MERBABU kelabu #1
Bagiku, mimpi adalah refleksi
dari sebuah keinginan yang belum terwujud. Sebuah mimpi terkadang bisa menjadi
kenyataan dan bisa jadi sebaliknya. Tapi apa salahnya jika kita tidak mencoba
untuk berusaha meraih mimpi itu meskipun harus banyak berkorban, mustahil dan
dianggap gila. Yeah dianggap gila karena tak semua orang mau melakukannya atau
dianggap sia-sia saja. Berawal dari dua orang laki-laki petualang yang secara
kebetulan bertemu saat pendakian sebuah gunung kemudian menjalin hubungan
persahabatan sampai saat ini. Yeah dialah masjun_krik (aku) dan si Mul.
Masjun_krik ingin mendaki Gunung Merbabu karena nazar setelah sembuh dari
sakitnya sedangkan Mul ingin mendaki Gunung Merapi yang statusnya baru berubah
dari waspada menjadi normal akibat letusan freatiknya bulan Mei lalu. Sebuah
rapat dari keinginan tersebut menghasilkan sebuah mimpi untuk mendaki dua
gunung tersebut sekaligus. Yeah mimpi yang cukup sederhana memang bahkan
terkesan sombong juga. Mungkin ini sangat mudah bagi seorang pendaki
professional. Mungkin sia-sia saja bagi orang awam ataupun pendaki pemula,
mendaki satu gunung saja butuh perjuangan ekstra apalagi dua gunung sekaligus. Schedule
keren telah tercipta di asrama Mul sebelum hari-H, tinggal melaksanakannya saja.
Tapi apakah kami sanggup? Coba dulu saja hahaha
Sabtu 24 Mei 2014, schedule hari
ini adalah mendaki Gunung Merbabu 3142 mdpl, summit mencari view sunset di
puncak dan langsung turun sampai ke basecamp pada malam hari *tektok. Pagi hari
kami berangkat dari Jogja menuju Selo yang merupakan daerah lembah diantara
Gunung Merbabu dan Gunung Merapi. Di Selo terdapat basecamp pendakian dari dua
gunung tersebut. Yeah Selo memang daerah
yang tepat untuk ambisi duet sang pemimpi ini. Dengan belalang tempurku, kami
melewati jalan Magelang-Ketep pass hingga Selo yang penuh lika-liku dan
berlobang. Sampai di Pasar Selo, kami sarapan di warung makan langgananku jika
akan mendaki Merbabu atau Merapi. Makanannya enak dan murah jika ditelisik
lebih dalam. Selesai sarapan, kami langsung menuju basecamp merbabu yang
letaknya cukup membingungkan karena lokasinya jauh masuk dalam desa. Jika tidak
bertanya penduduk sekitar akan tersesat dan tak pernah sampai, barangkali.
Alhasil kami sampai di jalan satu-satunya yang menuju basecamp, tetapi ada
perbaikan jalan sehingga belalang tempur pun tak bisa melewatinya. Terpaksa
kami titipkan di rumah warga dan membayarnya untuk parkir. Banyak juga pendaki
yang menitipkan belalang tempur di rumah warga tersebut. Basecamp masih jauh,
kami pun harus mendaki untuk menggapainya. Melewati lahan sayur milik warga
kemudian desa terakhir sebelum gerbang pendakian. Di desa terakhir inilah
basecamp Gunung Merbabu berada, tetapi kami langsung terabas saja tidak
melakukan perizinan untuk pendakian. Yeah inilah pertama kali aku menjadi
pendaki gelap *jangan ditiru ya :p. Sebelum sampai desa terakhir ini kami sudah
mengisi air sejerigen 5 liter penuh dari bak penampungan air warga. Perlu
diketahui bahwa pendakian Gunung Merbabu via Selo ini tidak ditemukan sumber
air, maka dari itu harus berbekal air yang banyak dari bawah.
Jam 12.30 siang kami mulai
mendaki dari gerbang pendakian, seperti biasa kami melakukan registrasi wajib
kepada Tuhan agar diberikan keselamatan dalam pendakian. Masuk gerbang terdapat
dua cabang jalur, ke kanan menuju bumi perkemahan sedangkan lurus menuju puncak
*saat itu kami sempat salah jalur hehe. Setelah ambil jalur yang benar, kami
dikagetkan oleh segerombolan monkey yang mencari makan. Beruntung tidak terjadi
konflik berdarah antara ras manusia dengan monkey tersebut. Monkey disini masih
takut terhadap ras manusia. Beda jauh dari monkey yang berada di tempat wisata Grojokan
Sewu Tawangmangu dan Uluwatu Bali yang suka usil mengganggu ras manusia. Yeah
terkadang perbedaan ras selalu memicu konflik berkepanjangan dan mengakibatkan
trauma kepedihan, barangkali :p. Perjalanan cukup membosankan di tengah hutan
pinus karena jalurnya masih landai-landai saja berupa tanah liat dan gembur
namun licin jika alas sepatu/sendal tumpul. Sampai di post 1 kami istirahat
cukup lama. Aku merasa letih sekali, entah mengapa? Mungkin karena aku baru
sembuh dari flu. Mungkin aku tak mempersiapkan fisikku seperti jogging sebelum
hari pendakian. Mungkin karena matahari terasa di atas ubun kepala sehingga
mudah dehidrasi. Mungkin aku belum terbiasa melakukan pendakian diurnal,
biasanya aku nocturnal. Yeah itulah kemungkinan-kemungkinan yang tak dapat
dihindari.
Perjalanan dilanjutkan kembali
hingga tak terasa sudah melewati post 2 yang hutannya tak lebat lagi hingga
sampai di post 3 yang terdapat batu di tengah sabana yang indah. Yeah Gunung
Merbabu itu terkenal memiliki padang sabana yang indah mirip bukit teletubies.
Bunga edelweiss yang baru mekar pun selalu memanjakan mataku. Keindahan ini
hanya kutemukan di atas ketinggian dan selalu kurindukan. Terbesit keinginan
untuk memetiknya namun prinsip sebagai pecinta alam harus selalu dipegang teguh
dalam hati. Yeah yaitu “Dilarang mengambil apapun kecuali gambar, Dilarang
membunuh apapun kecuali waktu, Dilarang meninggalkan apapun kecuali jejak”. Mirisnya
saat ini banyak yang mengaku pecinta alam tetapi banyak juga yang merusak alam.
Seperti melakukan vandalisme di batu ataupun pohon, buang sampah sembarangan,
menebang pohon, dan yang paling ngetrend saat ini adalah memetik bunga
edelweiss. Yeah bunga edelweiss memang memiliki mitos yang menyesatkan, konyol
dan menyusahkan, menurutku. Buat apa orang-orang berbondong-bondong
capek-capekan mendaki gunung hanya untuk memetik edelweiss kemudian
memberikannya pada kekasih? Agar cintanya abadi? Hanya orang-orang bodoh bin
tolol yang melakukan itu. Sudah merusak alam, ditambah lagi tersesatkan oleh
mitos. Bukankah cinta abadi itu hanya milik Allah dan Rasull-Nya? Mungkin juga
milik Ibu dan Ayah pada anaknya. Jika cinta abadi pada kekasih pun, mestinya
harus seperti Romeo dan Juliet. Jika kekasihmu mati, maka kamu harus mati juga,
apa kamu mau seperti itu? Aku berani bertaruh pasti 99,99999% tak ada yang mau
melakukan seperti itu, meskipun Ibumu pada Ayahmu ataupun sebaliknya sekalipun.
Yeah terserahlah, mereka kan punya hak untuk mencintai alam atau merusak alam.
Jika mereka merusak alam, biarlah karma yang membalasnya. Hukum karma alam
masih berlaku, camkan itu!
Matahari sangat menyengat tak terasa
rimbanya. membuatku seperti manusia super saiya. Otakku pun seperti opor ayam
yang mendidih. Yeah cairan dalam tubuhku langsung menguap tak berbekas. Kini kabut
tebal menutupi bukit-bukit teletubies dan padang edelweiss membentuk siluet
yang keren. Kami yang istirahat di post 3 karena merasa capek seperti mendapat
tenaga baru untuk berlari-lari di bukit yang tak terlalu tinggi. Aku sangat
menikmatinya. Yeah inilah yang dinamakan negeri kalang kabut bagiku. Hawa
dingin mulai terasa, aku sangat bersemangat daripada saat terpapar matahari
sebelumnya. “Ini baru namanya gunung, hahaha”, kataku pada Mul. Post
selanjutnya adalah sabana 1. Kami harus mendaki bukit yang sangat terjal. Jalur
berupa tanah gembur dan licin cukup menyulitkan langkah. Kami harus bertumpu
pada pohon-pohon sekitar jalur dan harus hati-hati jika tak ingin menjadi
sebuah dindong yang jatuh tepat di zona jackpot berhadiah. Kaki ku saat itu
mengalami keram, beruntung terdapat lahan yang cukup lapang dan datar akhirnya
kami beristirahat disini. Perut sudah berbisik metal keroncong. Alat masak
buru-buru dikeluarkan dari dalam bagasi berjalan. Waktunya masak dengan menu
tempe goreng hehehe. Tak butuh lama kami memasak hingga akhirnya matang. Nasi
yang sudah dikemas sedemikian rupa kini sudah bercampur dengan tempe hasil
masakan chef juna :p. Makan sambil menikmati view Gunung Merapi yang gagah
disisi selatan sungguh memiliki nilai-nilai yang terwakili oleh angka. Dalam
mimpi kami, besok akan kami gagahi si Gunung Merapi yang gagah itu :p. Cacing
perut kini sudah tak lagi berpogo-pogo dan slamming ria, hening seketika. Kabut
asap rokok menyebul dari dalam kerongkongan yang serak gatal sehabis bernyanyi
ala screamer. Tak ingin terlewatkan waktu sunset merbabu, kami lanjutkan lagi
perjalanan ke post sabana 1 yang ternyata hanya beberapa langkah saja dari lahan
istirahat kami. Banyak juga yang mendirikan tenda di sabana 1 ini karena
berlindungi di sekitar pohon edelweiss setinggi 2 meter.
Untuk mencapai post sabana 2,
kami harus melewati padang sabana kemudian mendaki bukit yang kondisinya hampir
sama dengan menuju post sabana 1 tadi. Langit mulai menjingga pertanda senja
akan berganti malam. Hamparan sabana yang hijau berubah menjadi biru-tua.
Akhirnya kami sampai di post sabana 2, ku sembunyikan jerigen 5 literku di
dalam semak-semak. Sebentar lagi sampai di puncak Gunung Merbabu namun sepertinya
kami bakalan sampai di puncak saat gelap hahaha. Headlamp sudah dinyalakan
untuk menerangi jalur menuju puncak yang terjal. Kami terlalu ambil jalur ke
kanan sehingga menemukan batu seperti di Puncak Kentengsongo *aku lupa nama
batunya. Cukup menyulitkan memang karena terjal dan berdebu, akhirnya kami
melipir ke kiri atau ke jalur yang lebih mudah. Terus melangkah akhirnya sampai
di Puncak Triangalasi. Dan benar saja kami sampai di puncak saat gelap gulita,
saat itu sekitar pukul 18.15. Di puncak ini ada yang mendirikan rumah koengnya.
Wah sangat berani pikirku, jika tiba-tiba diterjang angin badai kemungkinan
bakalan terbang entah kemana karena tak ada penghalangnya. Aku dan Mul
mengabadikan momen gelap di Puncak Triangulangi dengan bantuan cahaya senter
dan headlamp. Hehehe. Sangat konyol bukan? Disisi lain orang mengabadikan momen
di puncak saat terang hari yang pastinya memiliki view sangat bagus. Sedangkan
kami hanya meraih kegelapan dan yang dapat kami dilihat adalah siluet hitam
dari Gunung Merapi di selatan, siluet hitam dari Gunung Ungaran di utara,
kilatan badai Gunung Sumbing di barat, dan hamparan jaring-jaring laba-laba
listrik yang menyelimuti kota membentuk titik-titik cahaya saat itu. Dari
Puncak Triangulasi kurang afdol rasanya jika tidak melipir ke Puncak
Kentengsongo yang hanya berjarak 5 menit saja. Di Puncak Kentengsongo ini ada
beberapa batu berlubang yang mungkin tidak pernah sikat batu :p. Entahlah apa
fungsi dari batu itu, sepertinya hanya untuk pemujaan bagi penganut tertentu :/
. Rupanya tak hanya kami berdua yang
berada di Kentengsongo ini. Ada sayup-sayup tawa seseorang dibarengi oleh nyala
api. Kami selidiki sumber suara itu. Setelah dihampiri ternyata ada beberapa
pendaki yang membuat api unggun di depan rumah keongnya. Kami bergabung dengan
pendaki itu agar dapat menikmati hangatnya api unggun. Peralatan masak
dikeluarkan, kami akan mengisi acara lagi. Menu malam ini adalah mie rebus
berbaur dengan hangatnya kopi hitam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar