Rabu, 01 Oktober 2014

MASKER DAN KERETA

Masker dan kereta

 

Minggu 9 Maret 2014. Aku bangun kesiangan. Kalut sekali perasaanku saat itu. Pasti bakalan ketinggalan kereta hahaha. Segera aku mandi. Lalu membereskan barang bawaanku. Aku pamit pulang pada ibu Kost dan tetangga Kostku. Pikiranku kacau. Langkahku cepat menyusri gang sempit menuju jalan raya. Ku stop metromini ke blok M. Sepanjang perjalanan macet parah. Ya inilah dampak Car free day (CFD) di jalan-jalan protocol Jakarta sehingga banyak kendaraan yang cari jalan alternatife atau tikus. Kurang 2 jam lagi keretaku berangkat. Sedangkan dari dari Blok M ke Stasiun Pasar Senen sangat jauh jaraknya. Ingin naik Busway pasti telat karena macet dampak dari CFD. Ba bi bu. Tanpa pikir panjang, aku akan naik ojek saja ke Pasar Senen setelah ku sampai terminal blok M, meskipun biaya lebih mahal. Sampai blok M, ku todong si tukang ojek pake bahasa jawa sambil misuh-misuh. Ya aku misuh-misuh karena terlalu mahal tarifnya. “Bajingan kowe pak! Mosok 70rb? 30rb ya pak? Ayo pak! Selak ketinggalan sepur!”, hardik ku. “Oh nggeh mas”, kata si tukang ojek. Ternyata dia orang jawa juga hahaha. Sepanjang perjalanan aku ngobrol-ngobrol sama tukang ojek itu, dan pastinya pake bahasa jawa. Tapi aku merasa hanya diputar-putar saja karena lama sekali. Alasannya sih macet. Entahlah. Jancuk, batinku. Ya tapi mau bagaimana lagi, transportasi yang cepat bisa gas pol rem oblongan, lincah menghindari lubang jalanan, nyelip diatara 2 mobil, berani nerobos lampu merah tanpa jejak, tombol klakson sebagai sihir kendaraan lain minggir, cuma ojeklah yang bisa disaat sikon terjepit seperti itu :D. Akhirnya sampai juga di Stasiun Pasar Senen tepat 30 menit sebelum keretaku berangkat. “matur suwun ya pak?” kataku sambil memberi upahnya 30rb. Tapi dengan muka melas kucing dia minta tambahan 10rb lagi. Aku pun iba, ku beri dia tips 10rb lagi. Aku langsung ke loket untuk menurkarkan tiketku. Tiket sudah di tangan, aku buru-buru masuk peron. mencocokan tiket dan KTP ku di petugas. Lalu duduk di peron smoking area. Ku bakar rokokku karena perasaan lega setelah perasaan kalut itu hilang sambil menunggu Kereta Senja Bengawan menuju Solo datang. Sungguh segala sesuatu yang mendadak itu memicu adrenaline dan saat kita berhasil melewatinya disitulah kepuasan tercipta.
Rasa kalut tidak hanya sampai disitu saja. Ada rasa kalut yang lain. Aku belum makan. Aku tidak sempat beli makan dan cemilan di luar. Keluar lagi pun tidak mungkin karena kereta sepertinya hampir tiba. Soundsistem Stasiun sudah memangil-manggil penumpang kereta Senja Bengawan. Dan perlu di ketahui, sekarang semua kereta ekonomi sudah ber-AC, tidak ada lagi tiket tanpa tempat duduk, tidak ada lagi pedagang asongan, pengamen, dan pengemis hilir-mudik di dalam kereta. Semuanya sudah sangat teratur, nyaman buat orang yang sudah prepare dan sangat menyusahkan buat aku yang semerawut. Hanya tinggal 3 batang rokok dan air ½ botol aqua besar untuk bertahan hidup di kereta dari jam 1 siang sampai jam 11 malam sampai Solo. Oh shit men! #Akukudukuat #Akurapopo #Akubakoh.
Kereta tiba, Aku bersaing dengan penumpang lain untuk bisa masuk dalam gerbong kemudian mencari posisi tempat dudukku. Kucocokkan dengan tiket di genggaman tanganku. Ku dapati tempat dudukku. Ternyata aku bersebelahan dengan wanita bermasker. Mungkin itu masker untuk menutupi mulut yang sumbing, hidung yang bernanah, gigi yang tonggos, pipi yang bolong. Seperti apa yang aku sebutkan di segmen sebelumnya hahaha. Tapi kulihat wanita itu, kulitnya putih, rambutnya panjang berponi, mungkin dia cantik dan aku seumuran dengannya. Aku permisi duduk disebelahnya sambil menujukkan tiketku bahwa aku berhak atas tempat duduk di sampingnya. Dia mengangguk dan kembali menatap ke luar jendela kereta seolah tak peduli denganku. Di bangku yang berhadapan, ada bangku kosong dan sebelahnya kakek-kakek. Kini kereta sudah bergeliat maju diatas lapisan baja yang panjang dan selalu sejajar. Ya semoga saja aku punya cerita cinta seperti rel kereta api. Dia panjang dan selalu sejajar dan akan mentok di sebuah tujuan akhir yaitu pernikahan lalu kematian lalu surga. Amin. Aku duduk dan hanya main HP sambil mengabari orang-orang rumah maupun orang tersayang kalo aku sudah OTW di kereta. Wanita sebelahku cuek, aku pun lebih cuek. Lapar dan haus melanda ku. Dia makan roti tapi masih melihat ke luar jendela seperti sebelumnya. Melihat itu aku semakin klasik keroncongnya. Aku pun mencoba tidur saja sambil jaga image ku.
Di Stasiun Jatinegara kereta berhenti untuk menaikkan penumpang. Mas-Mas aneh dengan gaya bicara ngapak baru saja naik di Stasiun itu, berada 1 gerbong denganku dan duduk dihadapanku. Dia menggerutu dia gaya bicaranya yang khas. Dia menggerutu karena ketinggalan kereta ini dari Stasiun Tanjung Priok mengejar dengan membabi buta sampai Stasiun Jatinegara pake ojek. Plok plok plok plok. Luar biasa perjuanganmu mas :D . Kereta maju lagi. Aku coba tidur lagi tapi cuma bisa merem melek. Tidur ayam. Mas-mas itu membuka pembicaraan. Seperti biasalah basa-basi seperti turun dimana, di Jakarta kerja apa, tinggal dimana, dll. Akhirnya kita bertiga ngobrol-ngobrol sedangkan si kakek tertidur pulas. Wanita bermasker itu membuka maskernya. Dan ternyata? Seperti yang sudah kuduga. Wanita itu memakai masker untuk menutupi gigi tonggos kelincinya hahahaha. Kali ini praduga tak bersalahku benar :p. Tapi dari wajahnya yang bulat, rambut panjang berponi, pipi agak tembem, kulit putihnya, andeng-andeng di dagu membuatnya seperti kelinci yang manis. Mas ngapak kira, aku dan wanita itu saling kenal dan bahkan dekat. Aku pun hanya tertawa dan bilang kalo kita kebetulan aja duduk disitu. Tapi dalam kamusku otakku, tak ada yang namanya kebetulan, yang ada hanya probabilitas kebolehjadian meskipun 0,0000001% :p. Jika aku jelaskan seperti itu mungkin bahasanya akan terlalu rumit dan butuh diterjemahkan differensial nya 2 kali :p. Setelah garing kemudian mereka tertidur. Aku masih melek.
Dari informasi yang kudapat mas ngapak itu turun di Stasiun Kroya, sedangkan aku, wanita itu, dan kakek itu turun di pemberhentian terakhir yaitu Stasiun Purwosari Solo. Waktu sudah ashar dan perutku semakin metal keroncongnya. Barangkali terdengar sampai gendang pendengaran penduduk sebelah. Mulai lapar mulai lapar mulai lapar. Petugas loper makanan kereta melangkahi kaki ku yang melintang di karpet merah. Ku putuskan saja untuk memesan makanan. Ada nasi goreng, nasi soto, nasi rames, dan nasi rawon.  Aku pesan nasi rawon. Yeah memang makanan resmi di kereta lebih mahal daripada pedagang asongan biasanya. Aku terpaksa membelinya karena tak kuat menahan lapar dan tidak mungkin ada asongan lewat. Kutunggu kau kutunggu kau nasi rawon. Lama sekali. Lalu makanan yang ku pesan itu datang, kusantap lah dia dengan beringas seperti buaya kelaparan. Nasi rawon habis ku makan, tapi aku kurang kenyang. Ku ganjal dengan minum air putih. Kini problematika kalutisme ku datang lagi. Bentuk rasa kalut itu adalah mulut yang gatal, kecut, kepala pusing jikalau sehabis makan tidak merokok. Sepele memang. Tapi jikalau kamu adalah perokok berat pasti tau dah rasanya seperti apa :D. Rokokku tinggal 3 batang djarum super, cukuplah buatku sampai Solo. Sebentar lagi sampai di Stasiun Cirebon prujakan dan kereta sepertinya akan berhenti. Dugaanku 100% benar, kereta berhenti cukup lama. Mas ngapak dan wanita itu terbangun dari mimpinya. Mas ngapak berkomentar pada penumpang kereta yang keluar mencari angin segar untuk merokok. Dengan gaya bicara khasnya, intinya gini, perokok itu orang kaya semua, masak duit pada dibakar, mending duitnya ditabung kek, liat aja mereka pada buta huruf gabisa baca peringatan, entar sakit dia juga yang repot, sambil terkekeh dia ketawa. Aku hanya tersenyum manis. Ingin ku komentari perkataannya yang lebih sakit daripada dia. Seperti ini pasal sakit bahkan bisa membunuhnya langsung di TKP,“Berarti kalau perokok itu kaya, maka bukan perokok miskin dong, :p “. Gelut-gelut kowe karo aku :D. Tapi aku buru-buru ingin merokok keluar sebelum kereta jalan lagi. Aku keluar gerbong kereta, bakar rokokku, rasa kalutku hilang.
Kereta akan berjalan. Rokokku sudah terbuang dalam hisapan terakhir. Aku masuk ke gerbong kereta. Tak berapa lama kereta keluar Stasiun Prujakan hujan batu terjadi. Entah itu orang iseng? maksudnya apa? Motivasinya apa? Kok kereta berjalan ditimpuki batu. Gerbong paling belakang adalah sasaran yang empuk. Banyak kaca retak. Bahkan pecah. Batu besar masuk dalam kereta tanpa diundang kemudian nyasar kena kepala penumpang sehingga mancur darah merah pejuangnya. Tak lama kemudian petugas kereta menyambutnya dengan perban. Ah sudahlah. Aku sudah duduk di posisi wenak. Lalu tidur cukup lama. Di Stasiun Purwokerto aku terbangun karena kereta berhenti. Banyak perokok yang ke luar kereta, ada yang turun karena sudah sampai tujuan dan ada yang naik menuju kota berikutnya. Aku turun dari kereta. Aku berlari menuju toko di Stasiun untuk beli roti, aqua dan rokok. Ku suruh pelayan toko itu cepat melayaniku. Setelah terbeli aku berlari menuju kereta yang sudah merayap pelan. Hap. Aku berhasil masuk. Aku duduk dalam posisi wenak lagi. Kini aku ngobrol lagi sama mas ngapak dan wanita itu. Mas ngapak kerja buruh di tanjung priok. Wanita itu sudah berhenti masa kerja di sebuah bank di Jakarta kemudian katanya mau pindah kerja di Jogja. Ternyata dia lebih tua dariku. Dia dulu kuliah di UNS angkatan 2008, katanya. Aku sendiri masih kuliah di Undip angkatan 2011, habis magang di Jakarta. Kereta berhenti di Stasiun Kroya, mas ngapak pamit turun. Sedangkan aku turun cari udara segar lagi. Dari purwokerto-lempuyangan, sepertinya kereta berhenti di setiap stasiun karena banyak yang turun, sehingga banyak kursi kosong. Kumanfaatkan tidur terlentang dan rasanya I Feel Free :D. Tak terasa sampai di Stasiun Purwosari Solo jam 11 malam. Sesuai jadwal yang molor 30 menit. Barang-barang siap ku bawa turun. Wanita dan kakek itu beranjak turun dari gerbong kereta. Aku tak berkenalan dengan wanita itu dan tak dapat nomor HP/pin BBM nya. Mungkin kalau bukan diriku pasti sudah dapat nama, nomor HP dan pin BBMnya hahaha. Dalam pikirku, dia cuma objek sebuah tulisanku dan  ku buat tulisan yang terkesan misterius saja, sama seperti dibalik masker, jika tidak dibuka maka akan timbul kemisteriusan itu dan kamu hanya bisa melakukan praduga tak bersalah dibalik probabilitas kebolehjadian meskipun cuma 0,0000001%.
Keluar Stasiun Purwosari, aku jalan kaki menuju perempatan lampu merah Manahan. Menunggu Bus Sumber Selamat favorite ku untuk pulang ke Sragen. Aku sampai rumah jam 2 malam setelah Bapakku menjemputku di pertigaan lampu merah Gambiran. Tidur di rumah sebentar. Setelah subuh aku berangkat ke Semarang. Kuliah lagi seperti biasanya. Dengan semangat baru karena selama perjalananku ke Jakarta tidak sia-sia. Aku dapat pengalaman yang berharga dan hal-hal yang menyenangkan.


Salam jun_krikers :D

Tidak ada komentar:

Posting Komentar