Minggu, 12 Oktober 2014

MERBABU Kelabu #1

MERBABU kelabu #1


Bagiku, mimpi adalah refleksi dari sebuah keinginan yang belum terwujud. Sebuah mimpi terkadang bisa menjadi kenyataan dan bisa jadi sebaliknya. Tapi apa salahnya jika kita tidak mencoba untuk berusaha meraih mimpi itu meskipun harus banyak berkorban, mustahil dan dianggap gila. Yeah dianggap gila karena tak semua orang mau melakukannya atau dianggap sia-sia saja. Berawal dari dua orang laki-laki petualang yang secara kebetulan bertemu saat pendakian sebuah gunung kemudian menjalin hubungan persahabatan sampai saat ini. Yeah dialah masjun_krik (aku) dan si Mul. Masjun_krik ingin mendaki Gunung Merbabu karena nazar setelah sembuh dari sakitnya sedangkan Mul ingin mendaki Gunung Merapi yang statusnya baru berubah dari waspada menjadi normal akibat letusan freatiknya bulan Mei lalu. Sebuah rapat dari keinginan tersebut menghasilkan sebuah mimpi untuk mendaki dua gunung tersebut sekaligus. Yeah mimpi yang cukup sederhana memang bahkan terkesan sombong juga. Mungkin ini sangat mudah bagi seorang pendaki professional. Mungkin sia-sia saja bagi orang awam ataupun pendaki pemula, mendaki satu gunung saja butuh perjuangan ekstra apalagi dua gunung sekaligus. Schedule keren telah tercipta di asrama Mul sebelum hari-H, tinggal melaksanakannya saja. Tapi apakah kami sanggup? Coba dulu saja hahaha
Sabtu 24 Mei 2014, schedule hari ini adalah mendaki Gunung Merbabu 3142 mdpl, summit mencari view sunset di puncak dan langsung turun sampai ke basecamp pada malam hari *tektok. Pagi hari kami berangkat dari Jogja menuju Selo yang merupakan daerah lembah diantara Gunung Merbabu dan Gunung Merapi. Di Selo terdapat basecamp pendakian dari dua gunung tersebut.  Yeah Selo memang daerah yang tepat untuk ambisi duet sang pemimpi ini. Dengan belalang tempurku, kami melewati jalan Magelang-Ketep pass hingga Selo yang penuh lika-liku dan berlobang. Sampai di Pasar Selo, kami sarapan di warung makan langgananku jika akan mendaki Merbabu atau Merapi. Makanannya enak dan murah jika ditelisik lebih dalam. Selesai sarapan, kami langsung menuju basecamp merbabu yang letaknya cukup membingungkan karena lokasinya jauh masuk dalam desa. Jika tidak bertanya penduduk sekitar akan tersesat dan tak pernah sampai, barangkali. Alhasil kami sampai di jalan satu-satunya yang menuju basecamp, tetapi ada perbaikan jalan sehingga belalang tempur pun tak bisa melewatinya. Terpaksa kami titipkan di rumah warga dan membayarnya untuk parkir. Banyak juga pendaki yang menitipkan belalang tempur di rumah warga tersebut. Basecamp masih jauh, kami pun harus mendaki untuk menggapainya. Melewati lahan sayur milik warga kemudian desa terakhir sebelum gerbang pendakian. Di desa terakhir inilah basecamp Gunung Merbabu berada, tetapi kami langsung terabas saja tidak melakukan perizinan untuk pendakian. Yeah inilah pertama kali aku menjadi pendaki gelap *jangan ditiru ya :p. Sebelum sampai desa terakhir ini kami sudah mengisi air sejerigen 5 liter penuh dari bak penampungan air warga. Perlu diketahui bahwa pendakian Gunung Merbabu via Selo ini tidak ditemukan sumber air, maka dari itu harus berbekal air yang banyak dari bawah.
Jam 12.30 siang kami mulai mendaki dari gerbang pendakian, seperti biasa kami melakukan registrasi wajib kepada Tuhan agar diberikan keselamatan dalam pendakian. Masuk gerbang terdapat dua cabang jalur, ke kanan menuju bumi perkemahan sedangkan lurus menuju puncak *saat itu kami sempat salah jalur hehe. Setelah ambil jalur yang benar, kami dikagetkan oleh segerombolan monkey yang mencari makan. Beruntung tidak terjadi konflik berdarah antara ras manusia dengan monkey tersebut. Monkey disini masih takut terhadap ras manusia. Beda jauh dari monkey yang berada di tempat wisata Grojokan Sewu Tawangmangu dan Uluwatu Bali yang suka usil mengganggu ras manusia. Yeah terkadang perbedaan ras selalu memicu konflik berkepanjangan dan mengakibatkan trauma kepedihan, barangkali :p. Perjalanan cukup membosankan di tengah hutan pinus karena jalurnya masih landai-landai saja berupa tanah liat dan gembur namun licin jika alas sepatu/sendal tumpul. Sampai di post 1 kami istirahat cukup lama. Aku merasa letih sekali, entah mengapa? Mungkin karena aku baru sembuh dari flu. Mungkin aku tak mempersiapkan fisikku seperti jogging sebelum hari pendakian. Mungkin karena matahari terasa di atas ubun kepala sehingga mudah dehidrasi. Mungkin aku belum terbiasa melakukan pendakian diurnal, biasanya aku nocturnal. Yeah itulah kemungkinan-kemungkinan yang tak dapat dihindari.
Perjalanan dilanjutkan kembali hingga tak terasa sudah melewati post 2 yang hutannya tak lebat lagi hingga sampai di post 3 yang terdapat batu di tengah sabana yang indah. Yeah Gunung Merbabu itu terkenal memiliki padang sabana yang indah mirip bukit teletubies. Bunga edelweiss yang baru mekar pun selalu memanjakan mataku. Keindahan ini hanya kutemukan di atas ketinggian dan selalu kurindukan. Terbesit keinginan untuk memetiknya namun prinsip sebagai pecinta alam harus selalu dipegang teguh dalam hati. Yeah yaitu “Dilarang mengambil apapun kecuali gambar, Dilarang membunuh apapun kecuali waktu, Dilarang meninggalkan apapun kecuali jejak”. Mirisnya saat ini banyak yang mengaku pecinta alam tetapi banyak juga yang merusak alam. Seperti melakukan vandalisme di batu ataupun pohon, buang sampah sembarangan, menebang pohon, dan yang paling ngetrend saat ini adalah memetik bunga edelweiss. Yeah bunga edelweiss memang memiliki mitos yang menyesatkan, konyol dan menyusahkan, menurutku. Buat apa orang-orang berbondong-bondong capek-capekan mendaki gunung hanya untuk memetik edelweiss kemudian memberikannya pada kekasih? Agar cintanya abadi? Hanya orang-orang bodoh bin tolol yang melakukan itu. Sudah merusak alam, ditambah lagi tersesatkan oleh mitos. Bukankah cinta abadi itu hanya milik Allah dan Rasull-Nya? Mungkin juga milik Ibu dan Ayah pada anaknya. Jika cinta abadi pada kekasih pun, mestinya harus seperti Romeo dan Juliet. Jika kekasihmu mati, maka kamu harus mati juga, apa kamu mau seperti itu? Aku berani bertaruh pasti 99,99999% tak ada yang mau melakukan seperti itu, meskipun Ibumu pada Ayahmu ataupun sebaliknya sekalipun. Yeah terserahlah, mereka kan punya hak untuk mencintai alam atau merusak alam. Jika mereka merusak alam, biarlah karma yang membalasnya. Hukum karma alam masih berlaku, camkan itu!
