Masker dan
kereta
Minggu 9 Maret 2014. Aku bangun
kesiangan. Kalut sekali perasaanku saat itu. Pasti bakalan ketinggalan kereta
hahaha. Segera aku mandi. Lalu membereskan barang bawaanku. Aku pamit pulang
pada ibu Kost dan tetangga Kostku. Pikiranku kacau. Langkahku cepat menyusri
gang sempit menuju jalan raya. Ku stop metromini ke blok M. Sepanjang
perjalanan macet parah. Ya inilah dampak Car free day (CFD) di jalan-jalan
protocol Jakarta sehingga banyak kendaraan yang cari jalan alternatife atau tikus.
Kurang 2 jam lagi keretaku berangkat. Sedangkan dari dari Blok M ke Stasiun
Pasar Senen sangat jauh jaraknya. Ingin naik Busway pasti telat karena macet
dampak dari CFD. Ba bi bu. Tanpa pikir panjang, aku akan naik ojek saja ke
Pasar Senen setelah ku sampai terminal blok M, meskipun biaya lebih mahal.
Sampai blok M, ku todong si tukang ojek pake bahasa jawa sambil misuh-misuh. Ya
aku misuh-misuh karena terlalu mahal tarifnya. “Bajingan kowe pak! Mosok 70rb?
30rb ya pak? Ayo pak! Selak ketinggalan sepur!”, hardik ku. “Oh nggeh mas”,
kata si tukang ojek. Ternyata dia orang jawa juga hahaha. Sepanjang perjalanan
aku ngobrol-ngobrol sama tukang ojek itu, dan pastinya pake bahasa jawa. Tapi
aku merasa hanya diputar-putar saja karena lama sekali. Alasannya sih macet.
Entahlah. Jancuk, batinku. Ya tapi mau bagaimana lagi, transportasi yang cepat bisa
gas pol rem oblongan, lincah menghindari lubang jalanan, nyelip diatara 2
mobil, berani nerobos lampu merah tanpa jejak, tombol klakson sebagai sihir
kendaraan lain minggir, cuma ojeklah yang bisa disaat sikon terjepit seperti
itu :D. Akhirnya sampai juga di Stasiun Pasar Senen tepat 30 menit sebelum
keretaku berangkat. “matur suwun ya pak?” kataku sambil memberi upahnya 30rb.
Tapi dengan muka melas kucing dia minta tambahan 10rb lagi. Aku pun iba, ku
beri dia tips 10rb lagi. Aku langsung ke loket untuk menurkarkan tiketku. Tiket
sudah di tangan, aku buru-buru masuk peron. mencocokan tiket dan KTP ku di
petugas. Lalu duduk di peron smoking area. Ku bakar rokokku karena perasaan
lega setelah perasaan kalut itu hilang sambil menunggu Kereta Senja Bengawan
menuju Solo datang. Sungguh segala sesuatu yang mendadak itu memicu adrenaline
dan saat kita berhasil melewatinya disitulah kepuasan tercipta.
Rasa kalut tidak hanya sampai
disitu saja. Ada rasa kalut yang lain. Aku belum makan. Aku tidak sempat beli
makan dan cemilan di luar. Keluar lagi pun tidak mungkin karena kereta
sepertinya hampir tiba. Soundsistem Stasiun sudah memangil-manggil penumpang
kereta Senja Bengawan. Dan perlu di ketahui, sekarang semua kereta ekonomi
sudah ber-AC, tidak ada lagi tiket tanpa tempat duduk, tidak ada lagi pedagang
asongan, pengamen, dan pengemis hilir-mudik di dalam kereta. Semuanya sudah
sangat teratur, nyaman buat orang yang sudah prepare dan sangat menyusahkan
buat aku yang semerawut. Hanya tinggal 3 batang rokok dan air ½ botol aqua
besar untuk bertahan hidup di kereta dari jam 1 siang sampai jam 11 malam
sampai Solo. Oh shit men! #Akukudukuat #Akurapopo #Akubakoh.
Kereta tiba, Aku bersaing dengan
penumpang lain untuk bisa masuk dalam gerbong kemudian mencari posisi tempat
dudukku. Kucocokkan dengan tiket di genggaman tanganku. Ku dapati tempat
dudukku. Ternyata aku bersebelahan dengan wanita bermasker. Mungkin itu masker
untuk menutupi mulut yang sumbing, hidung yang bernanah, gigi yang tonggos,
pipi yang bolong. Seperti apa yang aku sebutkan di segmen sebelumnya hahaha.
Tapi kulihat wanita itu, kulitnya putih, rambutnya panjang berponi, mungkin dia
cantik dan aku seumuran dengannya. Aku permisi duduk disebelahnya sambil
menujukkan tiketku bahwa aku berhak atas tempat duduk di sampingnya. Dia
mengangguk dan kembali menatap ke luar jendela kereta seolah tak peduli
denganku. Di bangku yang berhadapan, ada bangku kosong dan sebelahnya kakek-kakek.
Kini kereta sudah bergeliat maju diatas lapisan baja yang panjang dan selalu
sejajar. Ya semoga saja aku punya cerita cinta seperti rel kereta api. Dia
panjang dan selalu sejajar dan akan mentok di sebuah tujuan akhir yaitu
pernikahan lalu kematian lalu surga. Amin. Aku duduk dan hanya main HP sambil
mengabari orang-orang rumah maupun orang tersayang kalo aku sudah OTW di
kereta. Wanita sebelahku cuek, aku pun lebih cuek. Lapar dan haus melanda ku.
Dia makan roti tapi masih melihat ke luar jendela seperti sebelumnya. Melihat
itu aku semakin klasik keroncongnya. Aku pun mencoba tidur saja sambil jaga
image ku.
Di Stasiun Jatinegara kereta
berhenti untuk menaikkan penumpang. Mas-Mas aneh dengan gaya bicara ngapak baru
saja naik di Stasiun itu, berada 1 gerbong denganku dan duduk dihadapanku. Dia
menggerutu dia gaya bicaranya yang khas. Dia menggerutu karena ketinggalan
kereta ini dari Stasiun Tanjung Priok mengejar dengan membabi buta sampai
Stasiun Jatinegara pake ojek. Plok plok plok plok. Luar biasa perjuanganmu mas
:D . Kereta maju lagi. Aku coba tidur lagi tapi cuma bisa merem melek. Tidur
ayam. Mas-mas itu membuka pembicaraan. Seperti biasalah basa-basi seperti turun
dimana, di Jakarta kerja apa, tinggal dimana, dll. Akhirnya kita bertiga
ngobrol-ngobrol sedangkan si kakek tertidur pulas. Wanita bermasker itu membuka
maskernya. Dan ternyata? Seperti yang sudah kuduga. Wanita itu memakai masker
untuk menutupi gigi tonggos kelincinya hahahaha. Kali ini praduga tak
bersalahku benar :p. Tapi dari wajahnya yang bulat, rambut panjang berponi,
pipi agak tembem, kulit putihnya, andeng-andeng di dagu membuatnya seperti
kelinci yang manis. Mas ngapak kira, aku dan wanita itu saling kenal dan bahkan
dekat. Aku pun hanya tertawa dan bilang kalo kita kebetulan aja duduk disitu.
Tapi dalam kamusku otakku, tak ada yang namanya kebetulan, yang ada hanya
probabilitas kebolehjadian meskipun 0,0000001% :p. Jika aku jelaskan seperti
itu mungkin bahasanya akan terlalu rumit dan butuh diterjemahkan differensial
nya 2 kali :p. Setelah garing kemudian mereka tertidur. Aku masih melek.
Dari informasi yang kudapat mas
ngapak itu turun di Stasiun Kroya, sedangkan aku, wanita itu, dan kakek itu
turun di pemberhentian terakhir yaitu Stasiun Purwosari Solo. Waktu sudah ashar
dan perutku semakin metal keroncongnya. Barangkali terdengar sampai gendang
pendengaran penduduk sebelah. Mulai lapar mulai lapar mulai lapar. Petugas
loper makanan kereta melangkahi kaki ku yang melintang di karpet merah. Ku
putuskan saja untuk memesan makanan. Ada nasi goreng, nasi soto, nasi rames,
dan nasi rawon. Aku pesan nasi rawon.
Yeah memang makanan resmi di kereta lebih mahal daripada pedagang asongan
biasanya. Aku terpaksa membelinya karena tak kuat menahan lapar dan tidak
mungkin ada asongan lewat. Kutunggu kau kutunggu kau nasi rawon. Lama sekali.
Lalu makanan yang ku pesan itu datang, kusantap lah dia dengan beringas seperti
buaya kelaparan. Nasi rawon habis ku makan, tapi aku kurang kenyang. Ku ganjal
dengan minum air putih. Kini problematika kalutisme ku datang lagi. Bentuk rasa
kalut itu adalah mulut yang gatal, kecut, kepala pusing jikalau sehabis makan
tidak merokok. Sepele memang. Tapi jikalau kamu adalah perokok berat pasti tau
dah rasanya seperti apa :D. Rokokku tinggal 3 batang djarum super, cukuplah
buatku sampai Solo. Sebentar lagi sampai di Stasiun Cirebon prujakan dan kereta
sepertinya akan berhenti. Dugaanku 100% benar, kereta berhenti cukup lama. Mas
ngapak dan wanita itu terbangun dari mimpinya. Mas ngapak berkomentar pada
penumpang kereta yang keluar mencari angin segar untuk merokok. Dengan gaya
bicara khasnya, intinya gini, perokok itu orang kaya semua, masak duit pada
dibakar, mending duitnya ditabung kek, liat aja mereka pada buta huruf gabisa
baca peringatan, entar sakit dia juga yang repot, sambil terkekeh dia ketawa.
Aku hanya tersenyum manis. Ingin ku komentari perkataannya yang lebih sakit
daripada dia. Seperti ini pasal sakit bahkan bisa membunuhnya langsung di
TKP,“Berarti kalau perokok itu kaya, maka bukan perokok miskin dong, :p “.
Gelut-gelut kowe karo aku :D. Tapi aku buru-buru ingin merokok keluar sebelum
kereta jalan lagi. Aku keluar gerbong kereta, bakar rokokku, rasa kalutku
hilang.
Kereta akan berjalan. Rokokku
sudah terbuang dalam hisapan terakhir. Aku masuk ke gerbong kereta. Tak berapa
lama kereta keluar Stasiun Prujakan hujan batu terjadi. Entah itu orang iseng?
maksudnya apa? Motivasinya apa? Kok kereta berjalan ditimpuki batu. Gerbong
paling belakang adalah sasaran yang empuk. Banyak kaca retak. Bahkan pecah. Batu
besar masuk dalam kereta tanpa diundang kemudian nyasar kena kepala penumpang
sehingga mancur darah merah pejuangnya. Tak lama kemudian petugas kereta
menyambutnya dengan perban. Ah sudahlah. Aku sudah duduk di posisi wenak. Lalu
tidur cukup lama. Di Stasiun Purwokerto aku terbangun karena kereta berhenti.
Banyak perokok yang ke luar kereta, ada yang turun karena sudah sampai tujuan
dan ada yang naik menuju kota berikutnya. Aku turun dari kereta. Aku berlari
menuju toko di Stasiun untuk beli roti, aqua dan rokok. Ku suruh pelayan toko
itu cepat melayaniku. Setelah terbeli aku berlari menuju kereta yang sudah
merayap pelan. Hap. Aku berhasil masuk. Aku duduk dalam posisi wenak lagi. Kini
aku ngobrol lagi sama mas ngapak dan wanita itu. Mas ngapak kerja buruh di
tanjung priok. Wanita itu sudah berhenti masa kerja di sebuah bank di Jakarta
kemudian katanya mau pindah kerja di Jogja. Ternyata dia lebih tua dariku. Dia
dulu kuliah di UNS angkatan 2008, katanya. Aku sendiri masih kuliah di Undip
angkatan 2011, habis magang di Jakarta. Kereta berhenti di Stasiun Kroya, mas
ngapak pamit turun. Sedangkan aku turun cari udara segar lagi. Dari
purwokerto-lempuyangan, sepertinya kereta berhenti di setiap stasiun karena
banyak yang turun, sehingga banyak kursi kosong. Kumanfaatkan tidur terlentang
dan rasanya I Feel Free :D. Tak terasa sampai di Stasiun Purwosari Solo jam 11
malam. Sesuai jadwal yang molor 30 menit. Barang-barang siap ku bawa turun.
Wanita dan kakek itu beranjak turun dari gerbong kereta. Aku tak berkenalan
dengan wanita itu dan tak dapat nomor HP/pin BBM nya. Mungkin kalau bukan
diriku pasti sudah dapat nama, nomor HP dan pin BBMnya hahaha. Dalam pikirku,
dia cuma objek sebuah tulisanku dan ku
buat tulisan yang terkesan misterius saja, sama seperti dibalik masker, jika
tidak dibuka maka akan timbul kemisteriusan itu dan kamu hanya bisa melakukan
praduga tak bersalah dibalik probabilitas kebolehjadian meskipun cuma
0,0000001%.
Keluar Stasiun Purwosari, aku
jalan kaki menuju perempatan lampu merah Manahan. Menunggu Bus Sumber Selamat
favorite ku untuk pulang ke Sragen. Aku sampai rumah jam 2 malam setelah
Bapakku menjemputku di pertigaan lampu merah Gambiran. Tidur di rumah sebentar.
Setelah subuh aku berangkat ke Semarang. Kuliah lagi seperti biasanya. Dengan
semangat baru karena selama perjalananku ke Jakarta tidak sia-sia. Aku dapat
pengalaman yang berharga dan hal-hal yang menyenangkan.
Salam jun_krikers :D
Tidak ada komentar:
Posting Komentar