LAWU istimewa #1
Saat itu aku merasa rindu. Bukan
rindu pada seseorang melainkan rindu akan sebuah ketinggian. Yeah di atas
ketinggian aku bisa melihat segalanya. Dekat sekali dengan langit. Berada di
atas awan. Bahkan aku juga bisa menyentuh awan yang lucu ketika siang. Melihat
banyak bintang ketika malam. Terkadang ada bintang jatuh. Aku bisa meminta
sebuah permintaan. Seperti anak kecil yang polos walaupun sebenarnya yang dapat
mengabulkan hanya Allah. Malam itu
langit sedang tak berbintang. Aku merasa suntuk di kost ku Tembalang, Semarang.
Aku sendirian di kost karena teman kost ku sudah lulus kuliah semua. Ada long
weekend dari hari jumat-minggu dan tugas kuliahku sudah selesai semua. Aku
pulang kampung ke Sragen malam dini hari itu juga. Jumat pagi aku sampai rumah,
lalu tidur sampai sholat Jumat tiba. Setelah sholat Jumat tak ada kegiatan
berarti buatku. Hanya memikirkan bagaimana rasa rindu akan ketinggian itu
terobati. Inilah mountain sickness yang sebenarnya buatku. Yeah mountain
sickness adalah penyakit mematikan bagi pendaki gunung akibat dari tubuh tidak
mampu beradaptasi dengan alam gunung yang kurang oksigen, biasanya diatas 2400
mdpl. Tapi lebih mematikan lagi rasanya jika aku tidak mengobati rinduku akan
ketinggian. Akhirnya kuputuskan untuk naik gunung Lawu berketinggian 3265 mdpl esok
hari. Sendirian.
Sabtu 19 April 2014. Pagi itu aku
terbangun dari mimpi kemudian mimpi lagi dan bangun agak terik. Ku persiapkan
perbekalan, ada roti, mie, kopi, rokok dan air mineral. Peralatanku sangat di
bawah standar, ada korek, kamera pocket hasil pinjaman teman, headlamp murahan,
sepatu gunung termurah tapi nyaman dipakai, sarung untuk selimut, jas hujan,
jaket lapangan, tas ransel 35+5 liter dan tidak bawa tenda. Aku akan menginap
di warung Mbok Yem saja pikirku. Yeah semua perlengkapanku memang di bawah
standar dalam sebuah kegiatan mendaki gunung. Caci maki orang terhadapku, siap
aku terima. Terkadang aku iri pada mereka yang kelihatan safety. Tapi aku tahu
diri. Untuk safety harus punya uang lebih. Jika tidak punya aku harus menabung.
Tabunganku selalu ku peras buat keperluanku kuliah. Tak sempat aku beli
perlengkapan biar safety. Yeah suatu saat aku pasti bisa safety. Setidaknya aku
sudah berpengalaman beberapa kali mendaki gunung Lawu dengan bekal apa adanya.
Itulah nilai lebih buatku. Mungkin aku angkuh dan sombong. Lantas, tekad sudah
membaja untuk melepas kerinduanku atas sebuah ketinggian. Semoga aku selamat dalam
perjalanan sampai puncak Lawu maupun pulang ke rumah lagi dengan cerita yang
indah. Amien.
Setelah sholat dzuhur dijama’
ashar aku berangkat tanpa pamit orang rumah ke pos pendakian Cemoro Sewu Gunung
Lawu. Aku tiba pukul 13.30 disana. Sesampainya aku langsung memesan segelas
kopi hitam buat menghangatkan tubuh yang mulai membeku. Di tengah seruputan kopi dan kabut asap rokokku datang
seorang yang akan mendaki Lawu juga. Dia berkenalan denganku namanya Mul anak
Gorontalo tapi kuliah di Jogja. Kuperkenalkan diriku yang biasanya dipanggil
Jun. Ternyata si Mul menunggu 3 temannya yang masih OTW dan dia mengajakku
untuk bergabung dengan kelompoknya. Mungkin dia kasihan melihatku karena aku
yang berencana mendaki seorang diri. Ku
iya kan saja niat baiknya, orang yang baru ku kenal belum ada 30 menit. Sembari
ngopi bareng, satu persatu temannya Mul datang. Yang pertama ada Adi datang
dari Solo. Kemudian disusul Bang Onge dan saudaranya Ogenk. Keduanya asal
Jakarta tapi Ogenk tinggal di Maospati. Ku perkenalkan diriku pada semuanya.
Ternyata mereka ramah dan bersedia jika aku bergabung dalam kelompok
pendakiannya kali ini. Ada hal lucu disini, dimana mereka belum pernah bertemu
satu sama lain sebelumnya. Mereka itu Mul, Adi dan Bang Onge. Mereka
dipertemukan dalam sebuah thread ajakan pendakian di grup pendaki dalam Facebook.
Hahahaha sangat konyol bukan? Ternyata jejaring sosial bisa mempertemukan
orang-orang sehobi tanpa pernah bertemu di dunia nyata sebelumnya. Dunia maya
memang hebat dan konyol bahkan sempit, tapi masih kalah dari dunia mimpi :p.
Dari 3 dunia itu pun saling terhubung. Pertama di dunia nyata kamu berpikir,
kedua di dunia maya kamu nyatakan, dan terakhir di dunia mimpi kamu bayangkan.
Lalu kembali ke dunia nyata kamu lakukan, ke dunia maya kamu ceritakan, dan ke
dunia mimpi kamu teringat. Yeah semua dunia pasti terhubung, ada dunia ghaib,
ada dunia kubur, ada dunia akhirat dll. Ah sudah lah tak usah dipikirkan nanti
terlalu sembelit :p.
Kami rasa, kami sudah siap melakukan
pendakian setelah aklimatisasi beberapa saat. Registrasi pendakian wajib dilakukan.
Yeah registrasi kepada Tuhan dengan do’a. Kemudian registrasi pendakian yang
sunah dilakukan. Jika dilakukan akan baik, jika tidak ya tidak apa, barangkali.
Kami bayar secuil harta pada petugas pos pendakian untuk menikmati alam yang
diciptakan Tuhan. Tapi bukankah Tuhan menciptakan alam dengan gratis? Tapi
manusia telah merampas ciptaan Tuhan
dalam bentuk komersialisme dengan harapan agar alam dapat terjaga dengan baik. Tepat
pukul 15.30 kami mulai menapaki setapak batu seperti tangga. Melewati hamparan
pohon pinus terkadang di sela ladang penduduk. Kadang nanjak, kadang landai.
Cukup membosankan untuk otot dengkul yang kopong. Cuaca masih murung, tetapi
terasa panas. Tak terasa sudah berjalan 1,5 jam dan kami sampai pos 1 setelah
melewati beberapa pos bayangan. Istirahat sebentar, minum dan ngemil. Lanjut
lagi perjalanan ke pos 2. Kondisi track tidak berubah. Ditengah perjalanan
melewati komplek watu jago. Banyak dupa berserakan dimana-mana. Wanginya bagai
aroma terapi. Tempat ini salah satu dari beberapa tempat sakral di gunung Lawu.
Di watu jago kami beristirahat, sekedar minum
dan melihat pemandangan sekitar. Di sela awan kelabu nan unyu ada
pelangi. Indah sekali, tapi kembali ditelan langit yang mulai murung.
Sepertinya langit akan menangis. Kami bergegas kabur agar tangisannya tidak menghujani
kami. Sampai di pos 2 sebelum hampir maghrib, kami mulai lapar. Acara masak
memasak dimulai. Masakannya sederhana, cuma mie instan berkuah campur 5 bakso siap
disantap. Begitu pula dengan kopi susu yang siap diseruput. Kabut asap rokok
menyebul dari cerobong masing-masing, menemani canda tawa kami saat itu. Inilah
kenikmatan dibalik kesederhanaan dalam kebersamaan J.
Langit sudah gelap. Benar saja,
langit menangis dengan derasnya. Kami berteduh didalam shelter pos 2.
Berjejalan dengan puluhan pendaki lainnya. Ramai sekali. Berisik dengan
cuap-cuapnya. Ku ambil posisi wenak untuk duduk dan tidur sesaat. Aku tergugah.
Beberapa pendaki mulai melanjutkan perjalanan meski masih gerimis kecil. Aku
tak tahan untuk buang air kecil. Aku keluar shelter dan kencing dibalik batu.
Tak peduli jika memang ada makhluk yang mengintip atau terusik. Yeah untuk masalah
kencing banyak mitos agar tidak kencing sembarangan. Banyak pendaki awan yang
kencing dalam botol. Kemudian membuang botolnya sembarangan atau tak mau bawa
turun botol itu karena jijik dengan kencingnya sendiri. Konyol sekali. Bahkan
dulu ada temanku yang kencing dalam termos miliknya karena takut akan mitos
tersebut. Bukan kah kita harus takut hanya kepada Tuhan? Sampai saat ini aku
tak tahu apakah termos itu masih digunakan? Apalah arti sebuah mitos bagiku
jika itu menyesatkan dan menyusahkan. Kencinglah dengan cara yang wajar dan
melegakan. Aku selesai. Aku wajar. Aku lega. Kembali ke teman-teman baru ku dalam
shelter. Rupanya sudah siap melangkah lagi. Jas hujan warna-warni sudah
membalut tubuh kami. Kerlip senter dan headlamp seperti kunang-kunang dalam
gelap. Langkah mulai pelan. Track sudah tak menyisakan bonus. Berhenti
sedikit-sedikit mengatur nafas. Si Mul memuntahkan laharnya. Dan yang lain
mulai kepanikan. Si Mul diberi minum,
coklat, cemilan. Aku bertanya-tanya. Apa dia sanggup atau tidak? Jika tidak
sanggup, kami turun lagi dan ngecamp di pos 2 *Saat itu Bang Onge yang empunya
tenda. Tapi Si Mul menyatakan kesanggupannya untuk melanjutkan perjalanan lagi.
Okelah lanjut lagi meskipun kami semua was-was akan keadaannya. Tak terasa
sampai pos 3 dan hanya berlalu saja.
Dari pos 3 ke pos 4. Track
semakin membuat kami mencium lutut sendiri. Langit masih hitam tapi berhenti
menangis. Deru angin gunung Lawu seperti jet melintas. Kami banyak istirahat
bahkan tertidur sesaat di tengah tangga berbatu. Susul menyusul dengan kelompok
lain tak terelakkan. Setiap bertemu, selalu saja saling menyapa, terasa basi
daripada garing tapi itu menunjukkan keramahannya. Itulah hiburan tersendiri
yang membuatku tertawa dalam hati. Yeah. Hanya saat mendaki gununglah kamu
mendapatkan perlakuan seperti ini. Beda sekali jika kamu hidup di kota, pasti
langka bahkan tak ada tegur sapa. Mungkin jika kamu hidup di desa masih bisa
merasakan tegur sapa sesama manusia. Yeah tapi tetap saja ada pendaki yang cuek
dan tak ramah, mungkin dia sembelit :p. Yeah hanya saat mendaki gunung lah kamu
menjadi manusia yang hipokrit atau berkhianat dengan dirimu sendiri. Kamu
menjadi dirimu sendiri atau menjadi dirimu yang lain. Bermuka dua, serigala
berbulu domba, barangkali aktor intelektual. Tak dipungkiri probabilitas itu
muncul diatas fenomena tersebut dan ada padaku meskipun hanya beberapa sekian
persen saja. Sampai juga di pos 4, bersebelahan dengan tanah kapur dan
dibaliknya ada jurang yang dalamnya tak kasap mata. Cuma sebentar kami sampai
pos 5, tepat jam 11 malam. Tanahnya cukup lapang. Ada beberapa rumah keong
berwarna yang sudah berdiri. Kami pun mendirikannya disini juga, tepatnya
dibalik perdu yang cukup menahan angin. Disini anginnya kencang membawa hawa
dingin sehabis hujan. Tenda sudah berdiri. Mul sudah berada dalam kantung
tidurnya untuk mengembalikkan fisiknya. Perjuanganmu tak sia-sia kawan, kamu
pasti bisa sampai puncak besok. Aku, Adi dan Bang Onge masak lagi. Yeah masakan
seperti biasanya. Sedangkan Ogenk menyiapkan sebuah mimpi untuk kami ber-4. Mie
dan kopi susu sudah matang, kami ber-5
saling menyantapnya bergiliran. Setelah kenyang, Mul tidur duluan. Tinggal kami
ber-4 bermimpi sambil menikmati rokok dan kopi susu sampai semuanya berubah
menjadi kepompong.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar