Sabtu, 27 Desember 2014

Trip Dadakan ke Gn. Ungaran via Medini

Trip Dadakan ke Gn. Ungaran via Medini

Jum’at, 12 September 2014 lalu sebuah trip pendakianku dapat dikatakan sangat mendadak, dimana H-beberapa jam saja kuputuskan untuk ikut mendaki Gn. Ungaran 2050 mdpl *karena gagal ngedate sama cewek hahaha -_-. Aku mendaki bersama sobatku, Akhsan dan temannya, Imam dengan berbekal apa adanya berangkat dari unisula sekitar pukul 19.00 dengan menuju Medini. Yeah, ini adalah pendakian pertamaku ke Gn. Ungaran via Medini *_*. Kami sampai Medini sekitar pukul 21.00 setelah melawan ganasnya godaan disco jalanan yang sering membuat kocak perut *encok buk :/. Langsung saja tak banyak cakap kami langsung mendaki. Track awal makadam di tengah perkebunan teh menyambut kami dengan senyumannya. Track makadam ini akan membawa kami ke desa Promasan dimana tempat tinggalnya para petani kebun teh berada. Motor dan mobil pun masih dapat melaluinya dengan mudah namun alangkah indahnya jika kami jalan kaki saja karena menghindari ganasnya disco jalanan dan encok yang berlebih :p. Tidak terlalu terjal memang, tapi cukup membuatku dongkol. Yeah, bagaimana aku tidak dongkol jika sang penunjuk jalan penuh keambiguan di atas pengalamannya yang super banyak melewati jalur ini *tersangka = Imam sang pelupa, hahaha.
Malam itu begitu indah dengan sinar bulan purnamanya yang sempurna namun begitu suram dengan keambiguan-keambiguan jalur yang sedang kami lewati. Jalur medini ini memiliki banyak percabangan di tengah perkebunan tehnya sehingga nyasar adalah hal yang sangat lumrah apalagi pendakian dilakukan malam hari :p. Andai saja kami membawa tenda mungkin tidak masalah jika benar-benar nyasar di tengah perkebunan teh *saat akan mengambil tenda, rental outdoornya sudah tutup. Wtf cuk, kami terus saja berjalan tanpa arah mengikuti track makadam tersebut dan sesekali kami menemukan penunjuk arah menuju desa Promasan. Malam semakin larut dan dinginnya angin malam musim kemarau yang kencang dan kering membuat kami semakin mengantuk dan menggigil. Rasanya ingin sekali cepat sampai Promasan dan tidur di camp Biyung secara ogah sekali jika tidur beralaskan bumi dan beratapkan langit. Mungkin lebih baik aku balik kanan dan pulang ke kost saja :p. Kami beristirahat di gubuk petani teh sambil menunggu pengendara motor lewat. Yeah, lebih baik bertanya padanya agar tidak sesat di jalan karena menurut pepatah bahwa malu bertanya sesat di jalan. Maka dapat disimpulkan bahwa kami ini tak punya malu :p. Akan tetapi ini hal positif karena jawabannya tinggal mengikuti jalur ini saja maka sampailah kami di desa Promasan.
Sabtu 13 September 2014, kami sampai Promasan pada pukul 01.00. Yeah, berarti sudah 4 jam kami menikmati waktu di perkebunan teh *nyasar mas nyasar -_-. Sesampainya di Promasan kami langsung masak mie instan dan kopi karena lapar dan kedinginan. Kemudian masuk camp Biyung untuk istirahat. Ada beberapa pendaki juga yang beristirahat disini. Yeah, Camp biyung adalah rumah milik petani kebun teh yang biasa digunakan para pendaki untuk menginap ataupun istirahat. Biyung, begitulah sapaan sang pemilik rumah, ia merupakan seorang nenek yang sudah sangat sepuh *S3. Biyung sungguh baik hati membuatkan dan memberikan teh hangat pada kami, sehingga mampu mempercepat rasa kantuk datang dan tertidurlah kami. Yeah, rencana esok subuh akan melakukan summit ke puncak Gn. Ungaran melihat sunrise.
Alih-alih melihat sunrise kami pun bangun pukul 07.00, mungkin terlalu nyaman tidur di Camp Biyung ini hahaha. Yeah, sebenarnya kami sudah bangun pada saat subuh namun karena sangat dingin dan gemuruh angin yang sangat kencang membuat kami memilih untuk tidur lagi saja. Bagi kami sunrise adalah bonus dan bukan sesuatu yang harus diburu. Bukankah jika sunrise diburu akan menyebabkan kelangkaan populasi dari sunrise itu sendiri? Barangkali, hahaha ah sudahlah banyak alasan saja kau. Kami lanjut mendaki pukul 08.00 masih melewati kebun teh. Di kebun teh inilah bertemu pertigaan arah puncak dan jalur mawar. Kemudian kami berjalan ke arah puncak hingga masuk hutan. Setelah keluar dari hutan dengan track tanah yang jika musim hujan sangat licin berlumut, kami berhadapan dengan track berbatu yang cukup terjal. Kami berpas-pasan banyak pendaki yang sudah turun dari puncak dengan bangganya melihat sunrise yang indah, applause untuk mereka. Yeah, mereka hebat telah menghajar dinginnya pagi untuk melihat sunrise di Puncak Ungaran. Di perjalanan menuju puncak ini aku bertemu dengan pendaki berbadan maaf *sangat gemuk, kakinya terkilir parah sehingga tak bisa jalan. Teman-temannya yang cabe rawit pun bahu membahu memapahnya untuk dapat berjalan *bukan cabe-cabean. Aku juga berkenalan dengan bidadari bercarrier yang ternyata tetangga jurusanku namun aku lupa namanya siapa hahaha sudahlah. Terus saja mendaki sampailah kami di Puncak Ungaran sekitar pukul 09.30.
Tidak ada yang berubah dari apa yang ada dan dilihat dari Puncak Ungaran. Di Puncak, tugu banteng raider masih berdiri kokoh, mungkin memakai semen gresik karena kokoh dan tak tertandingi :p. Cuaca yang sangat cerah sehingga kami masih dapat melihat Laut Jawa, Gn. Merbabu, Merapi, Lawu, Muria, Sindoro dan Sumbing. Di Puncak inilah kami menggelar acara masak memasak dengan menu mie instan dan kopi *lagi. Setelah makan dan ngopi, terbesit keinginan untuk menggapai Puncak Botak. Aku dan Imam mencoba mencari jalur menuju Puncak Botak dengan menyusuri lebatnya hutan Gn. Ungaran namun ternyata hasilnya nihil karena harus melewati jurang yang sangat dalam. Mungkin kami harus buka jalur jika ingin menggapai Puncak Botak. Yeah, kapan-kapan akan kami coba, tapi kapan hahaha? kami balik kanan menuju Akhsan berada. Yeah, kami turun gunung menuju Promasan.
Tak terasa sudah pukul 11.00 kami di Puncak. Kami pun turun gunung dengan ganas dan liar berkompetisi dengan adik-adik SMP sehingga debu-debu pun ikut beterbangan *lari bung \m/. Tak disangka aku sudah terlalu jauh dengan Akhsan dan Imam sehingga aku harus menunggunya cukup lama. Setelah kutunggu tak kelihatan juga, aku putuskan berlari lagi ke Promasan. Aku bertemu lagi dengan bidadari yang tadi berkenalan denganku. Setelah saling sapa dan basa-basi dikit aku berlari lagi meninggalkannya beserta rombongannya. Tak jauh aku berlari, aku bertemu lagi dengan pendaki yang cedera tadi. Yeah, kasihan sekali dia. Aku tak bisa membantunya selain memberinya semangat terus \m/. Kutinggalkan mereka dengan berlari lagi dan sampailah aku di Promasan pukul 11.45. Di Camp Biyung ada pendaki asal mapala kampus stikubank yang beristirahat setelah muncak. Karena tak ada yang mesti aku kerjakan, aku pun tidur saja sambil menunggu Akhsan dan Imam kembali.

 Akhsan dan Imam baru tiba di Camp Biyung pukul 13.00 karena kaki Imam terkilir saat berlari *sorry bung aku tinggal, aku nggak tahu -_-. Di Camp Biyung ini, kami ngobrol-ngobrol dengan anak stikubank dan Biyung sambil menunggu truck pengangkut hasil petikan petani teh tiba :D. Yeah, kami akan turun ke Medini dengan numpang truck tersebut untuk mempersingkat waktu :p. Pukul 14.00 truck tiba di Promasan. Setelah minta izin pada pak sopir kami pun naik. Isi dari bak truck masih kosong kecuali diisi oleh para begundal-begundal seperti kami. Truck ini akan berhenti di setiap postnya untuk mengangkut beberapa karung teh hasil petikan petani. Setelah isi bak truck sudah over kapasitas dengan karung, truck akan jalan tanpa henti sampai Medini. Kami berada di atas karung-karung tersebut ketika truck berjalan. Sangat mengerikan sekali ketika truck melewati tikungan sempit, turunan tajam, tanjakan tajam, namun pak sopir sangat ahli mengendalikannya. Yeah, rasanya sama dengan serunya naik roller coster di dufan \m/. Kami sampai di Medini pukul 15.00. Tak lupa kami member tips kepada pak sopir sebesar Rp. 15.000 untuk 3 orang begundal. Setelah ambil motor kami pun pulang menuju Semarang.