Matahari sangat menyengat tak terasa rimbanya. membuatku seperti manusia super saiya. Otakku pun seperti opor ayam yang mendidih. Yeah cairan dalam tubuhku langsung menguap tak berbekas. Kini kabut tebal menutupi bukit-bukit teletubies dan padang edelweiss membentuk siluet yang keren. Kami yang istirahat di post 3 karena merasa capek seperti mendapat tenaga baru untuk berlari-lari di bukit yang tak terlalu tinggi. Aku sangat menikmatinya. Yeah inilah yang dinamakan negeri kalang kabut bagiku. Hawa dingin mulai terasa, aku sangat bersemangat daripada saat terpapar matahari sebelumnya. “Ini baru namanya gunung, hahaha”, kataku pada Mul. Post selanjutnya adalah sabana 1. Kami harus mendaki bukit yang sangat terjal. Jalur berupa tanah gembur dan licin cukup menyulitkan langkah. Kami harus bertumpu pada pohon-pohon sekitar jalur dan harus hati-hati jika tak ingin menjadi sebuah dindong yang jatuh tepat di zona jackpot berhadiah. Kaki ku saat itu mengalami keram, beruntung terdapat lahan yang cukup lapang dan datar akhirnya kami beristirahat disini. Perut sudah berbisik metal keroncong. Alat masak buru-buru dikeluarkan dari dalam bagasi berjalan. Waktunya masak dengan menu tempe goreng hehehe. Tak butuh lama kami memasak hingga akhirnya matang. Nasi yang sudah dikemas sedemikian rupa kini sudah bercampur dengan tempe hasil masakan chef juna :p. Makan sambil menikmati view Gunung Merapi yang gagah disisi selatan sungguh memiliki nilai-nilai yang terwakili oleh angka. Dalam mimpi kami, besok akan kami gagahi si Gunung Merapi yang gagah itu :p. Cacing perut kini sudah tak lagi berpogo-pogo dan slamming ria, hening seketika. Kabut asap rokok menyebul dari dalam kerongkongan yang serak gatal sehabis bernyanyi ala screamer. Tak ingin terlewatkan waktu sunset merbabu, kami lanjutkan lagi perjalanan ke post sabana 1 yang ternyata hanya beberapa langkah saja dari lahan istirahat kami. Banyak juga yang mendirikan tenda di sabana 1 ini karena berlindungi di sekitar pohon edelweiss setinggi 2 meter.
Untuk mencapai post sabana 2, kami harus melewati padang sabana kemudian mendaki bukit yang kondisinya hampir sama dengan menuju post sabana 1 tadi. Langit mulai menjingga pertanda senja akan berganti malam. Hamparan sabana yang hijau berubah menjadi biru-tua. Akhirnya kami sampai di post sabana 2, ku sembunyikan jerigen 5 literku di dalam semak-semak. Sebentar lagi sampai di puncak Gunung Merbabu namun sepertinya kami bakalan sampai di puncak saat gelap hahaha. Headlamp sudah dinyalakan untuk menerangi jalur menuju puncak yang terjal. Kami terlalu ambil jalur ke kanan sehingga menemukan batu seperti di Puncak Kentengsongo *aku lupa nama batunya. Cukup menyulitkan memang karena terjal dan berdebu, akhirnya kami melipir ke kiri atau ke jalur yang lebih mudah. Terus melangkah akhirnya sampai di Puncak Triangalasi. Dan benar saja kami sampai di puncak saat gelap gulita, saat itu sekitar pukul 18.15. Di puncak ini ada yang mendirikan rumah koengnya. Wah sangat berani pikirku, jika tiba-tiba diterjang angin badai kemungkinan bakalan terbang entah kemana karena tak ada penghalangnya. Aku dan Mul mengabadikan momen gelap di Puncak Triangulangi dengan bantuan cahaya senter dan headlamp. Hehehe. Sangat konyol bukan? Disisi lain orang mengabadikan momen di puncak saat terang hari yang pastinya memiliki view sangat bagus. Sedangkan kami hanya meraih kegelapan dan yang dapat kami dilihat adalah siluet hitam dari Gunung Merapi di selatan, siluet hitam dari Gunung Ungaran di utara, kilatan badai Gunung Sumbing di barat, dan hamparan jaring-jaring laba-laba listrik yang menyelimuti kota membentuk titik-titik cahaya saat itu. Dari Puncak Triangulasi kurang afdol rasanya jika tidak melipir ke Puncak Kentengsongo yang hanya berjarak 5 menit saja. Di Puncak Kentengsongo ini ada beberapa batu berlubang yang mungkin tidak pernah sikat batu :p. Entahlah apa fungsi dari batu itu, sepertinya hanya untuk pemujaan bagi penganut tertentu :/ .  Rupanya tak hanya kami berdua yang berada di Kentengsongo ini. Ada sayup-sayup tawa seseorang dibarengi oleh nyala api. Kami selidiki sumber suara itu. Setelah dihampiri ternyata ada beberapa pendaki yang membuat api unggun di depan rumah keongnya. Kami bergabung dengan pendaki itu agar dapat menikmati hangatnya api unggun. Peralatan masak dikeluarkan, kami akan mengisi acara lagi. Menu malam ini adalah mie rebus berbaur dengan hangatnya kopi hitam. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar