Kamis, 04 Desember 2014

Menggapai Double S #2

menggapai Double s #2



            Senin 21 Juli 2014, aku dan adi berhasil melakukan misi pendakian Gn. Sindoro. Mendungnya cuaca siang hari mengkatalisasi kami untuk beristirahat di basecamp Gn. Sumbing, tepatnya di desa Garung. Yeah, tinggal 1 gunung lagi kami akan tuntas melakukan misi double S dan ini merupakan pendakian ke-2 ku ke Gn. Sumbing setelah sebelumnya gagal sampai puncak karena badai petir hebat. Pada saat sore hari aku pergi ke pasar *bukan sarimin. Membeli logistik berupa mie instan, kopi, air botol mineral, cemilan, obat, rokok dan bahan bakar spirtus. Setelah terbeli semuanya, hujan deras melanda. Aku pun terpaksa mandi hujan karena belum mandi. Sungguh pengertian sekali wahai kau langit :*. Ku ganti pakaianku yang basah sesampainya di basecamp agar tidak masuk angin dan kedinginan. Derasnya hujan dan angin kencang membuat gaduh suasana di dalam basecamp yang sepi karena tak ada pendaki lain selain aku dan adi. Mungkin Gn. Sumbing ini akan milik kami berdua :D. Di tengah guyuran hujan terdengar suara motor yang baru saja diparkirkan. Sesosok 2 insan berlawanan jenis masuk dalam basecamp, katanya sih berasal dari Temanggung. Yeah, mereka adalah pendaki couple yang menurutku penampilannya keren. Beda sekali dengan kami yang terkesan serampangan, ugal-ugalan dan begajulan sehingga mereka agak menjaga jarak dengan kami, barangkali hahaha. Kami masih menunggu hujan yang belum berhenti. Jika terlalu lama, kami akan melanjutkan pendakian besok pagi saja sambil memulihkan tenaga kami yang sudah terkuras habis. Selepas maghrib datang rombongan 10 orang pendaki asal Jogja. Beberapa diantara mereka adalah pendatang dari tanah batak sehingga suasana basecamp sangat gaduh dengan canda tawa mereka yang khas. Aku dan adi pun berbaur dengan mereka yang kocak dan gokil atas perbullyan anak haram, anak murtad, dll *bully yang kejam -_-. Aku berkenalan dengan mereka namun seperti biasa aku tak bisa menghafalnya satu-persatu hahaha. Saat ini yang masih ku ingat namanya adalah bang syawal dan bang teguh. Itu pun karena sempat tukeran pin BBnya *cie. Tapi mereka begitu baik karena membagi sarapannya padaku dan adi meskipun kami sudah kenyang. Terima kasih ya bro ^_^.
            Pukul 20.00 hujan masih deras mengguyur, tetapi pendaki couple itu nekat melakukan pendakian. Yeah, romantis sekali ya? Mendaki gunung berdua di tengah guyuran hujan saat malam, menempuh jalan penderitaan untuk kebahagiaan bersama. Kapan aku bisa kayak gitu (:o) ? Eleh ngemeng epeh hahaha. Pukul 23.30 hujan sudah reda meski rintik gerimisnya halus. Rombangan Jogja pamit kepada kami untuk melakukan pendakian. Sedangkan hawa dingin, lelah, ngantuk dan hilangnya efek kopi membuat aku dan adi merasa ambigu untuk mendaki. Tetapi setelah 30 menit di ambang keambiguan akhirnya diputuskan untuk mendaki. Tepat pergantian hari, kami mulai melangkah setelah registrasi pada tuhan dan iuran di basecamp. Kami akan memilih jalur lama karena lebih aman daripada jalur baru. Diawali jalanan beraspal yang hanya mengantar kami sampai awal desa hingga berubah menjadi track makadam menyakitkan hingga post 1. Berjalan dengan santai di tengah malam melewati desa. Di akhir desa ini kami melewati makam. Yeah agak merinding memang. Kami terus melangkah dengan irama nafas yang pas. Kami tak terlalu memporsir tenaga karena waktu masih panjang dan kelelahan fisik dari Gn. Sindoro. Terjalnya track makadam di tengah ladang tembakau ini membuat kami harus sering istirahat. Beberapa kali kami saling sapa dengan pendaki yang baru turun. Salah satunya adalah bang teguh. Dia pamit duluan karena merasakan sakit. Cukup disayangkan karena ini adalah pertemuan terakhir dengannya. Kami tak bisa saling berbagi dan bercengkrama di atas. Tak apalah suatu saat nanti mungkin kita bisa mendaki bareng J. Terdengaruh suasana riuh yang tak jauh dari kami, lampu headlamp saling member signal. Yeah, mereka pasti kawan-kawan dari Jogja. Kami bertemu dengan mereka di km II dan melanjutkan pendakian bersama-sama. Saat mereka berhenti kami mendahuluinya dan disaat kami berhenti mereka mendahului kami dengan saling memberikan kata-kata penyemangat. Yeah, kata-kata semangat dari orang lain memang lebih kental terasa kekuatannya saat mendaki gunung dibandingkan saat kita berada di kehidupan nyata masing-masing. Sebuah perhatian dan pengakuan diberikan pada orang yang baru ditemui, baru dikenal, yang intinya serba baru. Yeah, inilah sebuah pembaruan mental. Andai saja ini ada di kehidupan nyata. Tak terasa kami semua sampai di post 1/malim pukul 01.30, bangunan shelter yang berada di batas ladang tembakau dan hutan Gn. Sumbing atau km III. Kami beritirahat disini. Kawan dari Jogja kembali melangkah. Aku dan adi berjanji akan bertemu lagi dan ngecamp di post 2. Aku dan adi masak seperti biasa *mie n kopi :D. Kami selesai makan namun karena sudah PW dan malas melangkah karena capek, akhirnya kami membongkar carrier dan mendirikan tenda. Sorry kawan dari Jogja, semoga bisa bertemu esok hari di atas sana. Kami harus full istirahat. Mencharger tenaga kami supaya tidak goyah untuk melangkah di esok hari yang lebih berat tentunya J.
            Selasa, 22 Juli 2014, pukul 11.00 aku terbangun dari hibernasi panjang karena mimpi buruk. Entah, setan alas apa yang menggangguku? Aku bermimpi pacarku sedang berciuman dengan orang lain. Huft, mungkin itulah pertanda bahwa aku harus pisah dengannya. Apalagi suasana gerimis mengiringiku bangun dari mimpi buruk itu, barangkali hujan di hatiku -_-. Kemudian aku masak mie n kopi (lagi) saja biar nggak galau *laper. Ku bangunkan adi agar ikut membantu. Pukul 12.00, kami sudah selesai makan dan mempacking peralatan. Tak lama kemudian dating 2 orang pendaki asal Semarang dan Jogja. Mereka baru saja turun dari puncak. Salah satu dari mereka membawa bunga edelweiss. Shit! Sungguh keji sekali tindakannya. Sindiran-sindiran halus sedikit mewarnai perbincangan aku, adi dan mereka. Pukul 13.00 mereka turun ke basecamp diantar ojek yang menghampirinya di post 1 ini. Kami berpamitan dan langsung tancap mendaki lagi karena gerimis sudah reda.
            Kami melangkah menyusuri terjalnya setapak tanah licin di tengah hutan. Ada beberapa percabangan, namun atas dasar pengalamanku, setiap cabang akan bertemu di titik yang sama. Kami dikagetkan oleh langkah kaki di belakang. Yeah, ternyata ada bapak-bapak mencari rumput di hutan. Langkahnya begitu cepat dengan golok di tangan kanannya sehingga aku sedikit suudzon padanya jika dia akan merampok kami hahaha. Namun hal itu tidak terjadi, dia benar-benar mencari rumput untuk pakan ternaknya. Kami terus melangkah sampai di post 2/genus, ternyata kawan dari jogja sudah lebih dahulu menuju puncak. Kami pun lebih bersemangat untuk menyusulnya. Tanjakan-tanjakan terjal nan licin tak menyurutkan semangat kami hingga akhirnya bertemu dengan 4 orang kawan dari Jogja di post 3/sedlupak roto. 5 orang dari mereka sudah melangkah lebih maju, sedikit terlihat berada di area pasar watu. Kami beristirahat di post 3, menikmati view yang terbuka karena sedari tadi tertutup kabut. Lereng, lembah, sungai, bukit, dan puncak Gn. Sumbing terlihat jelas dan indah. Di sebelah utara sebuah tumpeng raksasa menampakkan dirinya, yeah itulah Gn. Sindoro yang telah kami daki kemarin. Kami melangkah kembali melewati track terjal berpasir ala pasar setan di tengah teriknya mentari sore. Track Gn. Sumbing yang terkenal paling berat se-Jawa Tengah membuat kami kepayahan dan kehausan. Namun kami harus irit-irit persediaan air minum agar tidak kehabisan karena di jalur Gn. Sumbing ini tidak ada sumber air lain selain di sungai dekat post 2 jika lewat jalur baru. Apalagi saat melewati terjalnya area pasar watu, membuat langkah kami sangat pelan dan banyak istirahat.