Sabtu, 13 Desember 2014

Anti mains-tream Gn. Lawu #via cetho 2

Anti mains-tream Gn. Lawu #via cetho 2


Minggu, 17 Agustus 2014, pagi itu begitu cerah dan dingin sekali hingga menusuk tulang. Aku bangun dan langsung bakar rokok. Kemudian keluar tenda, kupilah-pilah semak-semak dan cuuurrrrr keluarlah air terjunku. Rombongan ganaspati rupanya sudah melanjutkan perjalanan summit. Kubangunkan sahabatku yang masih aras-arasan bangun. Devindra mengeluh belum tidur karena kedinginan *kirain belum mandi wajib hahaha. Aku pun membuat kopi sedangkan rian dan akhsan keluar membuat api unggun *telat bro aturan tadi malem, ini udah pagi hehehe. Setelah segar menyantap kopi yang kubuat, aku keluar untuk jalan-jalan. Yeah, view di bulak peperangan ini serasa di pegunungan luar negeri *mirip Alaska in summer. Lembah sabana ini memiliki keindahan yang tak bisa didustakan. Pucuk-pucuk pinus mulai berkilau keemasan menyambut hangatnya sang mentari.
Kami melanjutkan langkah untuk summit setelah packing dan mengabadikan view di post 5 ini. Kami berjalan perlahan membelah sabana yang diapit 2 bukit cemara kemudian nanjak dan terhamparlah luas sabananya Gn. Lawu. Sampai disini track sudah tidak terjal seperti hari sebelumnya, Landai dan begitu panjang di tengah luasnya sabana. Yeah, serasa di Afrika bro B-). Kami juga melewati sendang tapak menjangan yang mongering karena kemarau. Cuaca pagi di sabana sangat cerah dan terik namun lucunya kami malah kedinginan dengan nafas tersengal-sengal kehabisan oksigen hahaha. Yang jadi masalah sangat urgent adalah habisnya stok air minum kami. Entah apakah kami terlalu boros, padahal kami bawa lebih air minum -_-. Maka dari itu kami berjalan lambat sekali seperti keong :D dan semoga saja masih ada sisa air di sendang drajat . Puncak Gn. Lawu yaitu Hargo Dumilah sudah terlihat dan ramai pendaki. Lagu kebangsaan Indonesia Raya pun terdengar menandakan upacara sudah dimulai *kami ketinggalan upacara -_-. Tak apa, kami pun lanjut mendaki bukit cemara lagi namun tidak begitu terjal. Jalurnya begitu sempit karena harus menerobos edelweiss, cantigi, cemara maupun pinus muda *awas nyangkut. Berbagai Gunung Jawa Timuran juga terlihat jelas dari bukit cemara ini, diantaranya Gn. Wilis, Kelud, Arjuno-Welirang, bahkan Semeru dan paling jauh Pegunungan Argopuro. Yeah, beberapa kali kami juga ber pas-pasan dengan pendaki lain dan salah satunya om-om dari kijang lawu. Setelah bukit cemara terlewati, kami begitu lemas karena kelaparan dan kehausan -_-. Alhasil kami pun makan mie mentah untuk mengganjal perut tapi seret karena tak ada minum -_-. Setelah mie diganyang kami melangkah lagi, tak berapa lama kami memasuki kawasan pasar dieng atau pasar setan *hiiii. Kawasan pasar dieng adalah salah satu kawasan mistis dari Gn. Lawu terdapat batu tersusun maupun berserakan disini, bahkan ada dupa yang menyala :/. Jalur disini tidak begitu jelas maka harus waspada dan sulit mengenali patokan jalur agar tidak tersesat. Untung saja aku cukup jeli melihat tanda plang arah panah menuju puncak berwarna biru sehingga aku memanggil rian yang berjalan lurus di depan. Yeah, akhirnya setelah berjalan sebentar sampailah kami di Hargo Dalem dan mampir di warung mbok yem yang melegenda *cmiiw.
Di warung mbok yem kami mendapat kabar bahwa sendang drajat sedang kekeringan dan di post 5 via cemoro sewu sedang terjadi kebakaran akibat lalainya pendaki yang tak mematikan api unggun . Sungguh mengenaskan sekali kondisi kami saat itu. Kembali lagi kami positif thinking dengan berfikir akan meminta minum temannya rian atau temanku jika bertemu mereka sampai puncak. Yeah, semoga saja. Setelah mendapatkan nasi pecel yang dibeli dengan antri, kami langsung summit, berharap bertemu dengan teman kami meminta air minum *_*. Normalnya dari warung mbok yem-puncak ditempuh 15 menit tetapi karena lapar, haus terasa sangat lama dengan kondisi yang panas dan berdebu hohoho. Tak jarang aku mengunyah daun cantigi untuk mencari serat air meskipun daunnya penuh debu hohoho. Bahkan tanpa malu dan basa-basi aku minta air kepada pendaki yang lewat tapi banyak yang menolak secara halus. Hanya sesosok bidadari cantik yang menyelamatkanku dan temanku dari kehausan. Dia memberikan air minum meskipun cuma sedikit . Makasih ya cantik kau sungguh baik hati *aku tak sempat berkenalan dengannya hohoho. Kami sampai di puncak Hargo Dumilah pukul 09.30. kami frustasi karena tak ada yang kami kenali untuk meminta air minum hohoho. Akhirnya tanpa malu namun dengan basa-basi aku mencoba meminta air minum seikhlasnya untuk pulang via candi cetho kepada om-om kijang lawu yang kami temui sebelumnya. Alhasil dengan perdebatan cukup panjang antara anggota dan kapten kijang lawu, kami diberikan air minum 1 botol. Kami pun bersyukur karenanya dan tak lupa sangat berterima kasih padanya. Mereka bagai malaikat yang menyelamatkan kehidupan kami saat itu *_*. Kami pun berfoto bersama mereka sebagai kenangan indah di Hargo Dumilah. Om-om kijang lawu pamit turun melewati jalur cemoro kandang. Kami ber-4 masih di puncak, bermain-main di ujung dunia dan mengabadikan momen HUT RI atau 17 Agustusan. Terlihat juga asap kebakaran yang membumbung tinggi dari ujung dunia ini :/.
Yeah, kami turun dari puncak pukul 11.00 kemudian singgah di warung mbok yem untuk makan pecel. Kami juga memesan 4 gelas teh hangat, kemudian dituangkan dalam botol untuk bekal pulang. Akhsan, rian dan devindra tidur karena kelelahan. Aku pun mencoba untuk tidur namun tidak bisa karena cuaca sangat panas -_-. Yeah, aku melek saja sambil menunggu mereka tidur juga bercuap-cuap dengan pendaki lain di luar. Banyak pendaki yang unik dan nyentrik dengan penampilan mereka untuk memperingati hari kemerdekaan RI ini, ada yang memakai kostum anak SD, SMP, SMA, bahkan ada wirosableng, sintho gendeng, gatot koco, superman, batman dkk juga hahaha. Yeah, sungguh meriah sekali suasananya.
Tepat pukul 12.45, aku membangunkan sahabatku untuk lanjut turun. Setelah siap, kami langsung turun dari Hargo Dalem sampai pasar dieng. Nah, di tempat inilah kami tersesat hahaha. kami mencoba mencari jalan keluar dari pasar dieng namun tidak menemukannya. Semua sudah terlihat emosi dan frustasi sehingga aku sedikit kesal. Ada 2 pendaki yang ikut bersama kami, mereka berjalan keluar pasar dieng namun setelah beberapa langkah kami ikuti, aku tak mengenal jalurnya dan berbeda dengan saat berangkat. Sepertinya jalur itu menuju puncak tower. Kami balik ke pasar dieng lagi, diawali dengan berdo’a kemudian mencari petunjuk plang biru arah puncak yang kutemukan saat berangkat. Alhamdulillah kami menemukannya plang tersebut disusul dengan jalur pendakian arah candi cetho. Kami pun langsung turun gunung dengan cara berlari. Di belakang kami 2 pendaki tadi mengikuti kami dengan cara memotong jalur *ternyata mereka tersesat hahaha. Sampailah kami di post 5/bulak peperangan untuk beristirahat minum sedikit-sedikit. Rombongan ganaspati juga sudah bersiap untuk turun. Yeah, kami turun bersama mereka dengan susul menyusul saat berhenti di post 4 dan post 3. Dari post 3 inilah formasi rombonganku dan ganaspati tercerai berai, mungkin lelah hehehe. Aku sampai di post 2 lebih dulu bersama rombongan ganaspati. Tak lama kemudian akhsan sampai di post 2. Yeah rombongan ganaspati sangat baik memberi kami air minum, cemilan dan rokok padaku dan akhsan karena air minum kami masih berada di belakang. Lama sekali kami menunggu rian dan devindra sampai di post 2. Ternyata ada insiden kaki rian terkilir dan diobati sesampainya di post 2.
Setelah dirasa sembuh kami turun dengan perlahan mengawal rian. Sedangkan rombongan ganaspati sudah ada yang turun dulu dan masih ada yang di belakang. Sesampainya di post 1 aku dan akhsan turun dulu karena merasa gila akibat kehausan. Rian dan devindra menyatakan kesantaiannya dengan bekal beberapa teguk air di botol. Yeah, aku dan akhsan berlari untuk turun berharap ada air mancur di ladang. Sesampainya di ladang, kami tak menemukan air mancur seperti yang dilihat saat berangkat mendaki. Hal inilah yang membuat aku dan akhsan semakin malas untuk berlari lagi -_-. Sehingga langkah-langkah kecil mengiringi jalannya turun gunung melewati candi kethek, sungai kering, puri saraswati dan warung di sebelah candi cetho inilah aku dan akhsan beristirahat. Leyeh-leyeh dengan segelas es teh dan kepulan asap rokok masing-masing. Kemudian beberapa anggota ganaspati juga beristirahat disini. Pukul 17.15 anggota pendakian anti-mainstream sudah lengkap di warung. Yeah, rian dan devindra memesan hal hal yang sama di warung. Setelah warung tutup, kami jalan-jalan dulu di depan candi cetho menikmati matahari terbenam di ufuk barat. Sayangnya tidak terhampar lautan awan seperti kemarin, namun sunset tetap begitu jingga dan indah. Kami mengabadikan momen tersebut dengan beberapa anggota ganaspati. Salah satunya mas lingga karena dia juga kuliah di Semarang maka kami saling bertukar kontak. Mungkin suatu saat bisa mendaki bersama .
Setelah langit mulai hitam, kami ber-4 pamit pada mereka untuk pulang terlebih dahulu. Kami tak lupa mengembalikan peralatan pendakian di Jenawi. Namun cukup menjengkelkan karena ban motor devindra bocor. Setelah ban di tambal, kami mampir ke rumah devindra untuk makan. Kemudian aku pulang dan karena kemalaman atau takut pulang akhirnya akhsan menginap di rumah ku :p. Yeah, akhirnya misi pendakian anti-mainstream ini sukses dilaksanakan meskipun banyak kekurangan. Terima kasih rombongan ganaspati, om-om kijang lawu dan sesosok bidadari penyelamat atas bantuannya. Sebuah pengalaman yang luar biasa bersama para sahabatku yang kompak, begajulan, serampangan, ugal-ugalan dan tak kenal menyerah, apalagi disaat-saat kendaan sulit dan tergenting sekalipun .
Salam jun_krikers.

