulai membeku. Di tengah  seruputan kopi dan kabut asap rokokku datang seorang yang akan mendaki Lawu juga. Dia berkenalan denganku namanya Mul anak Gorontalo tapi kuliah di Jogja. Kuperkenalkan diriku yang biasanya dipanggil Jun. Ternyata si Mul menunggu 3 temannya yang masih OTW dan dia mengajakku untuk bergabung dengan kelompoknya. Mungkin dia kasihan melihatku karena aku yang  berencana mendaki seorang diri. Ku iya kan saja niat baiknya, orang yang baru ku kenal belum ada 30 menit. Sembari ngopi bareng, satu persatu temannya Mul datang. Yang pertama ada Adi datang dari Solo. Kemudian disusul Bang Onge dan saudaranya Ogenk. Keduanya asal Jakarta tapi Ogenk tinggal di Maospati. Ku perkenalkan diriku pada semuanya. Ternyata mereka ramah dan bersedia jika aku bergabung dalam kelompok pendakiannya kali ini. Ada hal lucu disini, dimana mereka belum pernah bertemu satu sama lain sebelumnya. Mereka itu Mul, Adi dan Bang Onge. Mereka dipertemukan dalam sebuah thread ajakan pendakian di grup pendaki dalam Facebook. Hahahaha sangat konyol bukan? Ternyata jejaring sosial bisa mempertemukan orang-orang sehobi tanpa pernah bertemu di dunia nyata sebelumnya. Dunia maya memang hebat dan konyol bahkan sempit, tapi masih kalah dari dunia mimpi :p. Dari 3 dunia itu pun saling terhubung. Pertama di dunia nyata kamu berpikir, kedua di dunia maya kamu nyatakan, dan terakhir di dunia mimpi kamu bayangkan. Lalu kembali ke dunia nyata kamu lakukan, ke dunia maya kamu ceritakan, dan ke dunia mimpi kamu teringat. Yeah semua dunia pasti terhubung, ada dunia ghaib, ada dunia kubur, ada dunia akhirat dll. Ah sudah lah tak usah dipikirkan nanti terlalu sembelit :p.
Kami rasa, kami sudah siap melakukan pendakian setelah aklimatisasi beberapa saat. Registrasi pendakian wajib dilakukan. Yeah registrasi kepada Tuhan dengan do’a. Kemudian registrasi pendakian yang sunah dilakukan. Jika dilakukan akan baik, jika tidak ya tidak apa, barangkali. Kami bayar secuil harta pada petugas pos pendakian untuk menikmati alam yang diciptakan Tuhan. Tapi bukankah Tuhan menciptakan alam dengan gratis? Tapi manusia telah merampas  ciptaan Tuhan dalam bentuk komersialisme dengan harapan agar alam dapat terjaga dengan baik. Tepat pukul 15.30 kami mulai menapaki setapak batu seperti tangga. Melewati hamparan pohon pinus terkadang di sela ladang penduduk. Kadang nanjak, kadang landai. Cukup membosankan untuk otot dengkul yang kopong. Cuaca masih murung, tetapi terasa panas. Tak terasa sudah berjalan 1,5 jam dan kami sampai pos 1 setelah melewati beberapa pos bayangan. Istirahat sebentar, minum dan ngemil. Lanjut lagi perjalanan ke pos 2. Kondisi track tidak berubah. Ditengah perjalanan melewati komplek watu jago. Banyak dupa berserakan dimana-mana. Wanginya bagai aroma terapi. Tempat ini salah satu dari beberapa tempat sakral di gunung Lawu. Di watu jago kami beristirahat, sekedar minum  dan melihat pemandangan sekitar. Di sela awan kelabu nan unyu ada pelangi. Indah sekali, tapi kembali ditelan langit yang mulai murung. Sepertinya langit akan menangis. Kami bergegas kabur agar tangisannya tidak menghujani kami. Sampai di pos 2 sebelum hampir maghrib, kami mulai lapar. Acara masak memasak dimulai. Masakannya sederhana, cuma mie instan berkuah campur 5 bakso siap disantap. Begitu pula dengan kopi susu yang siap diseruput. Kabut asap rokok menyebul dari cerobong masing-masing, menemani canda tawa kami saat itu. Inilah kenikmatan dibalik kesederhanaan dalam kebersamaan J.