            Cuaca kini berubah menjadi mendung, pertanda hujan akan turun. Atas izin kawan dari Jogja, aku dan adi melangkah lebih cepat meninggalkan mereka agar tidak kehujanan. Dan benar saja sesampainya di pertigaan pasar watu-watu kotak, gerimis tiba. Setelah melipir ke kiri dari pertigaan itu, kami berlindung di goa kecil bawah tebing yang berada di kanan jalur pendakian, berteduh dari hujan yang semakin deras. Sekitar pukul 17.15, hujan pun hanya rintik kecil saja. Kami mulai lapar sehingga ngemie dan kopi (lagi) wajib dilakukan. Disaat menikmati hidangan yang kami buat, melintaslah kawan dari jogja. Mereka kehujanan dan kedinginan. Ku tawari mie dan kopi, namun ditolaknya secara halus dengan alasan agar tidak kemalaman menyusul teman mereka yang ngecamp di watu kotak. Yeah okelah kalau begitu.
            Hembusan asap rokok mengiringi selesainya ngemie, dibalut kopi yang masih mendidih dan keindahan sunset yang nampak jelas karena goa menghadap arah barat laut yang cerah, hingga sang surya bersembunyi di balik karpet awan yang awalnya putih-membiru-mengabu-abu, kemudian menghitam.   Hujan sudah reda sepenuhnya. Kami masih menunggu adzan maghrib yang masih ditelinga sampai tak terdengar lagi. Kami sudah packing peralatan, headlamp sudah dinyalakan, adzan maghrib sudak tak terdengar rimanya. Kami siap melangkah ke watu kotak untuk mendirikan tenda disana. Kami keluar dari goa saat hari mulai hitam. Yeah, seperti kelelawar saja hahaha. Kami melangkah di jalur yang berbatu dan harus berhati-hati karena terjal dan licin. Kemudian kami mentok di sebuah tebing yang membuat jalur terasa ambigu. Atas pengalamanku sebelumnya mendaki Gn. Sumbing, kami memang harus memanjat tebing yang tidak begitu tinggi *saat itu dilakukan siang hari. Yeah faktor gelap membuat keambiguan menjadi hal yang sangat serius. Setelah aku berhasil sampai di atas tebing tersebut, aku tak melihat adanya jalur pendakian. Segera aku memberitahu adi yang baru setengah memanjat tebing untuk turun. Setelah kami turun dari tebing itu, kami pun diam berpositif thinking mencari jalur pemanjatan yang benar dan diiringi dengan do’a akhirnya kami menemukannya. Kami harus memajat tebing vertikal dan licin karena merupakan jalur air. Alhamdulillah kami selamat. Kami tinggal mengikuti jalur saja sampai watu kotak. Yeah, sangat disarankan jika melewati jalur ini untuk menuju watu kotak disaat hari belum gelap. Faktor gelap akan merusak konsentrasi orientasi medan sehingga membuatnya terasa ambigu. Apalagi di bawah tebing ini atau titik buntu jalur sebelum memanjat tebing ini, jurang sudang menganga. Kami sampai di watu kotak pukul 19.00, bertemu dengan kawan-kawan dari Jogja dengan 2 tendanya yang sudah berdiri. Setelah tenda kami berdiri, kami langsung membuat kopi di dalam tenda karena di luar terasa dingin sekali. Angin berhembus membawa hawa dingin ditambah  dinginnya tebing watu kotak yang telah diguyur hujan tadi sore membuat malam begitu menampakan jati dirinya. Namun tak membuat kami dan kawan dari Jogja untuk berdiam diri saja, melainkan saling bercengkrama meski di dalam tenda masing-masing. Terkadang keluar untuk bertukar makanan, kopi, rokok ataupun kencing berjama’ah :D. Hingga masing-masing dari kami terlelap ditelan dinginnya malam. kami janjian akan melakukan summit pukul 04.00 esok hari menyaksikan sunrise bersama-sama.
            Rabu, 23 Juli 2014, pukul 04.00, kawan dari Jogja sudah ramai membangunkan aku dan adi untuk summit bersama. Dikarenakan kami belum merasa PW, kami mempersilahkan mereka untuk summit lebih dahulu dan janjian ketemu di puncak. Setelah aku dan adi sudah PW, kami melakukan perjalanan summit. Sekitar pukul 05.30 kami melangkah. Dinginnya pagi kala itu membuat kadar oksigen terasa tipis sehingga nafas pun tersengal-sengal untuk melangkahi batu demi batu yang terjal. Merdunya kicauan burung di pagi hari pun lebih ramai daripada kicauan di twitter. Bunga-bunga edelweiss yang mekar terhampar luas menjelang puncak dan diselingi cantigi yang cantik dengan daun mudanya berwarna merah di pucuk bagai perawan. Langit pagi pun terasa romantis dengan warna pinknya disela biru langit. Di sebelah utara, Gn. Sindoro pun tak lupa menyapa kami dengan lembut. Tak terasa matahari mulai menghangati puncak Sumbing. Kami pun baru sampai di Tanah Putih, khas dengan cadasnya yang memutih. Perlahan demi perlahan kami sampai di pertigaan puncak kawah-puncak buntu. Beristirahat sejenak, minum dan mengabadikan momen. Langit pagi begitu cerah, matahari sudah meninggi dan rupanya kami tertinggal momen sunrise. Tapi tak apa. Bukan sunrise yang kami cari. Tetapi sebuah kenikmatan yang tak dapat didustakan dari indahnya persahabatan dengan alam. Yeah, kami melakukan back to nature disaat kepenatan pada kehidupan kota telah menjadi rutinitas yang sebenarnya formalitas. Kami sampai puncak kawah pada pukul 06.30, disambut hangatnya persaudaraan kawan dari Jogja, yeah bang syawal cs. Mereka mengajak kami berfoto bersama, mengabadikan momen dan keindahan view yang terlihat di puncak kawah. Akhirnya rasa pensaranku terhadap puncak Sumbing terobati. Dibawah terdapat segara wedi, kawah Sumbing yang mengepul mengeluarkan asap belerangnya, sabana yang menghijaukan se-putaran kawah serta edelweiss yang menambah cantik tebing-tebing puncak Gn. Sumbing ini. Tak terasa kami berada di Puncak sampai matahari terik. Bang syawal cs pamit turun dahulu, sedangkan aku dan adi masih ingin mandi sinar matahari. Pukul 08.00 aku dan adi turun dari puncak kawah. Kami juga menyambangi puncak buntu karena  penasaran dengan apa yang ada disana. Setelah puas menikamti sensasi 2 puncak Gn. Sumbing ini, kami pun turun ke watu kotak untuk siap-siap berkemas.
            Bekal air minum kami sudah sangat menipis. Hanya untuk 6 teguk dibagi 2 orang, dengan persetujuan akan kami minum jika sampai post 1. Maka kami harus melakukan survival untuk bertahan hidup sebelum sampai post 1. Mungkin ini kesalahan kami karena terlalu boros atau tak membawa lebih air minum -_-. Hal ini membuat kami tidak sarapan sehat, karena hanya makan mie instan yang diremuk begitu saja -_-. Setelah packing barang di watu kotak, kami pun turun gunung dengan cepat karena kegilaan kami yang butuh air kehidupan ditambah teriknya matahari kala itu. Sesampai di pasar watu, terdapat genangan air di atas batu. Tertolonglah kami meskipun hanya sesaat. Kami minum air tersebut bagai binatang -_-. Terkadang aku mengunyah pucuk merah daun cantigi untuk mendapat serat air agar tidak dehidrasi parah. Di pertengahan pasar watu-pasar setan kabut begitu tebal muncul tiba-tiba. Bahkan penglihatan berkisar 5m saja. Adi berada jauh di belakangku sehingga aku menunggunya berlari menghampiriku. Jalur turunan berpasir, terjal ala pasar setan sangat berbahaya dilalui jika kabut tebal seperti ini. Yeah, kami tak mau ambil resiko terjatuh kemudian menggelinding ke bawah. Maka aku dan adi melipir ke kanan untuk menapaki rerumputan. Namun lama kelamaan kami semakin kehilangan arah. Yeah, kami tersesat atau dis-orientasi -_-. Kami pun berhenti sejenak karena khawatir jika tiba-tiba jatuh ke jurang. Maka dengan hati-hati kami mencari jalur yang benar dan syukurlah kami menemukannya. Kami berjalan sebentar kemudian sampai di post 3/sedlupak roto. Disini banyak sampah botol berserakan. Kami pun memungutinya dan mencari air tersisa. Kabut sangat pekat membuat kami tak melanjutkan langkah untuk turun karena khawatir tersesat lagi. Aktivitas kami pada saat itu hanyalah menjilati rumput yang berembun -_-. Yeah, hal ini cukup mengusir kami dari rasa haus. Tidak ada orang yang bisa menolong kami lagi karena bang syawal cs mungkin sudah berada di bawah L.
            Cukup lama kami berdiam diri namun secercah harapan kami dapatkan untuk keluar dari kabut tebal ini :D. Yeah, kami dapat melihat bayangan pohon besar sebagai tanda dekat jalur menuju hutan *aku lupa nama pohon itu. Kami melangkah menuju pohon itu berada. Pohon yang begitu besar di area post 3/sedlupak roto ini menyelamatkan kami. Semoga pohon itu tetap tumbuh lestari disana. Jalur untuk turun sudah terlihat meskipun di tengah gelapnya kabut. Kami bergegas untuk turun dengan track begitu terjal dan licin. Tak jarang kami perosotan dan jatuh terpeleset :D. Akhirnya sampai di setapak taha diatas pos 2/genus. Disini kami bertemu dengan seorang pendaki single fighter, namanya om jalil. Tanpa basa-basi aku dan adi minta minum padanya. Bahkan kami dikasih roti dan rokok lintingannya. Yeah, om jalil bagaikan malaikat penolong kami di Gn. Sumbing saat itu :D. Kemudian om jalil kembali melanjutkan perjalanan sendiri menuju puncak karena menurut estimasi waktuku dia akan kemalaman sampai waktu kotak jika masih cuap-cuap bersama kami hehe. Tak lupa aku dan adi berterima kasih padanya. Kami juga saling  bertukar nomor HP *cie. Kami terus melangkah turun dengan cepat di jalur yang licin ini melewati post 2 hingga sampai di post 1. Kami beristirahat di post 1 dan atas kesepakatan 2 lelaki hebat, dibukalah botol minuman yang tersisa 6 tegukan saja *chears.
           Hujan mulai membasahi bumi. Kami sudah malas melangkah lagi untuk sampai basecamp. Bayangkan saja kami mendaki 2 gunung yang terkenal memiliki medan tersulit di Jawa Tengah dalam 1 waktu sekaligus. Hal ini membuat kami benar-benar gempor, pegal, capek dan rindu makan nasi yang sebenarnya. Maka kami memesan ojek untuk turun ke basecamp. Raungan mesin 2tack membelah perbukitan ladang tembakau di kala hujan. Ojek yang kami pesan sampai. Ojek pun membawa kami dari post 1 ke basecamp di tengah hujan deras. Akan tetapi aku mampir warung untuk beli rokok, kemudian ke basecamp. Yeah, misi mencari berkah sejatinya diubah menjadi misi double S itu tercapai. Aku berduet dengan adi, ini merupakan duet lelaki tangguh, percayalah *_*. Kami pun beristirahat di basecamp menanti hujan reda. Setelah reda kami packing, lalu makan di warung, kemudian pulang. Adi ku antarkan sampai terminal Bawen. Adi sudah masuk dalam bus, dia akan pulang ke Solo. Sedangkan aku pulang ke Semarang. Yeah suatu saat kita akan berduet lagi.

Salam jun_krikers

Tidak ada komentar:

Posting Komentar