Anti mains-tream Gn. Lawu #via cetho 1

Anti mains-tream gn. Lawu #via cetho 1


Pada saat 17 Agustus 2014 lalu , aku melakukan pendakian yang anti-mainstream ini bersama sahabatku waktu SMA dulu yaitu Akhsan dan sahabat lamaku yaitu Rian dan temannya yaitu Devindra. Kenapa dibilang anti-mainstream? Yeah, pada saat itu jalur pendakian Gn. Lawu via Cemoro Sewu dan Cemoro Kandang dipadati oleh ribuan pendaki yang akan melakukan upacara di puncak, maka kami mendaki melalui jalur Candi Cetho yang terkenal amazing viewnya, ekstrim halangannya dan kental akan suasana mistisnya. Kami belum pernah mendaki melewati jalur tersebut dan hanya berbekal informasi dari catper dari sebuah blog namun kami sudah siap dengan segala resiko yang akan terjadi. Saat itu kondisi keuanganku juga sangat miris -_-, tetapi atas bantuan para sahabatku pendakian yang anti-mainstream ini terlaksana juga, terima kasih sobat :D.
Sabtu, 16 Agustus 2014, di pagi yang cerah itu akhsan menjemputku di rumahku. Setelah persiapanku usai, kami menjemput rian dan devindra di rumahnya. Tak banyak cakap kami bertemu, langsung saja kami berangkat dan membeli logistik di perjalanan. Sesampainya di Jenawi, kami mampir untuk menyewa beberapa alat pendakian. Ternyata si empunya alat adalah seorang cewek tangguh dan tak lupa dia memberikan beberapa wejangan-wejangan untuk berhati-hati mendaki lewat candi cetho *cmiiw. Setelah selesai urusannya, kami langsung berangkat menuju candi cetho. Di perjalanan ini kami disuguhkan dengan pemandangan alam desa yang sungguh asri, terasering persawahan tersusun rapi bagai domino kemudian hamparan bukit kebun teh yang begitu luas menghijaukan mata.
Dengan perjuangan keras motorku meraung-raung di tanjakan terakhir, akhirnya kami sampai di candi cetho pukul 11.30. Kulihat hanya ada segelintir orang yang akan mendaki. Sebagian besar adalah wisatawan yang sedang berwisata di candi cetho. Motor sudah terparkir dan peralatan dipacking rapi. Sebelum mendaki, kami berdo’a agar diberi keselamatan. Kemudian menuju post penjaga candi cetho untuk didaftar dan membayar registrasi masuk kawasan wisata cukup Rp. 3.000,- saja. Sangat murah dibandingkan melewati jalur lainnya, karena jalur candi cetho ini bukan jalur resmi namun kami memberikan kontak kami saat mendaftar. Pukul 12.00 kami mulai melangkah, meniti anak tangga masuk kawasan candi cetho. Yeah, rasanya sudah lama sekali aku kemari karena terakhir kalinya pada zaman masih imut-imutnya pas SMA :D. Candi cetho ini begitu eksotis terletak di lereng barat Gn. Lawu. Tak jarang wisatawan asing datang kemari untuk menikmati ke eksotisannya. Setelah masuk candi cetho, kami belok ke kiri menuju candi kethek. Terdapat beberapa warung yang menjajakan makanan dan minuman namun semua tertutup rapat sehingga kami melanjutkan pendakian di tengah keroncongnya perut -_-. Dengan menahan lapar kami melangkah pelan melewati puri saraswati, sungai kecil yang kering dan setelah menanjak sampailah di candi kethek. Candi kethek juga terlihat eksotis seperti bangunan candi piramida dari suku maya. Kami terus melangkah melewati sisi candi kethek dan mengikuti jalur pendakian melewati ladang pertanian. Cuaca siang begitu terik sehingga memperlambat dan beratnya laju awal kami.
Kami sampai di post 1 pukul 01.30 dan langsung masak mie instan dan kopi karena sudah sangat lapar. Diselanya kami memasak, datang rombongan ganaspati yang berisitirahat disini. Yeah, di tengah sepinya jalur pendakian via candi cetho, merekalah yang tampak nyata karena sepertinya tak ada rombongan lain hahaha. Mereka pamit melangkah duluan meninggalkan kami di post 1. Setelah makan dan habisnya hembusan asap rokok, kami mulai melangkah lagi. Track tanah yang kami lewati cukup licin dipijak dan vegetasi didominasi oleh semak belukar yang sangat lebat namun diselanya ada buah arbei hutan yang siap untuk dinikmati kesegarannya :D. Yeah, arbei hutan memang nikmat sekali jika dimakan dan diambil langsung di hutan. Setiap berhenti untuk beristirahat, arbei tersebut pasti kami makan untuk menambah stamina hahaha.
Cukup 1 jam saja kami sampai di post 2. Di sini kami bertemu rombongan ganaspati lagi namun mereka pamit melangkah duluan dan menyisakan lapak untuk kami beristirahat hahaha. Post 2 ini terletak di dalam hutan yang sangat lebat, pohon-pohon dengan diameter besar sangat mudah ditemui bahkan sinar matahari tak mampu menembus hutan dan terkesan angker *hiiii. Di depan post 2 terdapat pohon besar yang batangnya ditutupi kain sarung berwarna putih. Barangkali sarung putih menujukkan bahwa pohon itu suci jadi jangan dikencingin ya soalnya ada penunggunya*hihihihi. Tak mau berlama-lama mengganggu penunggu di post 2, kami pun melangkah lagi. Track yang dilewati semakin terjal dan masih di dalam gelapnya hutan dengan semak belukarnya yang rapat. Sempat kami menemukan kotoran binatang seperti kijang atau babi, mungkin juga macan. Tapi yang jelas cakaran kuku macan sering kami temui di batang pohon sepanjang jalur. Yeah, cukup was-was jika macan itu memburu kami maka dari itu sebilah belati tajam selalu dipegang dan tak pernah lepaskan hahaha. Mendekati post 3, sudah jarang pepohonan dan didominasi semak belukar saja. Kami terpapar oleh teriknya matahari. Dengan track terjal yang kami lalui ini membuat kami megap-megap seperti ikan mas koki :o.
Cukup 1,5 jam saja kami sampai di post 3. Disini kami bertemu rombongan ganaspati lagi. Sebagian pamit duluan dan ada yang masih beristirahat. Kami berbagi lapak di post 3 ini, bercengkrama dengan mereka. Bermula pepatah dari guruku SMA yang kulontarkan, “Nila Setitik Rusak Susu Sebelahnya” menjadi trending topik bahan canda tawa kami saat itu. Setelah cukup istirahat kami melanjutkan langkah lagi. Kami melewatkan rombongan ganaspati yang sedang mengisi acara masak memasak. Yeah, kami berjalan menjadi garda terdepan lagi. Track yang dilewati menjadi sangat terjal dengan sisi kanan terdapat jurang yang dalam, suara derasnya aliran sungai terasa namun tak terlihat. Pohon pinus, cemara gunung muda sudah mulai tampak di tengah lebatnya semak belukar, menandakan bahwa kami akan memasuki hutan pegunungan. Posisi kami berempat mulai tercerai berai karena stamina yang menurun. Tatkala itulah terdengar suara auman macan yang mengerikan. Entah suara macan jadi-jadian atau sungguhan, aku tetap berpositif thinking dan menganggap aku tak mendengarnya dan melupakannya. Kami istirahat sebentar dan membicarakan auman macan tadi. Maka kami bersiap dengan belati di tangan dan jangan tercerai berai posisinya saat berjalan.
Cukup 2 jam saja kami sampai di post 4. Disini ada beberapa tenda yang berdiri sehingga tak menyisakan lapak untuk kami beristirahat. Yeah, mereka akan bermalam disini. Kami pun mencari lapak di atas post 4 dan langsung masak karena energi dan stamina kami sudah terkuras habis. Kala itu menjelang sunset dan terlihat indah karena kami sudah berada di atas awan. Puncak Gn. Merapi, Merbabu dan Sindoro terlihat tinggi menjulang diantara karpet awan. Yeah, ini merupakan sunset di tanah anarki yang indah. Hingga matahari terbenam sepenuhnya di balik Gn. Merbabu. Siluet pohon pinus yang masih muda terlihat begitu mempesona dan terkesan mistis suasana. Setelah makan dan puas mengabadikan momen sunset di tanah anarki ini kami mulai melanjutkan langkah. Tiba-tiba angin pun bertiup sangat kencang, suaranya pun menderu seperti jet lewat. Kami percepat langkah supaya tidak kedinginan dan agar cepat sampai di camping ground post 5. Sesampainya di Cemoro Kembar angin tiba-tiba berhenti. Cuaca pun sudah gelap sepenuhnya. Hanya cahaya senter yang menerangi jalur. Rombongan ganaspati masih tertinggal jauh di belakang. Kulihat di depan cemara kembar itu jalurnya tertutup edelweiss yang rimbun. Inisiatif aku mencari jalur ke sebelah kanan atau kiri cemara kembar itu namun tak menemukan jalur. Namun setelah memasuki celah 2 Cemoro Kembar yang besar itu, aku seperti dibuka kan jalurnya, entah apa cuma perasaanku saja *cmiiiw. Kami mengikuti jalur yang menerobos rimbunan edelweiss tersebut sambil melihat ke belakang untuk memastikan apakah rombongan ganaspati itu sudah dekat dan ternyata masih jauh bung! Kami ber-4 belum pernah mendaki lewat candi cetho, bayangkan horror dan mistisnya suasana melanda kami malam itu. Yeah, saat rian menyenter bagian atas Cemoro Kembar, aku sempat dikasih lihat sang penunggu Cemoro Kembar itu, dia mengawasi kami *iiiih serem deh pokoknya -_-. Kemudian kami terus melangkah dengan penuh keambiguan karena jalur menjadi menuruni bukit -_-. Dengan pedoman selalu positif thinking, berdo’a, berdzikir, jangan bengong, kami terus melangkah sampailah kami di tanjakan yang sangat terjal. Disini vegetasi sudah di dominasi oleh cemara gunung dan pinus yang berdiameter sangat besar. Jalur menikung tajam melipir kekiri dengan setapak tanah yang sempit. Harus hati-hati jika tidak ingin jatuh ke jurang, terkadang setapak ini tertutup semak-semak atau ada ranting yang melintangi. Yeah, mungkin ini dinamakan tikungan macan dan barangkali ada macannya *cmiiw. Di penghabisan tikungan macan, kami juga sempat melihat jejak anjing hutan atau serigala yang masih segar -_-. Dengan positif thinking, aku meng-judge bahwa itu jejak sepatu pendaki lain *sangat tidak masuk akal tapi mendinginkan suasana :p. Disitu lah kami memberi signal dengan cahaya senter kepada rombongan ganaspati dan mereka meresponnya balik hehe. Kami melanjutkan langkah di tepian sabana yang luas. Sempat terpikirkan untuk mendirikan tenda di tengah sabana itu karena kami sudah lelah hahaha. Akan tapi tidak jadi karena dengan pertimbangan akan mudah diserang hewan buas hehe. Kami teruskan saja langkah kami sampai di pohon pinus besar tumbang melintangi jalur. Disinilah kami menunggu rombongan ganaspati agar tahu apakah jalan yang kami lalui benar atau tersesat -_-. Yeah, mereka sampai di tempat pemberhentian kami ini. Disinilah kami tahu bahwa kami sudah sampai post 5/bulak peperangan setelah bertanya pada mereka hahaha.
Kami sudah lelah dengan sensasi jurit malam yang ada, 1,5 jam melangkah dari post 4 jadi terasa 1 malam hahaha. Entah bagaimana jika tidak ada rombongan ganaspati saat itu, untungnya mereka berencana ngecamp di post 5 juga :D. Mungkin jika tidak kami ber-4 akan menangis keras di hutan ini *lebay, karena kami tak tahu meminta tolong kepada siapa kecuali kepada Allah SWT. Di post 5/bulak peperangan ini merupakan lembah sabana yang diapit oleh 2 bukit dengan pinus atau cemara gunung yang besar. Lembah ini juga merupakan jalur angin sehingga saat mendirikan tenda cukup sulit karena kami sudah kedinginan. Yeah, para sahabatku sudah mengeluh kedinginan sehingga tenda yang belum sepenuhnya berdiri kokoh mereka masuki. Yeah, karena aku masih kuat, tidak apa-apa aku berjuang seorang diri diluar melawan angin dingin untuk mengkokohkan tenda. Yang terpenting para sahabatku ini jangan terlalu terpapar angin dingin karena riskan terserang hipotermia. Cuaca kemarau di Gn. Lawu memang sangat dingin dan ekstrim saat malam hari. Setelah kokoh aku pun masuk dalam tenda. Kami masak mie dan kopi lagi untuk menghangatkan tubuh. Malam semakin larut, kami harus tidur dan baru kali ini aku tidur memakai SB pinjaman oleh seorang teman *biasanya pake sarung -_-. Yeah, malam itu memang sangat-sangat dingin. Bahkan lebih dingin daripada saat aku terkena badai di Gn. Sumbing beberapa waktu lalu dan tidur pun hanya berselimutkan sarung. Aku pun tidur sangat pulas meskipun beberapa kali harus keluar tenda untuk kencing hehehe. Saat keluar tenda itulah aku bagai di dalam kulkas besar terbuat dari alam. Dingin sekali, bahkan rerumputan terlihat butiran es kecil -_-. Gn. Lawu memang istimewa :D.

Masker dan Gunung

Masker dan Gunung

Yeah, entah mengapa aku selalu terobsesi untuk mendongeng tentang seseorang yang memakai masker. Seperti dongengku sebelumnya tentang masker dan kereta, kini aku mendongeng tentang masker dan gunung. Tak dipungkiri bagiku bahwa orang yang memakai masker itu begitu misterius. Yeah apalagi dia seorang wanita. Disitulah otak cemerlangku bermain logika tentang praduga tak bersalah dengan probabilitas 0,00000000001%. Dugaan yang selalu benar ketika dugaanku salah ataupun benar, terkesaYeahn sangat egois dan memaksakan kehendak memang :D.
Semua berawal dari pendakianku ke Gn. Sindoro tanggal 18 Oktober 2014 lalu *catper masih entry. Jumlah personil saat itu begitu didominasi oleh kaum srikandi. Yeah, bayangkan saja begitu merepotkannya 3 arjuna yang mungkin lenjeh-lenjeh mengawal 6 srikandi tangguh, hahaha. Uniknya dari sekian jumlah srikandi tersebut ada satu yang sangat misterius *hiiii. Tahu kenapa? Yeah sudah pasti dan bukan basa-basi dia yang memakai masker *oooh -_-. Dia selalu memakai masker ketika pertama kali bertemu denganku, saat perjalanan di jalan maupun saat mendaki gunung. Yeah, masker itu seolah-olah melekat erat pada wajahnya. Barangkali masker itu adalah topengnya maka akan kunyanyikan lagu jadulnya peterpan yang berlirik buka dulu topengmu hahahaha :p. Barangkali masker itu adalah cadarnya sudah pasti dia itu muslimah sejati dan tidak dipungkiri mampu me-ruqyah diriku yang hina akan godaan setan hahahaha *siap di-ruqyah, ampyun -_-.
Mungkin banyak alasan kenapa dia selalu memakai masker. Bahkan diawal pertemuan, aku sudah bermain logika praduga tak bersalah dengan probabilitas 0,00000000001% :p, diantaranya adalah: Dia sedang flu, maka ditutuplah hidung di wajahnya agar virus tersebut tidak menyebar *dia sungguh baik hati :p. Dia sedang bermain aman dengan debu-debu yang beterbangan karena tak dipungkiri debu tersebut juga membawa virus penyakit atau supaya tidak jerawatan *jaga kesehatan dan kecantikan :p. Dia kurang percaya diri untuk menujukkan wajahnya didepan pangeran tampan seperti diriku *ah jadi malu :p. Yeah itu semua alasan yang cukup logis untuk mereka yang berakal sehat. Tidak seperti diriku yang sakit jiwa hahahaha. Barangkali masker itu digunakan untuk menutupi giginya yang tonggos :p? menutupi lidah yang selalu menjulur :p? menutupi pipi yang penuh jerawat berlendir nanah :p? menutupi pipi yang bolong :p? menutupi pipi yang berbulu menyerupai kera :p? menutupi hidung yang pesek ke dalam :p? menutupi bulu hidung yang keluar menyerupai kumis :p? menutupi berewok karena tak sempat mencukurnya :p? menutupi bibir yang sumbing :p? menutupi bibir yang dower :p? menutupi gigi taringnya karena dia keturunan vampire atau srigalak *hiiii serem :p? mungkin jika ada tambahan lagi, aku siap menampung, hahaha :p?
Yeah, pada intinya masker itu digunakan untuk menutupi segala sesuatu yang ditutupinya entah itu baik atau buruk. Maka jangan heran jika mereka yang memakai masker terlihat begitu misterius dengan alasan-alasan yang logis dan tak masuk akal ataupun sebuah keambiguan yang selalu membelenggu. Disitulah keseruan untuk bermain logika praduga tak bersalah dengan probabilitas 0,00000000001% berada. Mungkin apa yang kubahas dan kudongengkan ini tidak begitu penting dan tidak jelas hahaha. Maka tak usah diperdebatkan karena aku tahu, kita tak akan menemukan solusi dan buang-buang waktu saja :p. Tapi yang aku tahu. Ketika dia membuka maskernya, dia adalah mutiara yang tersembunyi di balik masker di gunung :D.

Selasa, 09 Desember 2014

KU RASAKAN APA YANG KAU RASAKAN, SOBAT

KU RASAKAN APA YANG KAU RASAKAN, SOBAT

            “Dinginnya malam seharusnya mampu mendinginkan suasana tetapi aku menghajarmu karena aku tak kuasa menahan amarah karena idealisme kita yang membuat kepala menjadi keras. Yeah, maafkan aku sobat, kita memang harus saling menghajar agar menyadarkan kita arti sebuah persahabatan. Persahabatan yang dimulai dari kecintaan kita terhadap alam. Kini apa yang kau rasakan telah aku rasakan meski mereka tidak menghajarku untuk menyadarkanku. Karena itulah aku tahu, mereka bukanlah orang yang peduli padaku. Mereka hanya bisa diam di depanku dan hanya bisa bicara di belakangku bagaikan pecundang yang bersembunyi dibalik masalah. Yeah, sebenarnya masalah harus dibagi dan diterima bersama. Hanya saja masalah itu dilemparkan agar tidak disalahkan sehingga ketika salah ambil keputusan maka menjadi patut untuk disalahkan. Yeah, barangkali agar terlihat lebih baik atau hebat saja ketika menyalahkan. Rasanya sungguh tidak enak diperlakukan seperti itu dan itu pernah ku lakukan padamu. Saat itu kau menjadi jengah dan jutek sekali. Entah kebetulan atau tidak? Saat mereka melakukannya padaku, aku pun menjadi jengah dan jutek sekali. Aku merasa terhina dengan cara pandang tajam mereka. Terlebih nada bicara atau sindiran mereka yang seolah-olah menyalahkanku. Mungkin kau juga merasa hal yang sama saat ku lakukan padamu. Terlebih saat mereka melakukannya padaku, diantaranya ada yang sedang menjalin hubungan asmara. Sungguh bodoh, hening, mistisnya suasana diriku ikut bersama mereka. Bukan karena aku cemburu, iri, dengki atau apalah. Aku terlalu jengah dijadikan objek yang selalu disalahkan dan bahan ceng-cengan dengan salah satu obat nyamuk sehingga membuatku tak respect pada mereka. Namun aku terlalu baik karena aku tak memberontak menghajar salah satu dari mereka. Cukup diam, jutek, bikin repot ataupun berjalan lebih jauh meski menjadi bahan omongan mereka di belakang. Yeah, ku pikir, mereka bukanlah orang yang penting bagiku maka aku tak harus saling menghajar mereka agar tersadar, hehe. Biarlah si jantan itu terlihat hebat atau bodoh di depan betinanya dan berbahagia. Biarlah obat nyamuk itu menjalankan tugasnya. Biarlah aku menjadi biang kerok yang mengambang-ambang, jadi terima saja :p. Aku menikmati peranku sebagai antagonis dan berperang secara psikologis J. Hey Sobat, ini dongeng petualanganku bersama mereka. Mana dongeng petualanganmu? Ku tahu saat ini kita akan sama-sama sibuk dengan urusan masing-masing untuk menggapai mimpi. Disaat mimpi itu terwujud nyata maka janganlah lupakan persahabatan kita. Biarlah dongeng saja yang tak harus menjadi nyata”.

Nb: Dongeng atau balada diatas ku buat karena malas membuat catper dan bukan karena bosan ke tempat itu kembali, tetapi selalu ada dongeng berbeda di setiap perjalanan. Yeah, meskipun tak rinci dan detail dengan permasalahan yang ada J. Tetapi jika dipikir-pikir lucu sekali dan rasanya sangat gatal untuk menceritakan semuanya hahaha. Semua berawal dari tersesatnya kami karena salah ambil jalur dan Ah sudahlah cukup tahu saja :p.


Sepanjang Jalan Kenangan di Gn. Sindoro 18 Oktober 2014 dan Gn. Sumbing  7 Desember 2014. Salam Jun_krikers

JANJIKU PADA MERAPI

Janjiku pada merapi


            Ada pepatah yang menyebutkan bahwa “Merapi Tak Pernah Ingkar Janji”. Namun, bukankah merapi itu tak bisa bicara karena ia benda mati? Hihihi. Yeah, para pujangga, seniman kata, memang selalu menciptakan pepatah-pepatah unik. Merapi adalah gunung yang paling aktif di Indonesia karena siklus periode letusannya terhitung pendek. Maka dari itu mungkin merapi tak pernah ingkar janji untuk meletus yeah, barangkali. Dua letusan dahsyat terakhir terjadi pada tahun 2007 dan 2010. Pada tahun 2010 itulah bukti keganasan wedhus gembel hasil letusan Gn. Merapi yang berhasil memporak-porandakan desa Kinahrejo yang merupakan tempat tinggal kuncennya, mbah marijan. Ia bersama puluhan penduduk desa ditemukan tewas terpanggang karena menolak untuk dievakuasi saat Merapi meletus. Sungguh kejadian yang akan menjadi pembelajaran selanjutnya jika Merapi Tak Pernah Ingkar Janji. Tahun 2013 lalu adalah tahun terakhir aku mendaki Gn. Merapi. Saat itu aku berjanji akan mendaki Gn. Merapi lagi. Yeah, Gn. Merapi memiliki sensasi tersendiri saat didaki. Perjalanan saat menjelang puncaknya begitu terjal, mengerikan dengan batuan besar lepas siap menggelinding ke arahku. Begitu bodohnya aku dan teman sependakian dulu sempat tersesat karena mengikuti orang halus kemudian mereka hilang dan kami mentok di sebuah tebing. Alhasil kami mencari jalur sendiri untuk sampai puncak dengan jalur yang sangat mengerikan dan berbahaya. Sedangkan pendaki lain melewati jalur yang aman -_-. Maklum saat itu kami terlalu pagi saat summit, kira-kira sekitar pukul 03.00, jadi jalur yang aman tidak terlihat karena gelap.
            Jum’at, 1 Agustus 2014, masih dalam suasana libur lebaran ini, aku berkesempatan untuk mendaki Gn. Merapi lagi, menepati janjiku pada Merapi. Saat itu aku hanya mengajak adik kandungku saja, yang telah ku racuni salah satu hobbi ku ini saat mendaki Gn. Lawu, Sidiq namanya, masih kelas 3 SMP. Setelah sholat Ashar kami berangkat dari rumah tepatnya di Sragen. Kami mampir di belakang daerah UNS Solo untuk menyewa beberapa peralatan mendaki lalu beranjak ke basecamp pendakian Gn. Merapi di Selo Kab. Boyolali. Sampai di pasar Cepogo, kami belanja logistik dan di Pasar Selo, kami sarapan kemudian sholat maghrib dijamak Isa’. Kami tiba di basecamp pukul 20.00. Disana sudah banyak pendaki yang akan melakukan pendakian. Setelah regitrasi pendakian dan berdo’a, kami mulai mendaki. Track jalanan aspal yang terjal mengawali langkah kami ke joglo yang terdapat kata NEW SELO diatasnya, mirip di Hollywood Amerika. Kami melanjutkan langkah setelah beristirahat sebentar di joglo. Ada rombongan pendaki dengan jumlah besar di belakang kami. Agar tidak tersusul dan terserang oleh debu yang beterbangan, kami melangkah lebih cepat. Ada perubahan terhadap kondisi jalur yang ku lewati ini, karena sebagian track sudah dicor semen melewati ladang pertanian. Beberapa kali kami ber pas-pasan dengan pendaki yang akan turun maupun naik, tak sungkan-sungkan kami saling menyapa. Track berubah menjadi tanah sepenuhnya menjelang gapura Taman Nasional Gunung Merapi. Tanah yang dipijak begitu licin sehingga harus berhati-hati. Terkadang kami harus berpegangan pada ranting pohon maupun rumput yang bergoyang. Sampai di gapura kami beristirahat, saling berbagi makanan dan susu dengan rombongan pendaki lain J. Kami melanjutkan langkah di track yang kondisinya tak berubah dari sebelumnya, lewatlah kami di post 1. Setelah post 1 track sudah berbatu kerikil yang cukup licin. Terus melangkah sampai post 2. Melewati celah batu tasku putus karena tak kuat menahan beban -_-. Yeah, sudah kuprediksi sehingga aku mengaitkannya menggunakan tali raffia :p. Kemudian tas Sidiq jugaputus, ku perbaiki serupa dengan tasku :/. Kami terus melangkah dan melewati tenda pendaki yang menghalangi jalur. Ada juga pendaki tanpa tenda, tidur di luar hanya menggunakan SB maupun sarung. Track berubah terjal berbatu sepenuhnya hingga sebentar saja kami sampai di Pasar Bubrah tepat pukul 00.00, terdapat banyak tenda pendaki berdiri disana. Kami mencari lokasi strategis untuk mendirikan tenda. Kami mendirikan tenda dibalik batu besar, menghalangi kami dari terjangan angin di dinginnya malam itu. Setelah tenda berdiri, kami memasak mie dan kopi di bawah langit berbintang di tengah malam yang cerah. Terkadang ada bintang jatuh yang jarang sekali kulihat saat berada di kehidupan kota. Malam sudah suntuk, kami sudah kenyang dan kemudian kami tidur dalam tenda.
            Sabtu, 2 Agustus 2014, pukul 05.00 kami sudah bangun. Keadaan di pasar bubrah begitu ramai dengan pendaki tek-tok yang memburu sunrise di puncak Merapi. Setelah menghangatkan badan dengan kopi, kami menuju bukit watu gajah untuk menikmati sunrise. Di watu gajah kami tak hanya berdua, ada beberapa pendaki juga namun tak seramai di puncak. Menggigil tubuhku ini ditabrak angin pagi hingga matahari muncul disamping Gn. Lawu. Kemunculannya menjadi primadona saat itu, menghangatkan tubuh yang sudah tak tahan oleh dingin. Cahaya sunrise memerahkan puncak Gn. Merapi. Yeah, serasa berada di planet mars, barangkali hahaha. Di sebelah utara terdapat Gn. Merbabu yang puncaknya terlihat hijau. Di kejauhan Gn. Sindoro dan Sumbing terlihat berdampingan dan terlihat biru. Setelah puas menikmati dan mengabadikan momen sunrise, kami kembali menuju tenda dan bersiap melakukan summit ke puncak. Barang-barang kami bawa seperlunya saja agar tidak memberatkan. Track terjal pasar bubrah-puncak begitu menyulitkan langkah kami, dari pasir yang membuat langkah maju menjadi mundur, batuan yang rapuh ketika diinjak dan batuan lepas yang siap menghujani kami. Ramai sekali suasana di puncak. Ada yang naik dan ada juga yang turun. Aku dan Sidiq sampai di puncak pada pukul 08.00. tepat 1 jam dari pasar bubrah. Namun cuaca begitu ambigu. Terkadang cerah kemudian berkabut. Disaat cerah terlihatlah kawah Merapi yang mengerikan, menganga dan terbuka jalur laharnya ke arah selatan atau Jogja. Tertampang jelas bentukan kubah lava yang siap meletus, barangkali. Tebing-tebing yang mengitari kawah begitu eksotis dengan munculnya asap belerang yang begitu menyengat. Kabut mulai menutupi pemandangan, sangat gelap, dan serasa berada di dimensi lain atau dunia lain. Sangat lama kami berada di negeri kalang kabut tersebut dan kami tak mau ambil resiko untuk turun. Sekitar pukul 10.00 kabut mulai hilang. Setelah mengabadikan momen dan view di puncak, kami beriringan bagai semut turun ke pasar bubrah karena sangat ramai. Debu-debu pun beterbangan mengganggu pernafasan, masker penuh debu dan mata pun pedih. Perjalanan turun sangat mudah dibandingkan naik ke puncak. Dengan cepat kami sampai pasar bubrah dengan cara berlari maupun perosotan di track pasirnya. Sampai di tenda kami istirahat sambil menikmati keramaian pasar bubrah atau curi-curi pandang dengan pendaki wanita :D.
            Pukul 11.00 berbagai perlengkapan sudah dipacking, kami pun bersiap turun gunung. Sesampainya di monumen pendaki yang pernah tewas di area pasar bubrah, kami berhenti sejenak. Di monumen tersebut ada kepala kerbau yang entah fungsinya untuk apa? Mungkin untuk sesajen atau apalah aku tak mau tahu. Dengan jahil kami memegang dan menjadikannya objek untuk berfoto bersama hahaha. Karena tingkah kami itulah kami sempat berkenalan dengan bang kribo, pendaki asal bogor *kalo nggak salah hahaha. Di dekat monumen tersebut ada plang larangan mendaki sampai puncak karena sangat berbahaya dan disarankan untuk mendaki sampai pasar bubrah saja. Iya-iya, kami sadar telah bermain-main dengan bahaya -_-. Tetapi disitulah sensasi mendaki Gn. Merapi berada. Jadi, jangan nekat ke puncak kalau tidak mau mengambil resiko J. Kami turun gunung dengan cara berlari karena dengkul kami masih muda hahaha. Namun kami juga istirahat sebentar di post 2, post 1 dan gapura TNGM. Pukul 13.00 kami sampai di Joglo, begitu cepat bukan? Sebelum sampai Joglo, kami tak hanya bertemu dengan pendaki yang turun atau naik. Kami juga bertemu dengan pengunjung atau orang pacaran yang mungkin mesum di sepanjang jalur. Huft, kurang kerjaan saja mereka. Apa tidak ada tempat yang layak untuk berbuat mesum? Mungkin aku hanya iri saja, hahaha gomenasaii. Di Joglo kami istirahat dan makan pecel dengan susu putih yang hangat sebagai minumannya. Setelah tenaga pulih kami turun ke basecamp. Di jalanan beraspal ini ada mobil yang mogok tak kuat menanjak menuju Joglo. Yeah, aku, Sidiq, dan beberapa pendaki lain mendorongnya hingga mobil itu dapat jalan lagi. Setelah sampai basecamp, kami mengambil motor kemudian pulang ke Sragen. Namun kami harus mengembalikan peralatan yang kami sewa. Sesampainya di Grompol, kami jajan es kelapa bakar. Yeah, sangat segar sekali rasanya *_*. Kemudian kami beranjak pulang dan sampai rumah dengan selamat. Dengan petualanganku kali ini bersama adik kandungku, Sidiq, aku telah menepati janjiku pada Merapi, Yeah, kami kakak-adik yang keren dan tangguh J.

Salam Jun_krikers

Kamis, 04 Desember 2014

Menggapai Double S #2

menggapai Double s #2



            Senin 21 Juli 2014, aku dan adi berhasil melakukan misi pendakian Gn. Sindoro. Mendungnya cuaca siang hari mengkatalisasi kami untuk beristirahat di basecamp Gn. Sumbing, tepatnya di desa Garung. Yeah, tinggal 1 gunung lagi kami akan tuntas melakukan misi double S dan ini merupakan pendakian ke-2 ku ke Gn. Sumbing setelah sebelumnya gagal sampai puncak karena badai petir hebat. Pada saat sore hari aku pergi ke pasar *bukan sarimin. Membeli logistik berupa mie instan, kopi, air botol mineral, cemilan, obat, rokok dan bahan bakar spirtus. Setelah terbeli semuanya, hujan deras melanda. Aku pun terpaksa mandi hujan karena belum mandi. Sungguh pengertian sekali wahai kau langit :*. Ku ganti pakaianku yang basah sesampainya di basecamp agar tidak masuk angin dan kedinginan. Derasnya hujan dan angin kencang membuat gaduh suasana di dalam basecamp yang sepi karena tak ada pendaki lain selain aku dan adi. Mungkin Gn. Sumbing ini akan milik kami berdua :D. Di tengah guyuran hujan terdengar suara motor yang baru saja diparkirkan. Sesosok 2 insan berlawanan jenis masuk dalam basecamp, katanya sih berasal dari Temanggung. Yeah, mereka adalah pendaki couple yang menurutku penampilannya keren. Beda sekali dengan kami yang terkesan serampangan, ugal-ugalan dan begajulan sehingga mereka agak menjaga jarak dengan kami, barangkali hahaha. Kami masih menunggu hujan yang belum berhenti. Jika terlalu lama, kami akan melanjutkan pendakian besok pagi saja sambil memulihkan tenaga kami yang sudah terkuras habis. Selepas maghrib datang rombongan 10 orang pendaki asal Jogja. Beberapa diantara mereka adalah pendatang dari tanah batak sehingga suasana basecamp sangat gaduh dengan canda tawa mereka yang khas. Aku dan adi pun berbaur dengan mereka yang kocak dan gokil atas perbullyan anak haram, anak murtad, dll *bully yang kejam -_-. Aku berkenalan dengan mereka namun seperti biasa aku tak bisa menghafalnya satu-persatu hahaha. Saat ini yang masih ku ingat namanya adalah bang syawal dan bang teguh. Itu pun karena sempat tukeran pin BBnya *cie. Tapi mereka begitu baik karena membagi sarapannya padaku dan adi meskipun kami sudah kenyang. Terima kasih ya bro ^_^.
            Pukul 20.00 hujan masih deras mengguyur, tetapi pendaki couple itu nekat melakukan pendakian. Yeah, romantis sekali ya? Mendaki gunung berdua di tengah guyuran hujan saat malam, menempuh jalan penderitaan untuk kebahagiaan bersama. Kapan aku bisa kayak gitu (:o) ? Eleh ngemeng epeh hahaha. Pukul 23.30 hujan sudah reda meski rintik gerimisnya halus. Rombangan Jogja pamit kepada kami untuk melakukan pendakian. Sedangkan hawa dingin, lelah, ngantuk dan hilangnya efek kopi membuat aku dan adi merasa ambigu untuk mendaki. Tetapi setelah 30 menit di ambang keambiguan akhirnya diputuskan untuk mendaki. Tepat pergantian hari, kami mulai melangkah setelah registrasi pada tuhan dan iuran di basecamp. Kami akan memilih jalur lama karena lebih aman daripada jalur baru. Diawali jalanan beraspal yang hanya mengantar kami sampai awal desa hingga berubah menjadi track makadam menyakitkan hingga post 1. Berjalan dengan santai di tengah malam melewati desa. Di akhir desa ini kami melewati makam. Yeah agak merinding memang. Kami terus melangkah dengan irama nafas yang pas. Kami tak terlalu memporsir tenaga karena waktu masih panjang dan kelelahan fisik dari Gn. Sindoro. Terjalnya track makadam di tengah ladang tembakau ini membuat kami harus sering istirahat. Beberapa kali kami saling sapa dengan pendaki yang baru turun. Salah satunya adalah bang teguh. Dia pamit duluan karena merasakan sakit. Cukup disayangkan karena ini adalah pertemuan terakhir dengannya. Kami tak bisa saling berbagi dan bercengkrama di atas. Tak apalah suatu saat nanti mungkin kita bisa mendaki bareng J. Terdengaruh suasana riuh yang tak jauh dari kami, lampu headlamp saling member signal. Yeah, mereka pasti kawan-kawan dari Jogja. Kami bertemu dengan mereka di km II dan melanjutkan pendakian bersama-sama. Saat mereka berhenti kami mendahuluinya dan disaat kami berhenti mereka mendahului kami dengan saling memberikan kata-kata penyemangat. Yeah, kata-kata semangat dari orang lain memang lebih kental terasa kekuatannya saat mendaki gunung dibandingkan saat kita berada di kehidupan nyata masing-masing. Sebuah perhatian dan pengakuan diberikan pada orang yang baru ditemui, baru dikenal, yang intinya serba baru. Yeah, inilah sebuah pembaruan mental. Andai saja ini ada di kehidupan nyata. Tak terasa kami semua sampai di post 1/malim pukul 01.30, bangunan shelter yang berada di batas ladang tembakau dan hutan Gn. Sumbing atau km III. Kami beritirahat disini. Kawan dari Jogja kembali melangkah. Aku dan adi berjanji akan bertemu lagi dan ngecamp di post 2. Aku dan adi masak seperti biasa *mie n kopi :D. Kami selesai makan namun karena sudah PW dan malas melangkah karena capek, akhirnya kami membongkar carrier dan mendirikan tenda. Sorry kawan dari Jogja, semoga bisa bertemu esok hari di atas sana. Kami harus full istirahat. Mencharger tenaga kami supaya tidak goyah untuk melangkah di esok hari yang lebih berat tentunya J.
            Selasa, 22 Juli 2014, pukul 11.00 aku terbangun dari hibernasi panjang karena mimpi buruk. Entah, setan alas apa yang menggangguku? Aku bermimpi pacarku sedang berciuman dengan orang lain. Huft, mungkin itulah pertanda bahwa aku harus pisah dengannya. Apalagi suasana gerimis mengiringiku bangun dari mimpi buruk itu, barangkali hujan di hatiku -_-. Kemudian aku masak mie n kopi (lagi) saja biar nggak galau *laper. Ku bangunkan adi agar ikut membantu. Pukul 12.00, kami sudah selesai makan dan mempacking peralatan. Tak lama kemudian dating 2 orang pendaki asal Semarang dan Jogja. Mereka baru saja turun dari puncak. Salah satu dari mereka membawa bunga edelweiss. Shit! Sungguh keji sekali tindakannya. Sindiran-sindiran halus sedikit mewarnai perbincangan aku, adi dan mereka. Pukul 13.00 mereka turun ke basecamp diantar ojek yang menghampirinya di post 1 ini. Kami berpamitan dan langsung tancap mendaki lagi karena gerimis sudah reda.
            Kami melangkah menyusuri terjalnya setapak tanah licin di tengah hutan. Ada beberapa percabangan, namun atas dasar pengalamanku, setiap cabang akan bertemu di titik yang sama. Kami dikagetkan oleh langkah kaki di belakang. Yeah, ternyata ada bapak-bapak mencari rumput di hutan. Langkahnya begitu cepat dengan golok di tangan kanannya sehingga aku sedikit suudzon padanya jika dia akan merampok kami hahaha. Namun hal itu tidak terjadi, dia benar-benar mencari rumput untuk pakan ternaknya. Kami terus melangkah sampai di post 2/genus, ternyata kawan dari jogja sudah lebih dahulu menuju puncak. Kami pun lebih bersemangat untuk menyusulnya. Tanjakan-tanjakan terjal nan licin tak menyurutkan semangat kami hingga akhirnya bertemu dengan 4 orang kawan dari Jogja di post 3/sedlupak roto. 5 orang dari mereka sudah melangkah lebih maju, sedikit terlihat berada di area pasar watu. Kami beristirahat di post 3, menikmati view yang terbuka karena sedari tadi tertutup kabut. Lereng, lembah, sungai, bukit, dan puncak Gn. Sumbing terlihat jelas dan indah. Di sebelah utara sebuah tumpeng raksasa menampakkan dirinya, yeah itulah Gn. Sindoro yang telah kami daki kemarin. Kami melangkah kembali melewati track terjal berpasir ala pasar setan di tengah teriknya mentari sore. Track Gn. Sumbing yang terkenal paling berat se-Jawa Tengah membuat kami kepayahan dan kehausan. Namun kami harus irit-irit persediaan air minum agar tidak kehabisan karena di jalur Gn. Sumbing ini tidak ada sumber air lain selain di sungai dekat post 2 jika lewat jalur baru. Apalagi saat melewati terjalnya area pasar watu, membuat langkah kami sangat pelan dan banyak istirahat.
            Cuaca kini berubah menjadi mendung, pertanda hujan akan turun. Atas izin kawan dari Jogja, aku dan adi melangkah lebih cepat meninggalkan mereka agar tidak kehujanan. Dan benar saja sesampainya di pertigaan pasar watu-watu kotak, gerimis tiba. Setelah melipir ke kiri dari pertigaan itu, kami berlindung di goa kecil bawah tebing yang berada di kanan jalur pendakian, berteduh dari hujan yang semakin deras. Sekitar pukul 17.15, hujan pun hanya rintik kecil saja. Kami mulai lapar sehingga ngemie dan kopi (lagi) wajib dilakukan. Disaat menikmati hidangan yang kami buat, melintaslah kawan dari jogja. Mereka kehujanan dan kedinginan. Ku tawari mie dan kopi, namun ditolaknya secara halus dengan alasan agar tidak kemalaman menyusul teman mereka yang ngecamp di watu kotak. Yeah okelah kalau begitu.
            Hembusan asap rokok mengiringi selesainya ngemie, dibalut kopi yang masih mendidih dan keindahan sunset yang nampak jelas karena goa menghadap arah barat laut yang cerah, hingga sang surya bersembunyi di balik karpet awan yang awalnya putih-membiru-mengabu-abu, kemudian menghitam.   Hujan sudah reda sepenuhnya. Kami masih menunggu adzan maghrib yang masih ditelinga sampai tak terdengar lagi. Kami sudah packing peralatan, headlamp sudah dinyalakan, adzan maghrib sudak tak terdengar rimanya. Kami siap melangkah ke watu kotak untuk mendirikan tenda disana. Kami keluar dari goa saat hari mulai hitam. Yeah, seperti kelelawar saja hahaha. Kami melangkah di jalur yang berbatu dan harus berhati-hati karena terjal dan licin. Kemudian kami mentok di sebuah tebing yang membuat jalur terasa ambigu. Atas pengalamanku sebelumnya mendaki Gn. Sumbing, kami memang harus memanjat tebing yang tidak begitu tinggi *saat itu dilakukan siang hari. Yeah faktor gelap membuat keambiguan menjadi hal yang sangat serius. Setelah aku berhasil sampai di atas tebing tersebut, aku tak melihat adanya jalur pendakian. Segera aku memberitahu adi yang baru setengah memanjat tebing untuk turun. Setelah kami turun dari tebing itu, kami pun diam berpositif thinking mencari jalur pemanjatan yang benar dan diiringi dengan do’a akhirnya kami menemukannya. Kami harus memajat tebing vertikal dan licin karena merupakan jalur air. Alhamdulillah kami selamat. Kami tinggal mengikuti jalur saja sampai watu kotak. Yeah, sangat disarankan jika melewati jalur ini untuk menuju watu kotak disaat hari belum gelap. Faktor gelap akan merusak konsentrasi orientasi medan sehingga membuatnya terasa ambigu. Apalagi di bawah tebing ini atau titik buntu jalur sebelum memanjat tebing ini, jurang sudang menganga. Kami sampai di watu kotak pukul 19.00, bertemu dengan kawan-kawan dari Jogja dengan 2 tendanya yang sudah berdiri. Setelah tenda kami berdiri, kami langsung membuat kopi di dalam tenda karena di luar terasa dingin sekali. Angin berhembus membawa hawa dingin ditambah  dinginnya tebing watu kotak yang telah diguyur hujan tadi sore membuat malam begitu menampakan jati dirinya. Namun tak membuat kami dan kawan dari Jogja untuk berdiam diri saja, melainkan saling bercengkrama meski di dalam tenda masing-masing. Terkadang keluar untuk bertukar makanan, kopi, rokok ataupun kencing berjama’ah :D. Hingga masing-masing dari kami terlelap ditelan dinginnya malam. kami janjian akan melakukan summit pukul 04.00 esok hari menyaksikan sunrise bersama-sama.
            Rabu, 23 Juli 2014, pukul 04.00, kawan dari Jogja sudah ramai membangunkan aku dan adi untuk summit bersama. Dikarenakan kami belum merasa PW, kami mempersilahkan mereka untuk summit lebih dahulu dan janjian ketemu di puncak. Setelah aku dan adi sudah PW, kami melakukan perjalanan summit. Sekitar pukul 05.30 kami melangkah. Dinginnya pagi kala itu membuat kadar oksigen terasa tipis sehingga nafas pun tersengal-sengal untuk melangkahi batu demi batu yang terjal. Merdunya kicauan burung di pagi hari pun lebih ramai daripada kicauan di twitter. Bunga-bunga edelweiss yang mekar terhampar luas menjelang puncak dan diselingi cantigi yang cantik dengan daun mudanya berwarna merah di pucuk bagai perawan. Langit pagi pun terasa romantis dengan warna pinknya disela biru langit. Di sebelah utara, Gn. Sindoro pun tak lupa menyapa kami dengan lembut. Tak terasa matahari mulai menghangati puncak Sumbing. Kami pun baru sampai di Tanah Putih, khas dengan cadasnya yang memutih. Perlahan demi perlahan kami sampai di pertigaan puncak kawah-puncak buntu. Beristirahat sejenak, minum dan mengabadikan momen. Langit pagi begitu cerah, matahari sudah meninggi dan rupanya kami tertinggal momen sunrise. Tapi tak apa. Bukan sunrise yang kami cari. Tetapi sebuah kenikmatan yang tak dapat didustakan dari indahnya persahabatan dengan alam. Yeah, kami melakukan back to nature disaat kepenatan pada kehidupan kota telah menjadi rutinitas yang sebenarnya formalitas. Kami sampai puncak kawah pada pukul 06.30, disambut hangatnya persaudaraan kawan dari Jogja, yeah bang syawal cs. Mereka mengajak kami berfoto bersama, mengabadikan momen dan keindahan view yang terlihat di puncak kawah. Akhirnya rasa pensaranku terhadap puncak Sumbing terobati. Dibawah terdapat segara wedi, kawah Sumbing yang mengepul mengeluarkan asap belerangnya, sabana yang menghijaukan se-putaran kawah serta edelweiss yang menambah cantik tebing-tebing puncak Gn. Sumbing ini. Tak terasa kami berada di Puncak sampai matahari terik. Bang syawal cs pamit turun dahulu, sedangkan aku dan adi masih ingin mandi sinar matahari. Pukul 08.00 aku dan adi turun dari puncak kawah. Kami juga menyambangi puncak buntu karena  penasaran dengan apa yang ada disana. Setelah puas menikamti sensasi 2 puncak Gn. Sumbing ini, kami pun turun ke watu kotak untuk siap-siap berkemas.
            Bekal air minum kami sudah sangat menipis. Hanya untuk 6 teguk dibagi 2 orang, dengan persetujuan akan kami minum jika sampai post 1. Maka kami harus melakukan survival untuk bertahan hidup sebelum sampai post 1. Mungkin ini kesalahan kami karena terlalu boros atau tak membawa lebih air minum -_-. Hal ini membuat kami tidak sarapan sehat, karena hanya makan mie instan yang diremuk begitu saja -_-. Setelah packing barang di watu kotak, kami pun turun gunung dengan cepat karena kegilaan kami yang butuh air kehidupan ditambah teriknya matahari kala itu. Sesampai di pasar watu, terdapat genangan air di atas batu. Tertolonglah kami meskipun hanya sesaat. Kami minum air tersebut bagai binatang -_-. Terkadang aku mengunyah pucuk merah daun cantigi untuk mendapat serat air agar tidak dehidrasi parah. Di pertengahan pasar watu-pasar setan kabut begitu tebal muncul tiba-tiba. Bahkan penglihatan berkisar 5m saja. Adi berada jauh di belakangku sehingga aku menunggunya berlari menghampiriku. Jalur turunan berpasir, terjal ala pasar setan sangat berbahaya dilalui jika kabut tebal seperti ini. Yeah, kami tak mau ambil resiko terjatuh kemudian menggelinding ke bawah. Maka aku dan adi melipir ke kanan untuk menapaki rerumputan. Namun lama kelamaan kami semakin kehilangan arah. Yeah, kami tersesat atau dis-orientasi -_-. Kami pun berhenti sejenak karena khawatir jika tiba-tiba jatuh ke jurang. Maka dengan hati-hati kami mencari jalur yang benar dan syukurlah kami menemukannya. Kami berjalan sebentar kemudian sampai di post 3/sedlupak roto. Disini banyak sampah botol berserakan. Kami pun memungutinya dan mencari air tersisa. Kabut sangat pekat membuat kami tak melanjutkan langkah untuk turun karena khawatir tersesat lagi. Aktivitas kami pada saat itu hanyalah menjilati rumput yang berembun -_-. Yeah, hal ini cukup mengusir kami dari rasa haus. Tidak ada orang yang bisa menolong kami lagi karena bang syawal cs mungkin sudah berada di bawah L.
            Cukup lama kami berdiam diri namun secercah harapan kami dapatkan untuk keluar dari kabut tebal ini :D. Yeah, kami dapat melihat bayangan pohon besar sebagai tanda dekat jalur menuju hutan *aku lupa nama pohon itu. Kami melangkah menuju pohon itu berada. Pohon yang begitu besar di area post 3/sedlupak roto ini menyelamatkan kami. Semoga pohon itu tetap tumbuh lestari disana. Jalur untuk turun sudah terlihat meskipun di tengah gelapnya kabut. Kami bergegas untuk turun dengan track begitu terjal dan licin. Tak jarang kami perosotan dan jatuh terpeleset :D. Akhirnya sampai di setapak taha diatas pos 2/genus. Disini kami bertemu dengan seorang pendaki single fighter, namanya om jalil. Tanpa basa-basi aku dan adi minta minum padanya. Bahkan kami dikasih roti dan rokok lintingannya. Yeah, om jalil bagaikan malaikat penolong kami di Gn. Sumbing saat itu :D. Kemudian om jalil kembali melanjutkan perjalanan sendiri menuju puncak karena menurut estimasi waktuku dia akan kemalaman sampai waktu kotak jika masih cuap-cuap bersama kami hehe. Tak lupa aku dan adi berterima kasih padanya. Kami juga saling  bertukar nomor HP *cie. Kami terus melangkah turun dengan cepat di jalur yang licin ini melewati post 2 hingga sampai di post 1. Kami beristirahat di post 1 dan atas kesepakatan 2 lelaki hebat, dibukalah botol minuman yang tersisa 6 tegukan saja *chears.
           Hujan mulai membasahi bumi. Kami sudah malas melangkah lagi untuk sampai basecamp. Bayangkan saja kami mendaki 2 gunung yang terkenal memiliki medan tersulit di Jawa Tengah dalam 1 waktu sekaligus. Hal ini membuat kami benar-benar gempor, pegal, capek dan rindu makan nasi yang sebenarnya. Maka kami memesan ojek untuk turun ke basecamp. Raungan mesin 2tack membelah perbukitan ladang tembakau di kala hujan. Ojek yang kami pesan sampai. Ojek pun membawa kami dari post 1 ke basecamp di tengah hujan deras. Akan tetapi aku mampir warung untuk beli rokok, kemudian ke basecamp. Yeah, misi mencari berkah sejatinya diubah menjadi misi double S itu tercapai. Aku berduet dengan adi, ini merupakan duet lelaki tangguh, percayalah *_*. Kami pun beristirahat di basecamp menanti hujan reda. Setelah reda kami packing, lalu makan di warung, kemudian pulang. Adi ku antarkan sampai terminal Bawen. Adi sudah masuk dalam bus, dia akan pulang ke Solo. Sedangkan aku pulang ke Semarang. Yeah suatu saat kita akan berduet lagi.

Salam jun_krikers

Selasa, 02 Desember 2014

BALADA : CURHAT PADA IBU DI SURGA

balada : curhat pada ibu di surga

Ibu
Apakah kamu bahagia di surga?
Aku tak lupa selalu mendo’a kan mu
Yeah
Aku begitu rapuh setelah kau tinggalkan
Aku hanya mencoba untuk menjadi lebih kuat
Saat ku memijakkan kaki di tanah yang tinggi
Semua terlihat sangat kecil
Dan membuatku menjadi angkuh
Aku meremehkan semua yang kulihat
Dengan mata ataupun hati
Dalam bentuk apatisme
Setelah semuanya pergi meninggalkanku
Kebencian menghitamkan hati
Mendoktrin diriku sendiri
Bahwa kebencian ini akan membuatku semakin kuat
Jalan ku menjadi gelap
Aku tak punya sahabat tuk berbagi kisah
Karena mereka datang dan pergi
Terkadang mengkhianati
Aku juga tak punya cinta tuk berbagi kasih
Karena mereka selalu mengecewakan
Yeah
Ditolak, dicampakan, ditikung, ditinggalkan
Terasa begitu menyakitkan buatku yang masih rapuh
Mungkin jika tidak ada cinta, kasih, atau sayang
Aku tak harus sakit hati
Sehingga mendoktrinkan diriku lagi
Bahwa aku tak butuh cinta
Hari-hariku menjadi semakin gelap dan sepi
Aku sering mengurung diri dari dunia luar
Apatisme yang terlalu kronis
Bahkan tetanggaku sendiri tak tahu siapa diriku
Aku seperti orang asing saja
Lebih tepatnya orang yang tidak diakui
Ah sudahlah
Akhiri saja semua sandiwara busuk ini
Ku harap mereka mengerti
Bahwa aku butuh pengakuan seperti yang lainnya
Ibu
Sejatinya kaulah bidadari penyelamatku
Namun kau telah tiada
Meski sekarang kau sudah digantikan
Aku masih belum bisa menerimanya dengan ikhlas
Mengharap kepada cinta juga terasa percuma
Karena mata hatiku sudah mati
Biarlah kujalani hidupku yang rapuh ini sendiri
Sampai ada seorang sahabat atau cinta yang mengerti
Yeah  
Aku tak pantas untuk berharap
Karena semua orang selalu berpikir rasional
Melihat luarnya tanpa dalamnya
Mungkin sebagian tulang rusukku telah hilang
Namun sudah dipersiapkan saat di surga nanti
Apakah ini yang kau harapkan, ibu?

Ku harap tidak

DOUBLE S #1

Double s #1



            Yeah. Sudah lama aku tak menulis dikarenakan kesibukanku mengerjakan proposal usulan penelitian skripsi. Banyak sekali dongeng yang masih terpendam dalam otakku. Kini kesempatan untuk mengulas sedikit sebuah dongeng yang pernah kualami sendiri datang lagi. “DOUBLE S”, yeah begitulah. Berniat untuk mencari berkah di Puncak Gn. Sindoro pada saat malam 21 Ramadhan *seharusnya kalau cari berkah ke Puncak Gn. Sumbing. Entah, aku juga bingung apa yang dimaksud dengan berkah tersebut. Intinya aku rindu ketinggian dan mencari kesunyian :D. Yeah pasti sunyi sekali di gunung karena kebanyakan pendaki libur mendaki karena puasa hehehe. Ku goda segala cecunguk semprul yang suka mendaki gunung tapi kebanyakan dari mereka menolak dengan alasan puasa. Bahkan ada yang mengatai aku iblis, biarlah ku acungkan jari jempol pada mereka yang lolos dari godaanku hahaha. Semakin ditolak aku pun tak patah semangat untuk menggoda para cecunguk dan akhirnya berhasil mendapat satu. Yeah satu saja sudah lebih dari cukup buatku, Dia teman sependakianku dulu saat di Gn. Lawu, namanya Adi. Bahkan dia memproklamirkan dirinya untuk tidak puasa dan meragukan niatku untuk tetap puasa saat mendaki *ternyata tingkat keiblisannya lebih besar daripada aku. Schedule yang kuciptakan begitu keren, mendaki dari basecamp pada waktu maghrib dan tiba area camp dekat puncak pada waktu sebelum imsak. Kemudian masak, sahur, subuh, bobok sampai sore. Menjelang waktu buka puasa akan summit ke puncak dan buka puasa disana, kemudian turun ke basecamp malam hari. Yeah liat saja bagaimana nantinya, apakah aku akan tergoda?
            Sabtu 19 Juli 2014, adi berangkat dari Solo ke Semarang. Ku jemput dia setibanya di pertigaan Sukun. Dia tiba terlalu sore dengan alasan macet dan karena lapar membatalkan puasanya. Tak apalah dia kan musafir, barangkali koplak. Ku ajak dia mampir ke kostku di Tembalang untuk membawa perlengkapan yang masih kurang. Dirasa sudah siap dan packing serapi mungkin, kami berangkat ke Kledung Kab. Temanggung. Segy membawa kami menembus persaingan antara kendaraan besar dan kecil layaknya jet darat. Waktu sudah lewat magrib, kami lapar di tengah perjalanan dan kucingan pun disinggahi untuk sementara seperti suasana hati ini *eh syudah-syudah -_-. Bungkus demi bungkus nasi dibuka meski sebungkus hanya beberapa suap namun karena murah apa boleh buat, makin banyak bungkus nasi dibuka makin kenyanglah perut. Yeah seperti itulah kira-kira. Kami lanjutkan perjalanan dengan sensasi jalanan yang berkabut, macet hingga akhirnya sampai di basecamp Gn. Sindoro jam 9 malam. Sesampainya di basecamp Sindoro, kami disambut oleh suasana yang sepi. Mungkin penjaga basecamp bersembunyi karena kami dikira rentenir yang akan menagih hutang hahaha. Di pintu basecamp tertulis untuk menghubungi sang penjaga lewat nomor HP nya. Setelah dihubungi diketahui bahwa sang penjaga sedang mengikuti pengajian di masjid. Dia menyarankan kami untuk istirahat dulu ke dalam sebuah gedung pertemuan desa Kledung yang gelap gulita. Kami masuk sambil meraba-raba dimana saklar lampu berada dan ternyata hasilnya nihil karena tak bisa nyala. Setelah memberi tahu penjaga basecamp, oke fix kami mlipir ke basecamp Gn. Sumbing yang tidak terlalu jauh jaraknya hanya untuk istirahat atau memarkirkan si Segy. Sesampainya di basecamp Sumbing ini, ya sangat sunyi senyap namun lebih terang. Istirahat sebentar. Dingin mulai menyiksa tak lantas membuatku untuk mandi karena bau apek sejak perjalanan. Adi sangat keheranan dengan tingkah laku ku ini. Yeah hitung-hitung ini kan proses aklimatisasi :p. Segar sekali rasanya seusai mandi membuat rasa kantuk ku hilang sirna. Tak berapa lama penjaga basecamp Sumbing datang, kami mengandangkan Segy di dalam, lalu meminta ijin untuk melakukan pendakian Gn. Sindoro dan mungkin setelahnya akan mendaki Gn. Sumbing juga *double S. Pukul 11 malam kami mulai melangkah dari basecamp Sumbing menuju basecamp Sindoro. Di basecamp Sindoro kami disambut oleh penjaganya. Hembusan asap rokok mengawali perbincangan kami dengannya. Ini pendakianku pertama ke Gn. Sindoro. Lantas mencari info pada penjaga basecamp tentang track jalur pendakian, camping ground dan estimasi waktu ke puncak sangatlah penting.
            Minggu pukul 00.00 kami mulai mendaki. Kami diantar oleh penjaga basecamp sampai batas desa. Kami akan melapor pada mereka saat turun nanti. Track makadam mengawali langkah kami melewati ladang tembakau warga desa. Berjalan dengan santai di bawah langit Sindoro yang tampak murung. Yeah, sepertinya di atas Gn. Sindoro sedang hujan. Berbanding terbalik saat menoleh ke belakang. Siluet hitam Gn. Sumbing terlihat jelas dan lampu kota pun masih tampak berkilau. Namun tak ayal kabut terkadang menutupi pemandangan itu. 1,5 jam tepat kami sampai di pos 1, batas ladang tembakau dengan rimbun hutan Gn. Sindoro. Disini terdapat shelter yang biasa digunakan untuk mangkal oleh para tukang ojek pengangkut pendaki Gn. Sindoro yang kelelahan. Dari info yang kudapat, jika mau ngojek harus membayar fee sebesar Rp. 15.000. Di post 1 ini kami beristirahat dan masak mie instan beserta minuman penghangat alias kopi. Setelah selesai, kami lanjutkan pendakian ini melewati gelapnya rimbun hutan dengan cahaya headlamp sebagai penerangan. Track berupa tanah dan berkikil namun cukup merepotkan karena terasa licin. Rintik gerimis kabut mulai menyentuh indera peraba namun kami masih terus melangkah. Entah, aku merasa ada yang tidak beres. Sering kali kami melewati beberapa pecabangan jalur yang membuatnya ambigu. Namun atas saran penjaga basecamp tadi ambil saja yang kanan jika ada percabangan jalur. Kami terlepas dari keambiguan itu setelah melihat ada 2 tenda pendaki yang berdiri di tanah sedikit lapang dalam hutan ini. Dengkuran tidur pendaki dalam tenda membelah suasana kami beristirahat di dekat tenda tersebut. Gerimis kabut mulai lebat dan sepertinya hujan akan turun. Kami harus melanjutkan perjalanan ke atas. Setidaknya sampai pos 2 atau jika benar-benar hujan, kami harus mendirikan tenda di tempat yang cukup datar.
            Di tengah perjalanan, aku merasa banyak hal yang tidak beres dengan hutan ini. Hutan terasa sangat panjang dan banyak percabangan. Aku sedari tadi merinding sangat dan mendengar banyak suara aneh di depan. Adi menyarankan untuk mendirikan tenda setelah mendapat tempat yang datar. Yeah, adi merasakan hal yang sama dengan ku -_- . Saat mendirikan tenda, suara-suara aneh itu kian mendekat dan dekat sekali. Kami saling mengobrol dengan volume tinggi saja seolah-olah tak terjadi apa-apa namun masing-masing dari kami berwajah pucat. Tenda sudah berdiri, kami langsung masuk dalam tenda bersama peralatan di dalamnya. Diam sesaat, kemudian ngakak bersama-sama hahaha. Tak dipungkiri ternyata kami takut akan hal itu hohoho -_-. Yeah hawa negative itu terlalu besar kuterima. Mungkin jika dipaksakan melangkah ke atas lagi aku akan berontak. Ah sudahlah yang penting saat itu bisa beristirahat bobok karena sudah letih, lemah, lesu. Aku hanya bisa bobok ayam. Tak terasa sudah imsak dan adzan subuh masih di telinga. Sebelumnya aku juga merasa seperti ada langkah kaki yang berjalan dan tenda di goyang-goyang padahal tidak ada angin. Sebuah pisau sudah di tangan mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan. Saat itu adi sudah bobok dengan pulasnya. Yeah, di Gn. Sindoro ini memang terkenal rawan maling :/ . Setelah merasa aman aku bobok lagi dengan pulasnya diiringi gerimis menerpa tenda kami. 
            Minggu 20 Juli 2014, pukul 07.00, pagi itu aku terbangun. Ku tengok keluar, ternyata di luar berselimutkan kabut pekat. Aku bobok lagi dan bangun pukul 08.00, kemudian masak mie instan dan kopi (lagi). Aku kalah dari godaan iblis, aku nggak puasa -_-. Ah sudahlah nanti akan ku bayar hutangku. Pukul 09.00 kami selesai packing. Siap melanjutkan perjalanan menuju puncak. Kami ber pas-pas an dengan dua orang penebang kayu. Kami saling menyapa namun terasa miris melihat tingkah penebang kayu itu. Beberapa potongan kayu telah digotongnya. Padahal hutan Gn. Sindoro sudah semakin kritis karena terbakar atau dipakai lahan pertanian. Yeah, menegurnya pun ku rasa hanya sia-sia saja karena akan sok menggurui mereka. Biarlah alam saja yang akan menggurui mereka dengan bencana yang ditimbulkan. Tempo langkah kaki berirama dengan hembusan nafas supaya tidak terlalu lelah. Sesaat kami ber pas-pasan dengan rombongan pendaki asal Jogja. Ritual perbincangan saling bertanya ini sangat lumrah dilakukan jika bertemu sesama pendaki. Mereka sudah sampai puncak saat subuh, berangkat sejak kemarin maghrib tanpa ngecamp. Setelah tak ada lagi yang bisa diperbincangkan, kami melanjutkan perjalanan lagi. Kini track menurun cukup tajam, melewati beberapa jembatan kayu, menaiki bukit, kemudian menurun dan menaiki bukit yang cukup terjal hingga akhirnya sampai di post 2.
            Di post 2 kami istirahat, minum dan smoking. Satu batang telah habis, lanjut jalan lagi. Sesaat kami dikagetkan oleh suara babi hutan. Cukup was-was jika tiba-tiba babi hutan menyeruduk kami namun hal itu tidak terjadi. Beberapa rintangan batang pohon tumbang melintangi jalur. Kami harus melangkahinya, merunduk, merangkak. Sangat merepotkan jika menggunakan carrier yang besar atau tinggi. Jalur berubah terjal dengan tracknya berbatu yang licin sehabis hujan. Sampai di batu besar kami berhenti cukup lama karena merebus telur untuk menambah stamina. Yeah pendakian Gn. Sindoro cukup berat jika kondisi tidak sedang fit, apalagi jarang berolahraga pada saat bulan puasa. Kembali menapaki jalur batu-batu yang terjal di tengah hutan. Tak ayal membuat hidung terasa mencium dengkul sendiri *lebay.
            Sampai di post 3 dengan beberapa spot tanah datar untuk camping ground, kami berhenti lama. Kami bertemu dengan rombongan pendaki asal Temanggung yang baru turun dari puncak. Mereka dengan akrabnya menyalami kami seperti sedang lebaran hahaha. Setelah mereka minggat, kami menyembunyikan tenda, carrier dan perlengkapan lain yang tidak begitu dibutuhkan di semak-semak sekitar agar perjalanan summit tidak memberatkan. Perjalanan summit cukup berat karena terik matahari terasa di ubun kepala. Track masih berbatu nan terjal di tempat yang terbuka karena jarang terdapat pepohonan. Kami berjalan sangat santai dan goyah. Sering kali berhenti lama di bawah pohon lamtoro gunung bahkan kawanku ini sering bobok. Mungkin dia lelah. Yeah, akan terlalu capek jika terlalu lama berhenti. Aku cukup kesal dan tidak sabar menunggunya tapi kebersamaan lebih penting bagiku. Disaat istirahat inilah kami melihat pemandangan yang terhampar luas. Gunung-gunung di jawa tengah terlihat megah menjulang mencakar langit. Gn. Sumbing di selatan kami terlihat menujukkan puncaknya bagai bibir yang sumbing.
            Kami sampai di post 4 atau watu tatah. Di kawasan watu tatah terdapat batu-batu yang tampak indah di pinggiran jurang. Track jalur berubah berupa tanah namun licin dan cukup terjal di tengah luasnya sabana. Puncak Gn. Sindoro sudah terlihat. Gumpalan awan hitam mulai menghiasi langit. Angin juga bertiup kencang. Pertanda hujan akan segera turun dimana tenda kami ditinggal di post 3. Kondisi yang meragukan untuk bisa sampai puncak.
            Kami terus melangkah hingga akhirnya sampai 50 meter sebelum kawah pada pukul 14.30. Aroma belerang kuat yang berasal dari kawah sangat menyengat karena angin menuju ke arah kami. tak ayal membuat kami terbatuk dan pusing meski menggunakan masker. Sedangkan gumpalan awan hitam begitu mengerikan karena sempat mengeluarkan kilatnya L. Kabut tebal mulai menghiasi pemandangan. Cukup was-was jika tiba-tiba terjadi badai. Akhirnya kami sepakat untuk turun ke post 3. Yeah, tak apa kawan. Di sini, di tempat ini, di titik ini adalah kawasan puncak dan merupakan tempat saksi bisu perjuangan kami mencari berkah di bulan ramadhan :p. Mungkin suatu saat bisa melihat keindahan kawah Gn. Sindoro.
            Kami turun dengan cara berlari. Karena tak hati-hati, adi terlepeset terjatuh jungkir balik hingga salto dan akhirnya bangkit lagi :D. Ia kesakitan untuk berjalan lagi karena terkilir namun tak parah. Yeah, kasihan sekali. Akhirnya kami berjalan saja untuk turun sedangkan gumpalan awan hitam di belakang berlari mengejar kami. Sampai di post 3 tepat pada saat maghrib. Kami langsung mendirikan tenda dengan cekatan namun terganggu oleh angin yang bertiup kencang. Di puncak Sindoro terlihat hujan mungkin juga badai. Tenda sudah didirikan. Faktor kelelahan membuatku tidak mood untuk makan ataupun beraktifitas lagi. Aku masuk tenda dan istirahat tidur sedangkan adi membuat api unggun yang sebelum dipadamkan karena gerimis. Malam ini kami bermalam di post 3 di tengah rintikan hujan dan angin. Istirahat total menanti hari esok yang cerah untuk turun ke basecamp dan melanjutkan pendakian Gn. Sumbing.
            Senin 21 Juli 2014, waktu imsak dan subuh aku terbangun karena adzan masih di telinga. Terdengar suara langkah kaki yang cukup besar. Aku sudah siaga III dengan apa yang akan terjadi. Ternyata itu hanya manusia biasa. Namun dari percakapan yang kudengar, mereka adalah 3 orang bule yang akan melakukan penelitian dengan di temani 1 guide orang pribumi. Karena kurasa aman maka aku bobok lagi hingga menjelang sunrise aku jalan-jalan di sekitar tenda sedangkan adi masih menikmati boboknya. Ku hidupkan HP ku, ternyata ada sms si penjaga basecamp yang menanyakan sudah turun atau belum *cie khawatir :p. Aku tak membalasnya karena aku nggak punya pulsa hahaha :p. Dinginnya pagi kala itu membuatku menggigil saat menikmati sunrise seorang diri. Hanya kicauan merdu burung-burung dan hisapan rokok yang menjadi alunan munculnya sunrise. Tak lupa aku mengabadikan momen tersebut. Siluet Gn. Sumbing, Merbabu, Merapi, Ungaran terlihat begitu jelas. Matahari mulai meninggi menghangatkan tubuh ini. Karpet awan putih bergerak ke arah barat melewati lembah Kledung yang berada diantara Gn. Sindoro dan Sumbing. Yeah, aku berada di atas awan. Setelah puas menikmati momen tersebut, aku membangunkan adi. Kemudian masak nasi karena merindukan nasi setelah beberapa hari cuma makan mie instan :D. Namun demikian dicampur mie rebus juga :p. Sesajen kopi juga wajib diminum. Setelah selesai dan mengabadikan beberapa momen maupun view, kami packing dan melanjutkan turun ke basecamp. Sampai di post 1, kami ditawari untuk naik ojek namun kami menolaknya secara halus. Kami berjalan beringinan dengan ibu-ibu yang pulang dari ladang tembakau. Saat ada panen tomat, iseng-iseng saja aku minta tomat. Akhirnya dikasih beberapa dan ku makan. Segar sekali karena diambil langsung saat panen. Tak lupa aku berterima kasih pada mereka yang memberi. Terus berjalan hingga sampai desa. Sampai di basecamp pukul 10.00 terlihat tertutup dan sepi. Kami menghubungi penjaga basecamp jika kami sudah turun dan sampai basecamp. Si Penjaga basecamp tidak bisa menghampiri kami karena ada acara. Yeah berarti kami tidak melakukan registrasi pendakian. Tidak apa-apa sih kata si penjaga basecamp. kami berjalan di tepian jalan raya temanggung-wonosobo. Di depan pasar ada warung yang buka meskipun sedang bulan puasa. Aku dan adi makan disana. Setelah itu menuju basecamp Gn. Sumbing untuk istirahat dan melakukan pendakian selanjutnya.

Salam Jun_krikers