Langit sudah gelap. Benar saja, langit menangis dengan derasnya. Kami berteduh didalam shelter pos 2. Berjejalan dengan puluhan pendaki lainnya. Ramai sekali. Berisik dengan cuap-cuapnya. Ku ambil posisi wenak untuk duduk dan tidur sesaat. Aku tergugah. Beberapa pendaki mulai melanjutkan perjalanan meski masih gerimis kecil. Aku tak tahan untuk buang air kecil. Aku keluar shelter dan kencing dibalik batu. Tak peduli jika memang ada makhluk yang mengintip atau terusik. Yeah untuk masalah kencing banyak mitos agar tidak kencing sembarangan. Banyak pendaki awan yang kencing dalam botol. Kemudian membuang botolnya sembarangan atau tak mau bawa turun botol itu karena jijik dengan kencingnya sendiri. Konyol sekali. Bahkan dulu ada temanku yang kencing dalam termos miliknya karena takut akan mitos tersebut. Bukan kah kita harus takut hanya kepada Tuhan? Sampai saat ini aku tak tahu apakah termos itu masih digunakan? Apalah arti sebuah mitos bagiku jika itu menyesatkan dan menyusahkan. Kencinglah dengan cara yang wajar dan melegakan. Aku selesai. Aku wajar. Aku lega. Kembali ke teman-teman baru ku dalam shelter. Rupanya sudah siap melangkah lagi. Jas hujan warna-warni sudah membalut tubuh kami. Kerlip senter dan headlamp seperti kunang-kunang dalam gelap. Langkah mulai pelan. Track sudah tak menyisakan bonus. Berhenti sedikit-sedikit mengatur nafas. Si Mul memuntahkan laharnya. Dan yang lain mulai kepanikan. Si Mul diberi  minum, coklat, cemilan. Aku bertanya-tanya. Apa dia sanggup atau tidak? Jika tidak sanggup, kami turun lagi dan ngecamp di pos 2 *Saat itu Bang Onge yang empunya tenda. Tapi Si Mul menyatakan kesanggupannya untuk melanjutkan perjalanan lagi. Okelah lanjut lagi meskipun kami semua was-was akan keadaannya. Tak terasa sampai pos 3 dan hanya berlalu saja.

Dari pos 3 ke pos 4. Track semakin membuat kami mencium lutut sendiri. Langit masih hitam tapi berhenti menangis. Deru angin gunung Lawu seperti jet melintas. Kami banyak istirahat bahkan tertidur sesaat di tengah tangga berbatu. Susul menyusul dengan kelompok lain tak terelakkan. Setiap bertemu, selalu saja saling menyapa, terasa basi daripada garing tapi itu menunjukkan keramahannya. Itulah hiburan tersendiri yang membuatku tertawa dalam hati. Yeah. Hanya saat mendaki gununglah kamu mendapatkan perlakuan seperti ini. Beda sekali jika kamu hidup di kota, pasti langka bahkan tak ada tegur sapa. Mungkin jika kamu hidup di desa masih bisa merasakan tegur sapa sesama manusia. Yeah tapi tetap saja ada pendaki yang cuek dan tak ramah, mungkin dia sembelit :p. Yeah hanya saat mendaki gunung lah kamu menjadi manusia yang hipokrit atau berkhianat dengan dirimu sendiri. Kamu menjadi dirimu sendiri atau menjadi dirimu yang lain. Bermuka dua, serigala berbulu domba, barangkali aktor intelektual. Tak dipungkiri probabilitas itu muncul diatas fenomena tersebut dan ada padaku meskipun hanya beberapa sekian persen saja. Sampai juga di pos 4, bersebelahan dengan tanah kapur dan dibaliknya ada jurang yang dalamnya tak kasap mata. Cuma sebentar kami sampai pos 5, tepat jam 11 malam. Tanahnya cukup lapang. Ada beberapa rumah keong berwarna yang sudah berdiri. Kami pun mendirikannya disini juga, tepatnya dibalik perdu yang cukup menahan angin. Disini anginnya kencang membawa hawa dingin sehabis hujan. Tenda sudah berdiri. Mul sudah berada dalam kantung tidurnya untuk mengembalikkan fisiknya. Perjuanganmu tak sia-sia kawan, kamu pasti bisa sampai puncak besok. Aku, Adi dan Bang Onge masak lagi. Yeah masakan seperti biasanya. Sedangkan Ogenk menyiapkan sebuah mimpi untuk kami ber-4. Mie dan kopi susu sudah matang, kami  ber-5 saling menyantapnya bergiliran. Setelah kenyang, Mul tidur duluan. Tinggal kami ber-4 bermimpi sambil menikmati rokok dan kopi susu sampai semuanya berubah menjadi kepompong.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar