Nyumbing ke SUMBING #2
Kamis 26 Juni 2014, Pukul 16.45 harapan
itu muncul juga. Langit masih kelabu namun sinar matahari masih bisa menembusnya.
Aku, Gita dan Teman dari Temanggung melanjutkan pengembaraan menuju puncak.
Jalur sangat terjal berupa batu cadas dan batu lepas menjadi lebih licin karena
sehabis hujan. Kami tiba di Tanah Putih. Dimana sebagian tanahnya berwarna
putih karena endapan kapur. Disini aku galau. Apakah akan melanjutkan jalan
sampai puncak atau balik kanan turun ke rumah keong kami? Pertanda alam
membisikkanku untuk turun karena akan ada badai yang lebih hebat dari
sebelumnya. Kulihat awan hitam diatas langit bergerak mengikuti angin yang
berlawanan arah. Awan itu saling bertubrukkan seperti cabe yang diulek menjadi
sambal. Tidak ada angin daratan berhembus. Hanya menyisakan hawa sumuk yang
terasa amat sangat menguap karena hujan yang ditahan oleh dewa langit. Kulihat
Gita yang sangat kepayahan untuk berjalan seperti orang menderita anemia.
Lemah, letih, lesu, lelah dan lunglai. Kutawarkan saja untuk turun dan Gita
mengiyakannya. Dua dari anak Temanggung itu mengikuti kami turun sedangkan yang
lainnya bersikukuh ingin mencapai Puncak Sumbing. Yeah gerombolanTemanggung itu
memang masih anak tanggung alias remaja. Mereka sangat berambisi untuk menahlukkan
Gunung Sumbing ini.
Di Tanah Putih inilah merupakan
titik tertinggiku saat mendaki Gunung Sumbing saat bersama Gita. Bukan sebuah
ketinggian yang diukur oleh satuan kuantitas seperti mdpl. Melainkan ketinggian
yang hanya dapat diukur oleh kualitas bagi orang-orang terpilih untuk
memahaminya. Yeah disinilah aku mampu berinteraksi dengan bisikkan alam melalui
pertandanya. Aku mengerti bahwa alam itu dapat benar-benar ganas atau menjadi
sahabat. Kamu bisa menjadi sahabat alam jika mengetahui pertandanya. Tidak ada
yang benar-benar mampu menahlukkan alam. Seperti apa yang kukatakan pada Gita yang
kuantitas tenaganya hilang menguapkan banyak kalori saat itu. Tidak usah
memaksakan diri. Jika ingin menggapai puncak, coba lain waktu. Toh Gunung
Dikejar Tak Akan Lari. Dan benar saja, alam kini menunjukkan kuasanya. Saat
kami turun dari Tanah Putih, petir sudah menyambar disana sini. Hujan mulai
rintik. Angin berhembus dengan kuat. Langit menjadi sangat gelap. Sebentar lagi
sudah waktu maghrib. Suasana sangat mencekam. Kami harus bergegas setidaknya
sampai di Goa bawah Watu Kotak untuk berteduh dan berlindung dari sambaran
petir.
Aku, Gita dan dua teman dari
Temanggung sampai di Goa pada waktu maghrib. Hujan sangat lebat disertai angin
yang sangat kencang. Petir masih menyambar disana sini bahkan intensitasnya
hanya sepersekian detik saja. Terbayang beberapa anak tanggung tadi masih nekat
ke puncak. Kata salah 1 teman dari temanggung, mereka hanya berbekal ponco yang
dipakai masing-masing dan hanya membawa 2 headlamp untuk penerangan mereka. Aku
yakin mereka tak akan sampai puncak. Jikapun sampai, apa yang bisa mereka lihat
jikapun mereka menikmati prosesnya? Apa mereka mau cari mati diatas
kesombongannya sendiri? Semoga mereka baik-baik saja, pikirku. Yeah Gunung
Sumbing ataupun kembarannya yaitu Gunung Sindoro terkenal dengan badai
petirnya. Sambaran petir sering menewaskan beberapa pendaki di gunung tersebut
karena lalai mematikan alat kominukasinya, barangkali. Kini aku mengalami
kejadian badai petir di Gunung Sumbing. Suara petirnya yang balapan memekakkan
gendang telinga. Cahaya kilatnya yang berlomba-lomba membunuh kegelapan. Tak
ada yang benar-benar dapat mengalahkan kegelapan malam kecuali terbitnya
matahari pagi saat itu.
Belum ada tanda badai akan
berakhir, bahkan kini lebih ekstrim. Disertai angin kencang yang membuat
tubuhku menggigil. Aku membuatkan kopi susu untuk menghangatkan tubuhku, Gita,
dan 2 Teman baruku itu. 2 teman baruku itu sangat khawatir pada teman-temannya
yang lain. Lama kami menunggu mereka. Kami harus siap jika terjadi sesuatu yang
tidak diinginkan. Akhirnya mereka sudah sampai di Watu Kotak. Cukup mengagetkan
memang. Karena tak terdengar suara langkah kaki meskipun mereka banyak. Kulihat
mereka kuyup menggigil kedinginan. Mereka bersungut karena tidak berhasil mencapai
puncak. Yeah benar dugaanku. Kopiku sudah habis untuk dipersembahkan pada
mereka. Apa daya kami hanya mampu membakar sampah untuk menghangatkan tubuh. Hujan
sempat sesekali reda tetapi petir masih sering bersahut-sahutan. Kami tak
berani untuk keluar dari goa. Kami harus memastikan kondisi aman untuk kembali
ke rumah keong di bawah. Sampah yang dibakar sudah habis tak tersisa. Kami merasakan
dingin yang menyengat tulang. Kami semua merapatkan badan agar tak kehilangan
suhu tubuh. Saat hujan badai disertai petir seperti ini sangat beresiko
terserang hipotermia. Dengan komat-kamit aku berdo’a agar badai berhenti
sepenuhnya karena kami semua sudah tak tahan dengan terpapar kondisi cuaca yang
buruk dari tadi siang. Alhamdulillah do’a ku terkabul. Langit tiba-tiba begitu
cerah tapi masih merintikkan gerimis kecil. Badai sudah berlalu. Hamparan titik-titik
cahaya lampu kota sudah terlihat.
Sekitar pukul 22.30 malam, Aku dan
Gita bergegas turun lebih dahulu menuju rumah keong. Teman dari Temanggung
menyusul kami di belakang. Cahaya headlamp kami mulai redup karena kacanya
mengembun. Kami turun perlahan karena jalur turun begitu terjal dan sangat
licin sehabis hujan. Kami harus detail menemukan lokasi rumah keong kami. Begitu
gelap karena cahaya tak menerangi jalan kami. Aku sempat terkecoh dimana lokasi
rumah keong kami berada. Pada akhirnya dengan mata nocturnalku berhasil
menemukan lokasinya. Sampai di rumah keong, kami langsung memasak ala kadarnya
kemudian makan dan tidur. Tak dipungkiri kami sangat lelah dari dingin yang menyiksa.
Kami berencana besok pagi akan pulang kembali ke basecamp. Kami tidak mencoba
menggapai puncak besok hari karena persediaan logistik sudah mulai habis. Suatu
saat aku akan kembali lagi ke Gunung Sumbing nan cadas ini dan mencoba
menggapai puncaknya. Itulah janjiku pada Gunung Sumbing saat itu.
Jumat 27 Juni 2014. Waktu subuh
aku sudah terbangun dari mimpi. Ku tengok keluar rumah keong. Yeah cuaca pagi
ini begitu cerah. Langit pagi itu unyu sekali karena berwarna pink. Kubangun
Gita agar tidak melewatkan momen keunyuan langit pink sehabis badai semalam. Sunrise
mulai muncul namun kami tak dapat melihatnya karena terhalang sebagian tebing
di depan. Di sebelah utara Gunung Sindoro terlihat seperti tumpeng raksasa
berpewarna hijau di dasarnya dan pink di pucuknya. Setelah puas menikmati view yang
sangat menarik pagi ini, kami membongkar rumah keong dan mempacking semua
peralatan. Kami turun gunung secara perlahan. Melewati jalur yang telah kami
daki sebelumnya. Sampai turunan di bawah post 3, Gita sempat jatuh dan
menggelundung seperti rolling down. Kubangunkan dia dan sepertinya tidak
mengalami cedera. Hanya baju dan celananya saja yang cedera. Yeah kotor sekali.
Syukurlah karena aku tak harus membopongnya turun ke bawah. Dia terlihat lemas
sekali karena kurang makan hahaha. Baiklah aku berjanji akan memasak ala
kadarnya jika sampai post 2 nanti. Kutepati janjiku saat sampai di post 2. Setelah
kenyang kami lanjut turun gunung. Jalurnya begitu licin sehingga beberapa kali kami
kepleset. Syukurlah cobaan ini sudah berakhir di post 1. Di post 1 ini kami
istirahat cukup lama. Kulihat ada petani yang sedang berladang di lahan
tembakaunya. Kupanggil saja petani itu supaya dapat mengantarkan Gita sampai
basecamp dengan motor. Yeah gita mengojek sampai basecamp karena aku yakin dia
pasti pingsan jikalau jalan kaki dari post 1 ke basecamp. Kondisinya sudah
pucat dan kelakuannya seperti orang anemia akut. Aku berjalan seorang diri. Menahan
cobaan pada dengkulku di jalur menurun terjal berupa makadam sampai batas lahan
tembakau dengan desa. Sampai di desa, aku langsung mencari warung untuk membeli
rokok. Rokok sudah disebul, membangkitkan tenaga nost-ku yang hilang. Aku
melanjutkan jalan ke basecamp lagi.
Aku sampai di basecamp pukul
11.00 siang. Aku disambut Gita yang rupanya sudah bertele-tele ria. Aku istirahat
sebentar sambil mimik susu. Rupanya ada 2 kakak tingkat kuliahku yang baru saja
turun sampai di basecamp. Kusapa mereka. Kami mengobrolkan kenapa kita tidak
ketemu saat diatas. Cukup aneh juga hahaha. Waktu sudah hampir Sholat Jum’at,
aku bergegas mandi untuk menghilangkan segala najis. Akhirnya bisa mandi juga
setelah 2 hari 2 malam tidak mandi karena berada di atas gunung. Segar rasanya
sehabis mandi. Kulitku sudah bersih dan wangi. Jauh dari kata dekil dan bau. Beda
sekali dengan Gita yang belum mandi. Hi cewek kok jorok :/. Kulitku lucu sekali
karena lembut seperti bayi hahaha kocak dah. Yeah karena aku lupa tidak membawa
peralatan mandi, aku minjam saja sabunnya cewek. Dia temannya kakak tingkatku. Menurutku
dia juga manis wajahnya :*. Ia memakai flannel yang selera fashionnya juga sama
denganku. Menurutku cewek yang suka mendaki gunung dan memakai flannel itu
keren. Ditambah kulit yang coklat tapi tak terlalu gosong terbakar matahari
terlihat seksi dan manis. Dia telah memenuhi segala aspek itu. Yeah sudahlah
aku tak mau memikirkan lebih jauh lagi :p. Kuganti pakaian kotorku dengan
pakaian bersih. Setelahnya aku menuju Masjid untuk menunaikan Sholat Jum’at.
Usai Sholat Jum’at aku tersadar
jika ban motorku yang belakang bocor. Wah gawat juga saat kondisi uang sudah
tipis seperti ini. Ditambah rumah keong yang kami sewa sudah lewat 1 hari dan mesti
bayar untuk 2 hari. Aku dan Gita pamit pulang pada kakak tingkatku, beberapa
pendaki lain dan penjaga basecamp. Kami terpaksa menuntun motorku sampai tambal
ban yang berada di Pasar Kledung. Cukup jauh memang tapi apa boleh buat. Kami sampai
di tambal ban. Setelah ban dicek, ternyata aku harus mengganti ban dalam dengan
yang baru. Tak ada harta lagi tersisa terpaksa aku beli ban dalam second yang
harganya lebih sinting gila miring. Ban sudah diganti, aku kembali menuju
basecamp karena helm kami ketinggalan hahaha. Kuambil helm kemudian menjemput Gita
di tambal ban. Kami pulang menuju peradaban masing-masing. Gita kuantar sampai
Secang Magelang dan kucarikan bus menuju Jogja. Sedangkan Aku ke Semarang. Aku mengembalikan
rumah keong sewaan terlebih dulu sebelum pulang ke kostku. Yeah. Alhamdulillah
telah diberikan keselamatan saat mendaki Gunung Sumbing nan cadas bersama
wanita nekat.
Salam Jun_krikers
Beberapa picture perjalanan:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar